Puasa Ramadhan dan Pendidikan Kesadaran

Puasa Ramadhan dan Pendidikan Kesadaran

Muhbib Abdul Wahab

Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Puasa Ramadhan tahun ini agak sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena umat Islam Indonesia baru saja melakukan hajatan lima tahunan, pesta demokrasi, berupa pemilihan umum legislatif dan pemilihan Presiden secara langsung. Pilpres Februari lalu menyisakan banyak residu masalah kebangsaan dan keummatan. Menurut sejumlah pakar, antara lain Eep Saefulloh Fatah, Ikrar Nusa Bhakti, Rocky Gerung, dan Faizal Assegaf, pilpres tahun ini merupakan pilpres paling buruk, paling curang, sarat politik uang, dan paling tidak jujur dan tidak adil, karena penyelenggaran Pemilu (pemerintah, KPU, Bawaslu, Polri dan TNI), dinilai tidak netral, memihak dan terlibat dalam (dan menjadi bagian dari tim sukses) pemenangan salah satu calon. 

Lebih dari itu, sebelum pilpres dihelat, pelanggaran etika dan konstitusi sudah terjadi, dengan pelolosan cawapres Gibran Rakabuming Raka oleh Ketua MK, Anwar Usman, ipar Presiden dan paman sang cawapres. MKMK sudah memutuskan terjadinya pelanggaran etik berat terkait umur cawapres: 36 tahun dibolehkan menjadi cawapres, dengan syarat berpengalaman menjadi pemimpin pemerinah daerah. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah memvonis Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari, dan enam anggota lainnya melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pemilu 2024. Dengan kata lain, salah satu peserta kontestasi, secara hukum dan etika, dinilai cacat etika dan seharusnya didiskualifikasi, apalagi dalam proses pilpres dan penghitungan suara ditemukan banyak bukti pelanggaran, kecurangan, politik uang, intimidasi, dan penodaan demokrasi lainnya secara terstruktur, sistematis, massif, dan jahat (TSMJ).

Pertanyaannya, apakah praktik kemaksiatan dan kemungkaran demokrasi dalam bentuk pelanggaran pemilu secara TSMJ itu dilakukan dengan penuh kesadaran (disadari, diniati, direncanakan, dan dieksekusi sedemikian rupa), bukan dengan tidak kesengajaan? Jawaban sederhananya adalah tidak mungkin kecurangan TSMJ dilakukan tanpa kesadaran, tanpa pertimbangan akal sehat, tanpa perencanaan, dan tanpa kesengajaan. Sekali lagi mustahil, karena peristiwanya bukan hanya satu, dua, atau tiga kasus. Peristiwanya massif, kesaksian orang-orang yang jujur telah menerima bansos bergambar salah satu paslon, menerima amplop serangan fajar sangat banyak, dan diintimidasi untuk memilih paslon tertentu.

Artikel ini tidak bermaksud membahas kecurangan pemilu, karena bukti sahih prapemilu sudah diwakili dan dapat disaksikan dalam film Dirty Vote. Film ini juga tidak ada yang membantah kebenaran substantifnya. Bahkan menurut Jusuf Kalla, film ini baru mengungkap 25% kecurangan penyelenggaraan pemilu yang memang sudah diskenario curang, culas, jahat, dan menabarak konstitusi dan moral demokrasi. Akan tetapi, artikel ini berupaya menjawab pertanyaan: “Mengapa kesadaran mental dan moral manusia seolah tidak berfungsi untuk membentengi dirinya dari berbuat kecurangan dengan menghalalkan segala cara? Pertanyaan asumtif lanjutannya adalah “Apakah puasa Ramadhan dapat berfungsi sebagai pembangun kesadaran mental, spiritual, moral, dan sosial untuk membentuk pribadi tangguh dan tahan godaan untuk tidak bermaksiat kepada Allah, termasuk tidak berbuat curang dan jahat kepada sesamanya?” 

