Puasa dan Kecerdasan Emosional Spiritual

Puasa dan Kecerdasan Emosional Spiritual

[caption id="attachment_11819" align="alignleft" width="249"]Prof. Dr. Abudin Nata MA Prof. Dr. Abudin Nata MA[/caption]

Puasa Ramadhan memiliki banyak  dimensi. Salah satunya adalah dimensi sosial. Imam Al-Jurjawi mengatakan, rasa lapar dan haus yang diderita oleh orang berpuasa secara terus menerus diharapkan dapat menimbulkan rasa simpati, empati dan iba terhadap orang yang dalam kehidupan sehari-harinya sering kelaparan. Ini adalah bentuk dimensi sosial yang diharapkan terbentuk dari puasa. Sedangkan, ekspresi kepedulian sosialnya tercermin dengan membayar zakat di akhir Ramadhan.

Selain itu, dampak dari puasa seharusnya bisa menumbuhkan kecerdasan emosional. Kecerdasan ini adalah kemampuan mengelola emosi untuk membangun komunikasi yang baik dengan orang lain dalam keadaan emosi yang stabil.

Ciri keberhasilan orang yang berpuasa adalah meningkatnya ketakwaan pada dirinya. Orang yang bertakwa, akan mampu mengendalikan amarah. Emosinya akan tetap stabil, tidak akan mudah meledak. Tetapi ketika emosi tidak bisa dikendalikan, maka hubungan dengan orang lain menjadi renggang. Akibatnya rejeki menjadi seret. Padahal, rejeki itu ada lewat sesama, yaitu dengan silaturrahim.

Kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Sementara kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20 persen saja. Memiliki kecerdasan emosi menjadi sangat penting bagi seorang Muslim.

Kemudian, hal lain yang menjadi sangat penting adalah adanya kecerdasan spiritual. Yaitu, perasaan yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap tindakannya. Kesadaran spiritual ini dalam Islam sama dengan Ihsan. Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.

Seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual, maka yang keluar dari dirinya adalah hikmah, satu kebenaran. Karena, antara pikiran, hati dan jiwanya selalu sejalan. Dirinya selalu merasa dikontrol oleh Allah SWT. Kecerdasan spiritual akan melahirkan sikap jujur, tawakal, ridha, dan amanah.

Sebagai contoh, Umar bin Abdul Aziz, salah satu khalifah dari Bani Umayah. Ketika dilantik menjadi khalifah, tubuhnya bergetar sangat ketakutan. Dia membayangkan, bagaimana dia bisa mempertanggungjawabkan amanah yang sangat besar di akhirat nanti. Ini merupakan contoh seorang yang mempunyai kecerdasan spiritual

Menurut Imam Al-Ghazali, kecerdasan spiritual ini terjadi melalui proses muhasabah, muroqobah, al-kasyaf, ma’rifat, dan munadzarah. Pada tingkatan inilah seseorang akan selalu merasa dilihat Allah SWT, melihat bagaimana keagungan-Nya, dan takut akan pertanggungjawaban nanti di akhirat.

Kecerdasan spiritual akan menghasilkan etos kerja yang baik. Karena spirit (semangat), seseorang akan bekerja keras. Disisi lain, spiritual juga akan melahirkan kepedulian sosial dan keshalehan sosial. Untuk itu, marilah kita tingkatkan spiritual dengan cara muhasabah (mengoreksi diri).

Semoga dengan berpuasa di bulan Ramadhan ini, kita dapat menjadi seseorang yang bahagia. Kebahagiaan akan didapat salah satunya adalah dengan berbagi. Berbagi tidak mesti harus menunggu kaya. Karena cara terbaik menyayangi harta adalah dengan menginfakan harta yang dimiliki kepada orang lain yang membutuhkan.

 

Disarikan oleh Nur Jamal Shaid dari kultum Ramadhan Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA di Masjid Al-Jami’ah UIN Jakarta, Kamis 30 Juni 2016.