PSGA UIN Jakarta Kembali Adakan Kelas Gender

PSGA UIN Jakarta Kembali Adakan Kelas Gender

[caption id="attachment_19139" align="alignleft" width="300"] Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta kembali menggelar kelas gender pertemuan ke 3. Pada kelas kali ini, mengangkat isu tentang Gender dan Politik. Kamis (20/07).[/caption]

Ruang Sidang Utama, BERITA UIN Online—Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta kembali menggelar kelas gender pertemuan ke 3. Pada kelas kali ini, mengangkat isu tentang Gender dan Politik.

Kelas gender ini diikuti oleh peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan tamu undangan tersebut, dilaksankan pada, Kamis (20/07), bertempat di Ruang Sidang Utama Gedung Rektorat lantai 2.

Hadir sebagai narasumber pada kelas gender kali ini, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta sekaligus aktifis gender, Gefarina Djohan MA, didampingi oleh Rahmi Poernomowati MSi sebagai Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta.

Dalam sambutannya Kepala PSGA mengatakan, adanya kembali kelas gender ini tak lain agar setiap mahasiswa dan dosen secara menyeluruh tidak bias gender, tapi dapat mewujudkan keadilan gender, dan kesetaraan gender dalam berpolitik di kehidupan sehari-hari.

“Melalui kelas gender yang kami jadwalkan rutin ini, kami terus istiqamah menghilangkan perspektif bias gender dan memberi pemahaman gender dalam berbagai ranah untuk mahasiswa dan dosen UIN Jakarta khususnya,” jelas Rahmi.

Di tempat sama, dalam pemaparannya, Gefarina menjelaskan hubungan gender dengan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan keluarga, antara suami dan istri sampai pada tataran kemasyarakatan yang lebih luas, misalnya dalam politik praktis.

“Pada tataran hubungan kekuasaan pun bervariasi, mulai dari tataran simbolik, dalam penggunaan bahasa dan wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan, migrasi, kekerasan, tanah, dan keterwakilan perempuan dalam partai politik,” jelas Gefarina.

Selama ini, masih menurutnya, politik dan perilaku politik dipandang masih sebagai aktivitas maskulin (laki-laki). Dimana pada ranah ini diperlukan suatu keberanian, kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif.

“Mudah-mudahan setelah pertemuan ini tidak lagi bias gender di bidang politik,” harapnya.

Melengkapi pemaparannya, Gefarina membahas terkait pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dapat dikatakan bahwa perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak khusus di bidang politik yang sifatnya sementara (affirmative action) telah tercapai.

“Pada satu sisi kebijakan ini sesungguhnya sangat menguntungkan bagi kaum perempuan di Indonesia, sebab dengan kebijakan amandemen undang-undang tersebut, perempuan dapat meningkatkan partisipasi politiknya yang terlihat dalam peningkatan representasi perempuan di parlemen sekurang-kuangnya 30 persen,” tandas Gefa. (lrf/sf)