Dengan kata lain, tulisan ini akan menguji sebuah tesis bahwa puasa Ramadhan yang dijalankan dengan îmânan wa ihtisâban berfungsi secara transformatif dalam menumbuhkan kesadaran personal yang menghasilkan (harapan berupa) pribadi bertakwa kepada Allah SWT. Dalam bahasa sederhana, orang bertakwa itu memiliki rasa takut berdosa sehingga tidak (mau dengan penuh kesadaran) bermaksiat kepada Allah. Jangankan berbuat dosa dan maksiat, orang bertakwa selama bulan Ramadhan itu bisa mengendalikan dirinya untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seksual (suami istri) di siang hari, padahal makan, minum, dan berhubungan seksual itu hukum asalnya adalah halal. Jadi, puasa Ramadhan itu merupakan ibadah fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial yang bernilai tinggi dalam bentuk pendidikan kesadaran yang sangat efektif untuk mengaktualisasikan misi pendidikan profetik holistik dan integralistik, yaitu liberasi (pembebasan), humanisasi (pemanusiaan manusia), transendensi, dan aktualisasi diri.

Kesadaran sebagai Energi Penggerak dan Pengendali Diri 

 Manusia pada dasarnya merupakan entitas yang berkesadaran (consciousness entity), karena Allah SWT menjadikannya sebagai ahsan taqwîm, makhluk paling baik dan paling sempurna piranti lunak dan piranti kerasnya. Selain dibekali bentuk fisik tegak, seimbang, dan organ tubuh yang fleksibel, manusia dianugerahi pancaindera, akal budi, fitrah, dan hati nurani plus syariat (wahyu) yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul. Dengan semua itu, manusia menjadi makhluk berbudi, berbudaya, dan berperadaban. Untuk menjadi berbudi, berbudaya, dan berperadaban, manusia harus melalui proses pendidikan. Dengan kata lain, manusia harus mendayagunakan secara optimal fungsi kesadarannya karena kesadaran (al-wa’yu) merupakan energi penggerak jiwa untuk bersikap, berpikir, dan bertindak sesuai dengan pancaran cahaya hati nurani.

Dalam konteks pentingnya kesadaran, Oxford English Dictionary (OED) menjelaskan enam arti kesadaran, yaitu: (1) pengetahuan bersama, (2) pengetahuan atau keyakinan internal, (3) keadaan mental yang sedang menyadari sesuatu (awareness), (4) mengenali tindakan atau perasaan sendiri (direct awareness), (5) kesatuan pribadi yaitu totalitas impresi, pikiran, perasaan yang membentuk perasaan sadar dan (6) keadaan bangun/terjaga secara normal. Pawlik (1998: 187) menjelaskan ada dua rumusan kesadaran, yaitu (a) aspek fungsional kesadaran, dalam pengertian perhatian dan awareness serta (b) aspek fenomenologis kesadaran, dalam pengertian kesadaran diri (self-awareness dan self-consciousness) yang menggambarkan kesadaran internal terhadap pengalaman sadar diri seseorang. 

K. Pawlik (The Neuropsychology of Consciousness: The Mind-Body Problem Re-addressed. International Journal of Psychology, 1998 (3):187) membedakan tiga formula kesadaran, yaitu: (1) kesadaran (C1) menunjukkan kemampuan seseorang menyadari pengalaman subjektifnya, kemampuan seseorang mempersepsi variasi-variasi keadaan mental (kesadaran dalam pengertian yang sempit), (2) kesadaran (C2) menunjukkan akses yang dipakai oleh sistem kesadaran untuk menuju ke bagian-bagiannya atau ke proses mentalnya sendiri (kesadaran dalam pengertian awareness), dan (3) kesadaran (C3) menunjuk pada suatu wujud nonfisik (immaterial mind dari Descartes). 

A. Zeman (Consciousness. Brain, Vol. 124, No. 7:1263-1289) menjelaskan tiga arti pokok kesadaran, yaitu: (1) kesadaran sebagai kondisi bangun/terjaga. Kesadaran secara umum disamakan dengan kondisi bangun serta implikasi keadaan bangun. Implikasi keadaan bangun akan meliputi kemampuan mempersepsi, berinteraksi, serta berkomunikasi dengan lingkungan maupun dengan orang lain secara terpadu. Pengertian ini menggambarkan kesadaran bersifat tingkatan yaitu dari kondisi bangun, tidur sampai koma; (2) kesadaran sebagai pengalaman. Pengertian kedua ini menyamakan kesadaran dengan isi pengalaman dari waktu ke waktu: seperti apa rasanya menjadi seorang tertentu sekarang. Kesadaran ini menekankan dimensi kualitatif dan subjektif pengalaman; dan (3) kesadaran sebagai pikiran (mind). Kesadaran digambarkan sebagai keadaan mental yang berisi hal-hal proporsional, seperti: keyakinan, harapan, kekhawatiran, dan keinginan. 

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa sebagai bagian integral dari kajian psikologi, kesadaran itu merupakan potensi dan kekuatan jiwa (al-quwwah an-nafsiyyah) yang dianugerahkan Allah kepada manusia, berfungsi sebagai piranti lunak yang menjadi energi penggerak hidup manusia, termasuk keyakinan dan penggerak kemauan untuk menjadi hamba bertakwa melalui puasa. Tanpa kesadaran, mustahil sesorang memiliki niat mulia untuk menjadi hamba Allah yang taat. Tanpa kesadaran pula, manusia tidak mungkin memiliki rasa malu untuk bermaksiat kepada-Nya. Kesadaran mental memungkinkannya berpikir rasional, bersikap dewasa dan proporsional, sekaligus bertindak penuh tanggung jawab dan dibarengi integritas dan moralitas tinggi. 

Dengan demikian, apabila ada pemimpin yang berlaku curang, culas, arogan, dan merasa paling berkuasa secara semena-mena, padahal menabrak konstitusi, melawan hukum, dan bertentangan dengan etika dan keadaban demokrasi, maka pribadi seperti itu tidaklah memiliki kesadaran. Orientasi hidupnya boleh jadi dikendalikan hawa nafsu, ambisi, dan syahwat kekuasaan yang melampaui batas seperti Fir’aun, sehingga Nabi Musa AS diinstruksikan Allah untuk menasehati dan mengingatkan kesadaran Fir’aun agar tidak berlaku zhalim, arogan, tiran, diktator, totaliter, dan menghalalkan segala cara demi tetap berkuasa (idzhab ila Fir’auna innahu thaghâ, QS Thaha/20:24 dan an-Nazi’at/79:17)

Selain menjadi energi penggerak, kesadaran juga merupakan kekuatan pengendali dan regulasi diri (self regulation), karena kesadaran manusia dapat memberi pertimbangan wajar atau tidak wajar, patut atau tidak patut, baik atau buruk, menaati atau melanggar hukum, memberi manfaat dan maslahat atau mendatangkan madharat dan mafsadat. Sayangnya, manusia kerapkali diperdaya dan ditundukkan oleh hawa nafsu dan godaan setan yang memprovokasi atau bahkan membuat perbuatan menyimpang itu terasa indah dan enak. Oleh hawa nafsu dan setan, berbuat zina itu diprovokasi sebagai “kesempatan emas” dan perbuatan yang enak sama enak. Korupsi pasti didorong hawa nafsu dan distimuli setan sebagai “aji mumpung” untuk bisa cepat kaya tanpa harus bersusah payah dalam bekerja. 

Oleh karena itu, kesadaran idealnya difungsikan sebagai energi pengendali dan regulasi diri agar tidak melawan hukum, menabrak konstitusi, melanggar moral, bertindak jahat, merugikan orang lain, apalagi berbuat maksiat kepada Allah. Kewajiban berpuasa Ramadhan itu merupakan panggilan iman; ayatnya diawali dengan “Ya ayyuha al-ladzina amanu”, wahai orang-orang yang telah beriman. Hal ini berarti bahwa ibadah puasa itu harus dilandasi dan digerakkan iman, berangkat dari niat yang kuat dan ikhlas karena Allah SWT. Panggilan iman merupakan esensi dari pendidikan kesadaran, karena orang yang tidak beriman, tidak meyakini kebenaran syariat puasa, pasti tidak akan menyahuti dan meresponi panggilan itu dengan sikap sami’nâ wa atha’nâ (mau belajar dan mau mengamalkan kebenaran, mengamalkan dalil kebenaran, bukan sekadar mendalili dan menjustifikasi amalnya yang belum tentu benar).

Puasa Ramadhan: Lab. School Penguatan Kesadaran

Menurut saya, agar berfungsi sebagai energi penggerak dan kekuatan pengendali diri, manusia perlu memahami konsep dirinya secara holistik. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman 5 bentuk kesadaran, yaitu: (1) sadar diri, (2) sadar teologi dan eskatologi, (3) sadar regulasi, (4) sadar relasi, dan (5) sadar ekologi. Kategorisasi lima bentuk kesadaran ini diinspirasi oleh hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, alam semesta, kehidupan dunia, dan kehidupan sesudah mati (akhirat). Dalam konteks ini, puasa Ramadhan sejatinya merupakan laboratorium penguatan kesadaran positif dan konstruktif bagi Mukmin yang berpuasa.

Sadar diri merupakan bentuk kesadaran internal (personal) manusia dengan meyakini bahwa dirinya ada karena ada yang menciptakan, Allah SWT, dan penciptaannya itu bukan kebetulan, tetapi by design dan bertujuan. Sadar diri itu dimulai dari pengakuan (rekognisi) sekaligus kepercayaan (keyakinan, iman) bahwa Allah menciptakannya dengan tujuan mulia, beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat/51:56) Sadar diri meniscayakan sadar potensi dan sadar posisi. Manusia dianugerahi Allah potensi yang luar biasa (ahsan taqwîm), melebihi semua makhluk-Nya. Potensi berpikir memungkinkannya menjadi pencari, perumus, dan pengembang ilmu dan peradaban. Potensi berdzikir menjadikannya manusia bersyukur dan bersabar dalam menyikapi, menjalani, dan memberi solusi terhadap permasalahan hidupnya. Potensi sadar diri menjadikannya memiliki mampu mengembangkan kualitas diri dan hidupnya secara optimal. 

 Sementara itu, sadar posisi merupakan kesadaran personal manusia dalam memaknai hidupnya. Dia menyadari posisinya sebagai hamba Allah (‘abdullah) dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai hamba-Nya, dia harus menyadari pentingnya beribadah sesuai dengan syariat-Nya, bersikap sami’nâ wa atha’nâ, Sedangkan sebagai khalifah-Nya, dia memahami tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) berupaka ‘imârat al-ardhi (membangun dan memakmurkan) bumi dan isinya. Dengan kata lain, sadar diri yang dibarengi sadar potensi dan sadar posisi membuat manusia memiliki konsep diri yang positif dengan mengaktualisasikan diri sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi secara optimal, berupaya menebar manfaat dan maslahat. Jadi, kalau pemimpin umat dan bangsa itu sadar diri mestinya tidak akan berpikir untuk merusak generasi, negeri, demokrasi, atau bahkan tidak akan berpikir membangkrutkan negara dan bangsa dengan membiarkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan terus “menggunungkan” hutang luar negeri.

Sadar teologi berkaitan erat dengan iman kepada Allah sebagai pembuat syariat. Semua amal ibadah, termasuk puasa, dalam Islam harus berbasis iman. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda: “Siapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (ridha) dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Menjalani ibadah Ramadhan memang harus didasari dan dimodali iman yang kuat, iman yang menggerakkan, menjadi energi positif dengan semangat mencari ridha Allah yang tinggi, agar dapat meraih tujuan berpuasa, yakni menjadi orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Jadi, imânan wa ihtisâban itu merupakan kesadaran teologis yang menjadikan Mukmin merasa terpanggil untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kesadaran teologis mengharuskan adanya integrasi kesadaran eskatologis, keyakinan adanya hari akhir, hisab akhirat, dan balasan perbuatan baik dan buruk, surga dan neraka, sehingga semua perilaku dan tindakannya betul-betul disadari dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kesadaran teologis dan eskatologis itu berimplikasi kepada munculnya rasa takut berbuat dosa, rasa takut bermaksiat, rasa takut menyalahi syariat Allah dan Rasul-Nya, sehingga Mukmin selalu berusaha menampilkan kinerja yang baik (amal shalih). Puasa Ramadhan mendidik Mukmin memiliki kesadaran teologis dan eskatologis tinggi, sehingga selalu ber-fastabiqul khairat (berkompetisi dalam kebaikan). Kesadaran teologis dan eskatologis merupakan kata kunci pembuka gerbang takwa.

