Protokol Komunikasi Presidensial
Oleh Gun Gun Heryanto
Jakarta, Berita UIN Online - Hal mendasar yang memerlukan pembenahan di era Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto adalah pengelolaan komunikasi. Masalah ini, diakui secara terbuka oleh Presiden, yakni bahwa komunikasi pemerintah masih kurang dan menjadi kelemahan utama.
Prabowo menyampaikan hal ini saat berjumpa sejumlah investor dan ekonom di Menara Mandiri, Jakarta Pusat (8/4/2025) dan sebelumnya saat melakukan wawancara dengan tujuh jurnalis senior di kediamannya di Hambalang, Bogor (6/4/2025).
Dua hal yang perlu perbaikan segera, yakni komunikasi presidensial secara khusus dan komunikasi pemerintahan secara umum, agar ragam kebijakan strategis dan program prioritas yang diambil pemerintah berdampak signifikan.
Komunikasi presidensial
Keinginan Prabowo bekerja dengan filosofi performa berbasis bukti (evidence-based performance) akan terhambat jika abai dengan pengelolaan komunikasi. Ragam kanal yang diakses warga, dan kecepatan informasi yang memapar mereka, mengharuskan Prabowo betul-betul memiliki protokol komunikasi presidensial.
Tiga watak utama komunikasi presidensial, yakni bersifat resmi, memberi arahan, dan menggambarkan kewenangan yang melekat pada sosok Presiden, inilah yang harus dikelola, baik oleh Prabowo maupun tim kerja Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO).
Tujuan komunikasi presidensial untuk membangun pemahaman bersama, menumbuhkan niat baik para pihak untuk bekerja sama, menguatkan sikap saling menghargai, dan memitigasi potensi kerusakan pada praktiknya dipengaruhi tiga faktor, yakni pilihan gaya komunikasi Presiden, konteks dinamis isu yang berkembang, dan kecakapan tim komunikasi di lembaga kepresidenan.
Presiden dan tim komunikasinya harus memahami betul bahwa salah satu prinsip komunikasi—merujuk pada Larry A Samovar dan Richard E Porter dalam bukunya, Communication Between Cultures (2102)—bersifat irreversible.
Komunikasi tak dapat ditarik kembali jika Presiden ataupun tim sudah mengatakannya ke khalayak luas. Saat Presiden Prabowo dan para juru bicaranya keliru menyampaikan pikiran, ataupun kebijakan, bisa saja publik memaklumi atau memaafkan, tetapi tak akan melupakannya, terutama dalam memori kolektif mereka.
Oleh karena itulah, sangat diperlukan manajemen privasi komunikasi yang mumpuni. Mengacu ke Sandra Petronio, Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclosure (2002), manajemen privasi komunikasi adalah mengelola pertimbangan dan pilihan mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari publik.
Presiden Prabowo dan para juru bicaranya wajib mempertimbangkan dan mengatur pesan yang diproduksi dan dibagikan ke khalayak luas berdasarkan kriteria penting-tidaknya pesan itu. Dalam komunikasi level tinggi seperti Presiden, tak cukup hanya mengandalkan gaya dan kebiasaan personal.
Jika dibedah berdasarkan pilihan gaya komunikasi personal, merujuk ke tipologi gaya komunikasi dari Stewart Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku Human Communication (1994), Prabowo di banyak kesempatan menunjukkan diri sebagai seorang dynamic style.
Gaya dinamis memiliki kecenderungan agresif karena pengirim pesan (sender) memahami bahwa lingkungan pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented).
Kelebihan gaya ini, pesan lebih mudah dipahami karena pernyataan jarang bersayap, dan tidak terlalu banyak memainkan isyarat implisit, seperti bahasa tubuh dan politik simbol lain yang polisemi. Pilihan gaya personal yang berbeda dengan yang selama ini dipraktikkan Joko Widodo (Jokowi).
