Puasa dari Elektabilitas Survei

Puasa dari Elektabilitas Survei

Nadirsyah SAg LLM, Dosen Hukum Islam Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saat ini hasil survei menjadi ukuran standar. Dari mengukur kepuasan publik, tingkat kepercayaan terhadap institusi, sampai elektabilitas para kandidat calon presiden ditentukan berdasarkan hasil survei.

Itu artinya gerak langkah kita, suka atau tidak suka, akan diukur dari persepsi orang lain. Pada satu sisi, menunjukkan bahwa rekam jejak itu menjadi penting. Namun, di sisi lain, standar kebenaran telah bergeser mengikuti apa yang menjadi persepsi orang lain.

Para pemangku kebijakan publik tidak saja jadi sibuk memoles tampilan mereka, tetapi juga berupaya bagaimana menggiring persepsi dan asumsi orang agar sesuai dengan yang dikehendaki. Publik melawan pencitraan itu dengan cara mengupas jejak digital tokoh. Dunia digital bahkan lebih kejam daripada catatan amal kita oleh malaikat Raqib-Atid.

Kalau malaikat bisa mencatat sisi baik dan buruk, netizen akan membongkar sisi buruk semata. Kalau catatan buruk para malaikat bisa dihapus lewat memohon ampunan Ilahi (istigfar), jejak digital yang dipereteli netizen amat sulit termaafkan. Citra dan nama baik telanjur tercemar dan abadi.

Begitu juga kelayakan seorang menjadi pemimpin melulu ditentukan oleh hasil survei. Ini membuat pemimpin tidak lagi memiliki long term vision (visi jauh ke depan), tapi semuanya hanya short term, yang bisa dilihat dan dikenang publik. Tentu dengan harapan elektabilitas akan meningkat. Bahkan lucunya banyak tokoh yang mendadak sok gaul dan bergaya milenial karena sadar bonus demografi kita dikuasai oleh kaum muda.

Pada kondisi ini, kehadiran bulan suci Ramadan menjadi momentum yang sangat baik untuk sejenak kita menghela napas.

Pernah Nabi Muhammad SAW mendapat laporan ada pihak yang rajin salat dan puasa tapi lidahnya gemar menyakiti tetangganya, maka Nabi merespons singkat, “Dia akan masuk neraka,” (HR Hakim). Nabi Muhammad telah pula mengingatkan bahwa “Banyak sekali orang yang puasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar,” (HR Ibnu Majah).

Ini artinya kita tidak boleh menyakiti dan mengganggu pihak lain. Kehormatan dan hak-hak pribadinya harus kita jaga, bukan diumbar begitu saja atas nama kebencian dan kontestasi politik demi menurunkan elektabilitas tokoh tertentu. Puasa seharusnya bukan saja menahan lapar dan dahaga serta syahwat, tapi juga menyucikan persepsi pikiran dan asumsi hati kita.

Persepsi orang lain tentang kita bisa benar, tapi bisa juga keliru. Tapi akan repot kalau standar kebenaran ditentukan semata oleh omongan dan pendapat orang lain tentang kita. Agama mengajarkan bahwa beramal yang baik, meski tak terlihat oleh orang lain, tetaplah akan bernilai di sisi Allah, meski tak tercatat di angka survei.

Amal jariah yang berkelanjutan akan sangat bernilai di sisi Allah ketimbang terpaksa mengejar survei elektabilitas calon presiden dengan berbagai program megah dan mewah tapi manfaatnya hanya sebentar (short term). Puasa mengajarkan kita untuk tidak semata mengejar kuantitas, tapi juga kualitas amal. Dan percayalah, kalau angka survei bisa naik-turun tergantung lembaga surveinya, tapi catatan malaikat akan amal kita tidak akan pernah salah. Sumber: Media Indonesia, Kamis 28 April 2022. (sm/mf)