Puasa, Durkheim dan Solidaritas Sosial

Puasa, Durkheim dan Solidaritas Sosial

Dadi Darmadi

 

PUASA di bulan suci Ramadhan merupakan ritual ibadah yang penting dan dipraktekkan oleh jutaan muslim di seluruh dunia. Bulan puasa dipandang sebagai bulan refleksi spiritual, disiplin diri, dan solidaritas komunal. Dari perspektif antropologis, puasa dapat dimaknai sebagai praktik keagamaan yang menghubungkan individu dengan komunitasnya, tradisi keagamaan, dan nilai-nilai budaya bersama.

Emile Durkheim, salah satu tokoh ilmuwan Prancis paling berpengaruh di bidang antropologi dan sosiologi, pernah mengatakan bahwa solidaritas sosial adalah perekat yang menyatukan masyarakat. Ia mengidentifikasi dua jenis solidaritas sosial: solidaritas mekanis dan solidaritas organik. Solidaritas mekanis didasarkan pada kepercayaan, nilai, dan tradisi bersama, sedangkan solidaritas organik didasarkan pada rasa saling ketergantungan dalam masyarakat modern.

Dalam konteks puasa Ramadhan, mungkin kita bisa melihat praktik tersebut sebagai ekspresi solidaritas mekanis umat Islam. Kaum Muslimin di seluruh dunia sama-sama memiliki keyakinan akan pentingnya puasa selama Ramadhan, dan keyakinan bersama ini menciptakan rasa solidaritas dan tujuan bersama. Dengan berpartisipasi dalam ibadah puasa, umat Islam menegaskan identitas kolektif mereka dan rasa memiliki sesama anggota komunitas Muslim.

Bukan hanya itu, Durkheim juga menjelaskan bahwa ritual itu penting sekali. Ibadah atau ritual memainkan peran penting dalam menciptakan dan memperkuat solidaritas sosial tadi. Ritual dilihat sebagai tindakan simbolis yang mencerminkan dan memperkuat nilai dan kepercayaan bersama. Apalagi praktik ibadah yang dilakukan bersama-sama dapat menghadirkan rasa identitas kolektif dan memberi individu rasa memiliki.

Dalam konteks puasa umat Islam Indonesia, kita melihat praktik berbuka puasa sebagai ritual yang mempererat solidaritas sosial itu. Dengan berbuka puasa bersama, umat Islam menegaskan identitas kolektif mereka dan rasa memiliki sebagai sesama bagian dari komunitas Muslim. Buka puasa bersama ini juga menciptakan rasa hubungan emosional dan memberi individu rasa senang dan hormat kepada sesuatu yang sakral.

Menurut Durkheim, ritual dapat menghadirkan perasaan emosional yang mendalam pada individu. Dengan berpartisipasi dalam ritual, seorang individu mengalami rasa kagum terhadap yang suci. Pengalaman emosional seperti ini pada gilirannya akan memperkuat komitmen mereka terhadap nilai dan keyakinan bersama, menciptakan rasa kewajiban dan kewajiban moral.

Dilihat dari berbagai aspeknya, ibadah puasa selama Ramadhan merupakan praktik yang tidak mudah, dan itu membutuhkan disiplin diri dan komitmen yang signifikan. Dengan berpartisipasi dalam praktik ini, individu kemudian terdorong untuk memperkuat komitmen mereka terhadap nilai dan kepercayaan yang dianut bersama.

Puasa Ramadhan selama sebulan melibatkan pantang makan, minum, dan kebutuhan fisik lainnya di siang hari. Hal ini menumbuhkan rasa solidaritas komunal di antara umat Islam, karena mereka semua terlibat dalam kewajiban agama bersama ini.  Itulah sebabnya mengapa secara antropologis pengalaman bersama seperti ini menciptakan rasa komunitas, yang merupakan aspek mendasar dari organisasi sosial manusia.

Apalagi, tradisi berbuka puasa yang dilakukan bersama sama merupakan momen krusial bagi banyak keluarga dan komunitas Muslim ini selama Ramadhan. Mengikuti Sunnah Nabi, umat Islam biasanya berbuka puasa dengan segera seraya memanjatkan doa, makan kudapan manis seperti kurma, air, dan makanan lain. Andaikan Emile Durkheim sang antropolog masih ada di antara kita, dan turut menyaksikan kegiatan buka puasa bersama, mungkin ia akan menafsirkan ritual ini sebagai salah satu cara untuk membawa individu kembali ke komunitas setelah seharian berpuasa, karena tindakan berbagi makanan dan minuman turut menciptakan rasa persatuan dan kebersamaan di antara sesama.

Tentu saja, makna sosial ibadah puasa dan berbuka puasa tidak terbatas pada komunitas Muslim saja. Puasa dalam berbagai bentuknya banyak dilakukan oleh umat beragama lain. Para ilmuwan mengatakan bahwa puasa dan praktik keagamaan lainnya seringkali juga memiliki makna sosial dan budaya yang lebih dalam dan luas. Puasa dapat dilihat sebagai cara untuk mengkomunikasikan identitas dan nilai-nilai agama kepada orang lain, sehingga memperkuat rasa memiliki terhadap komunitas tertentu. Namun bagi seorang Muslim, puasa Ramadhan dapat dimaknai sebagai wahana untuk meneguhkan identitas Muslim dalam konteks berhubungan dengan anggota komunitas Muslim lainnya.

Akhirnya, perspektif sosiologis dan antropologis dari Emile Durkheim seperti di atas penting sebagai pengingat bagi kita semua akan arti penting puasa, berbuka puasa, dan makna sosialnya di dalam komunitas Muslim di seluruh dunia. (zm)

Dadi Darmadi, Dosen Fakultas Ushuludin, Peneliti Senior PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat pada kolom opini Tempo, Rabu 12 April 2023.