Kekurangannya, potensi terjadinya letupan dari pernyataan yang kontroversial sangatlah tinggi. Seseorang dengan gaya dinamis terbiasa agresif, terlihat dari pilihan diksi, gaya berorasi, serta keberanian menghadirkan agresivitas verbal.
Sejumlah pernyataan kontroversial Presiden Prabowo, seperti soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), wacana kepala daerah kembali dipilih lewat DPRD, memaafkan koruptor, soal pasar modal, statistik dari kasus keracunan makanan bergizi gratis, dan sejumlah isu lainnya, menuai polemik.
Presiden yang bergaya dinamis harus dibantu oleh tim komunikasi yang solid, profesional, dan memahami karakter komunikasi presidensial, bukan justru menambah bobot masalah seperti saat Kepala PCO Hasan Nasbi menanggapi teror kepala babi di kantor Tempo beberapa waktu lalu.
Merujuk ke Dominic Ifanta dalam tulisannya, Argumentativeness and Verbal Agressivness (1996), ada dua sifat agresif, yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial.
Sementara keagresifan verbal, yakni kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri, di mana argumen bernalar.
Kesukaan berdebat adalah hal lumrah di negara demokrasi. Yang jadi masalah adalah agresivitas verbal menyerang pihak lain dengan pilihan pesan yang riskan menimbulkan persoalan seperti tendesi nirempati atau terkesan merendahkan. Hal-hal seperti inilah yang harus dibenahi dalam praktik keseharian komunikasi presidensial.
Memperbaiki PCO
Pola kerja PCO harus diperbaiki segera. PCO lahir di pengujung periode kedua kekuasaan Presiden Jokowi. Saat itu, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No 82/2024 tentang Kantor Komunikasi Kepresidenan. Pembentukan PCO dilakukan dengan pertimbangan mewujudkan efektivitas penyelenggaraan komunikasi dan informasi kebijakan strategis dan program prioritas Presiden.
Basis kerja PCO melakukan identifikasi dan temuan, analisis dan simpulan, serta rekomendasi penting untuk komunikasi Presiden. Hal ini tergambar dari fungsi PCO, yakni menganalisis isu dan informasi aktual, mengelola materi dan strategi komunikasi, melaksanakan diseminasi informasi dan media komunikasi, serta mengoordinasikan, menyinkronkan, dan mengevaluasi informasi strategis komunikasi antarkementerian/lembaga.
Peran dan fungsi strategis PCO ini bermasalah di awal era pemerintahan Prabowo. Secara personal, tampak jelas ada jarak komunikasi dan chemistry yang tak terjembatani antara Kepala PCO beserta para jubirnya dengan Presiden.
Satgas Penanganan Premanisme dan Ormas akan bekerja efektif, jika dan hanya jika, Presiden Prabowo menjadi yang terdepan dalam pembenahan institusional menyeluruh.
Sulit membayangkan PCO akan berfungsi efektif dengan kantor yang berjarak dari kantor Presiden. Tim komunikasi lembaga kepresidenan harus tahu konteks dinamis isu, suasana kebatinan, pemikiran, prioritas program, dan kebijakan strategis Presiden. Selain itu, juga harus intens memberi report data, temuan, analisis, rekomendasi strategi komunikasi ke Presiden.
Maka, sudah seharusnya ada taklimat reguler dan intens antara Presiden dan tim komunikasinya. Tim komunikasi idealnya menjadi mata, telinga, dan mulut dalam hal komunikasi presidensial. Aktivitas harian dan reguler, seperti manajemen isu, analisis media, analisis percakapan di media sosial, dinamika opini publik yang berkembang, hingga manajemen krisis wajib menjadi bagian tak terpisahkan.
Presiden harus rajin berkomunikasi dengan tim komunikasinya. Semakin berjarak, karakter komunikasi presidensial yang resmi, memberi arahan, dan otoritatif tak akan tergambar dari tim komunikasi.