Puasa Ramadhan mengedukasi shaimin dan shaimat untuk sadar regulasi dengan memenuhi syarat, rukun, dan kaifiyatnya. Karena puasa Ramadhan harus dimulai dengan niat yang tulus karena Allah sejak terbit fajar shadiq dan diakhiri saat kumandang adzan maghrib. Disiplin waktu memulai dan mengakhiri puasa merupakan implementasi sadar regulasi. Demikian pula, melaksanakan kewajiban, anjuran (sunah), dan meninggalkan semua larangan dalam puasa Ramadhan juga merupakan kesadaran regulatif. Dengan kata lain, sadar regulasi menghendaki shaimin dan shaimat taat asas, taat aturan, taat norma hukum, dan sebagainya.

Sadar regulasi menghendaki melek literasi terhadap aturan main yang berlaku (norma, sistem hukum, syariat). Idealnya, umat Islam harus memahami fiqh ash-shiham agar ibadah Ramadhan dapat dilaksanakan secara optimal. Sadar regulasi meniscayakan pentingnya sadar relasi dalam sistem sosial budaya. Sesuai teladan Nabi SAW, puasa mengajarkan kita semua untuk mengintensifkan amalan sunah, berderma, bersedekah, berzakat, dan berbagi kebaikan untuk kemanusiaan. “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah/2:184)

Kesadaran relasional sejatinya mengharuskan shaimin dan shaimat untuk membangun dan mengembangkan spirit silaturrahim, meneguhkan dan mengokohkan persaudaraan dan persatuan umat dan bangsa. Spirit berjamaah selama Ramadhan merupakan cerminan pentingnya sadar relasi. Ramadhan diakhiri dengan Idul Fitri yang sarat dengan pesan pentingnya saling memaafkan dan saling bersilaturrahim. Ramadhan mendidik shaimin dan shaimat untuk terus berpikir strategis dalam mengoptimalkan networking (jejaring) sosial kemanusiaan yang membuahkan peradaban berkemajuan.

Selain itu, sadar ekologi juga penting dimiliki shaimin dan shaimat, artinya berpuasa Ramadhan itu harus berwawasan lingkungan. Bahkan shaimin dan shaimat harus memiliki kesalehan ekologis dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, menjaga pola hidup bersih dan bergaya hidup sehat. Menahan diri dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual di siang hari selama Ramadhan merupakan aktualisasi sadar ekologi. Puasa Ramadhan didesain agar shaimin dan shaimat bangun tidur lebih awal untuk santap sahur. Idealnya bangun tidak sekadar untuk santap sahur, tetapi juga untuk dapat menikmati oksigen bersih dan segar yang menyehatkan dan membugarkan tubuh kita. Dengan bangun lebih awal, kita juga dapat berjalan sehat menuju masjid untuk shalat subuh berjamaah. Habituasi bangun tidur lebih awal, menjaga asupan makanan dan minuman bergizi dan menyehatkan merupakan manifestasi kesadaran ekologis, di samping menjaga kebersihan rumah, ekosistem, dan lingkungan alam di sekitar kita.

Pendidikan Kesadaran yang Mencerahkan

Dari uraian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa puasa Ramadhan harus berorientasi kepada pendidikan kesadaran, bukan sekadar puasa awam, puasa perut dan di bawah perut, sebab puasa fisikal merupakan level paling rendah kualitasnya, sehingga Nabi SAW kerapkali mewanti-wanti umatnya: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i). Hadis ini menegaskan betapa banyak orang berpuasa dan sukses mencegah dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi tidak mendapatkan pahala, kecuali hanya lapar dan dahaga. 

Puasa Ramadhan memang harus dimulai dengan niat yang kuat dan tulus karena Allah SWT. Berniat puasa sejatinya merupakan basis kesadaran mental spiritual yang dapat memberi nilai transformasi dari puasa fisikal menuju puasa fungsional, puasa yang membuahkan karakter dan kepribadian takwa, seperti: sifat jujur, benar, amanah, istiqamah, disiplin, syukur, sabar, rendah hati, pemaaf, dermawan, muraqabatullah, dan seterusnya. Dengan demikian, pendidikan kesadaran melalui ibadah Ramadhan itu harus mencerahkan, melalui pemaknaan dan penghayatan hakikat (filosofi) puasa dan pengendalian diri.

Tujuan puasa Ramadhan, membentuk dan mengaktualisasi diri menjadi pribadi bertakwa (la’allakum tattaqun), tentu saja tidak bisa instans, melainkan menghendaki proses dan menempuh peta jalan (roadmap) takwa. Di antara peta jalan takwa itu, misalnya, menjauhi larangan-larangan atau hal-hal yang dapat membatalkan nilai ibadah Ramadhan. Dalam hal ini, Nabi SAW menegaskan “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami). Kelima pembatal nilai ibadah Ramadhan itu tidak mungkin dapat dijauhi tanpa pendidikan kesadaran. Shaimin dan shaimat berkesadaran bahwa puasa Ramadhan itu bertransformasi diri dari puasa perut, puasa di bawah perut menuju puasa pancaindera, puasa pikiran, puasa perasaan, dan puasa hati (shaum khawash al-khawash) atau puasa lahir batin, puasa totalitas.

Pendidikan kesadaran dapat diaktualisasikan melalui puasa Ramadhan, apabila shaimin dan shaimat juga memahami kurikulum (standar kompetensi, standar isi, dan standar proses) berpuasa dengan mengikuti teladan kenabian. Syarat dan rukun puasa secara fiqh memang harus dipatuhi (sadar regulasi), namun muatan plus ibadah berupa anjuran dan kebiasaan positif Nabi SAW selama berpuasa Ramadhan, seperti: qiyam al-lail, tarawih, tadarus al-Qur’an, i’tikaf, intensif bersedekah, membayar zakat, dan sebagainya juga penting menjadi kesadaran kolektif agar nilai ibadah Ramadhan menjadi istimewa.

Akhirul kalam, puasa Ramadhan merupakan ibadah tahunan (di bulan Ramadhan) yang didesain, antara lain, untuk memberikan nilai pendidikan kesadaran berbasis cinta tradisi kenabian. Implikasinya, pendidikan kesadaran ini dapat menjadi proses liberasi, pembebasan shaimin dan shaimat dari belenggu hawa nafsu, sifat-sifat dan karakter negatif seperti mudah marah, orientasi duniawi dan materi berlebihan, tidak sabar, pendendam, pendengki, berpikir negatif, dan sebagainya. Selain liberasi, puasa Ramadhan idealnya membuahkan proses humanisasi, memanusiakan shaimin dan shaimat menjadi pribadi unggul karena mencapai kualitas takwa yang tinggi. Orang bertakwa itu dapat mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal shalih yang istiqamah dalam hidupnya. Humanisasi menjadi sempurna dengan trasendensi, peneguhan iman (sadar teologi dan eskatologi) yang menjadikan shaimin dan shaimat selalu dzikrullah dan muraqabatullah, dengan memperbaiki kinerja (amal) ibadahnya. 

Puncaknya, puasa Ramadhan itu mengedukasi shaimin dan shaimat untuk memiliki kesadaran mental, spiritual, moral dan sosial yang konstruktif dengan aktualisasi diri, dalam arti, transformasi iman, ilmu, dan amal shalihnya untuk kemaslahatan dan kemanfaatan hidup umat manusia dalam rangka membangun peradaban umat dan bangsa yang berkemajuan, berkeadilan, dan berbahagia di dunia dan akhirat. Jadi, puasa Ramadhan itu bukan sekadar menahan dan mengendalikan diri dari segala yang membatalkan puasa, tetapi juga aktualisasi diri menjadi pribadi bertakwa autentik, bukan sekadar ritualitas rutin, legal formal yang gersang makna, melainkan memberi nilai positif dan konstruktif bagi kemanusiaan dan peradaban yang mencerahkan masa depan umat manusia.

(Artikel ini telah dimuat di Majalah Tabligh edisi Maret 2024)