Secara institusional, PCO juga harus mendapatkan dukungan kuat. Jangan sampai lembaganya ada, tetapi tak bisa berfungsi optimal karena tak didukung dengan anggaran dan kepercayaan untuk menjalankan perannya. Ada tim yang berdisiplin sebagai ”koki” informasi dan ada yang menjadi penyaji.
Para juru bicara yang memainkan peran sebagai penjaga gawang (gatekeeper) utama informasi harus dibagi dengan fokus utama yang spesifik agar tidak tumpang tindih.
Di era informasi yang berlimpah, komunikasi presidensial harus hadir dengan manajemen data, manajemen komunikasi, dan manajemen birokrasi yang memadai. Kondisi global, regional, dan nasional yang tidak baik-baik saja memerlukan kesiapan mitigasi komunikasi agar tak tergerus dan masuk ke pusaran krisis.
Merujuk pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu aktual dan diketahui khalayak luas, terlebih jika mendapatkan liputan media yang masif, sehingga krisis bisa memuncak dan tak terkendali. Di situlah pentingnya penanganan komunikasi agar potensi-potensi krisis bisa termitigasi dengan baik.
Protokol komunikasi penting dimiliki agar pengelolaan komunikasi lebih terukur, tepat guna, dan tepat sasaran. Minimal ada 12 standar penting dalam protokol komunikasi, yakni konteks komunikasi dari pernyataan dan kebijakan, tujuan komunikasi yang diharapkan, rujukan data dan aturan, narasi utama, peran informasi termasuk siapa yang memainkan peran juru bicara, kegiatan komunikasi berdampak yang dipilih.
Selain itu, para pihak yang terlibat, kanal yang tepat untuk digunakan, khalayak sasaran atau komunikannya siapa, efek yang diharapkan, serta panduan yang boleh dan tidak boleh dilakukan/disampaikan.
Salah satu yang mendesak untuk dimiliki dan dijadikan arah serta alur kerja tim komunikasi presidensial adalah protokol komunikasi.
Komunikasi pemerintahan
Protokol komunikasi presidensial ini juga diperlukan untuk mengatasi sumbatan antarkementerian dan lembaga, terutama yang terhubung dengan kebijakan strategis dan program prioritas Presiden.
Sebelum ada PCO, peran ini dimainkan Kantor Staf Presiden (KSP). Saat perpres yang jadi landasan pembentukan PCO mulai berlaku, pelaksanaan fungsi bidang pengelolaan strategi komunikasi di lingkungan lembaga kepresidenan, serta pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi yang dilaksanakan oleh KSP sebagaimana diatur di Perpres No 83/2019, dialihkan menjadi tugas dan fungsi PCO.
Ini menunjukkan posisi penting PCO untuk menguatkan, mengakselerasi komunikasi pemerintah melalui karakter utama komunikasi presidensial.
Gerbong Kabinet Merah Putih adalah yang terbesar sepanjang sejarah pasca-Reformasi, yakni terdiri atas 7 menteri koordinator, 41 menteri, 5 kepala lembaga, 56 wakil menteri. Membawa visi besar ”Bersama Indonesia Maju: Menuju Indonesia Emas 2045”.
Untuk mewujudkannya, pemerintah telah menetapkan 8 misi utama Astacita, 17 program prioritas, dan 8 program quick wins. Nyaris mustahil mewujudkan semua itu jika penanganan komunikasi pemerintahnya amburadul. Protokol komunikasi presidensial dengan tiga pilar, yakni komunikasi publik, komunikasi politik, dan komunikasi organisasi, harus jelas, terarah, terukur, dan adaptif dengan berbagai dinamika yang terjadi.
Komunikasi presidensial tak boleh terjebak cita rasa personal, tetapi harus bersifat institusional. Jika tak memiliki protokol komunikasi dan tidak dapat berfungsi, untuk apa ada PCO?
Artikel ini dimuat di kolom artikel Kompas.id pada Senin, 21 Mei 2025. Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik, Dekan FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah, dan juga merupakan Anggota Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat.