Prostitusi dan Edukasi Harga Diri

Prostitusi dan Edukasi Harga Diri

Kasus prostitusi online (daring) yang melibatkan artis kembali menyentak dan menyeruak ke ruang publik.

Ternyata bisnis dan praktik prostitusi tidak ada matinya, karena profesi dengan mudah menjanjikan penghasilan berlimpah ruah. Bayangkan, sekali “kencan” dengan artis tarifnya Rp 80 juta. Sungguh perilaku tuna susila ini menunjukkan bahwa kesadaran moral dan hukum (agama maupun positif) sebagian warga bangsa ini masih sangat rendah.

Prostitusi bukan hanya persoalan dekadensi moral, tapi juga merupakan persoalan sosial ekonomi (kemiskinan), pendidikan agama, gaya hidup, dan keluarga (broken home). Menurut data ILO (2000), prostitusi merupakan profesi yang berkembang pesat dan tersebar di seluruh dunia.

Secara global, ada sekitar 1,8 juta orang telah terlibat dalam pelacuran: menjadi pekerja seks, mucikari, dan penyedia tempat layanan seksual. Menurut Global Market Information, Havoscope (2015), orang Indonesia menghabiskan uang sekitar USD 2,25 miliar atau Rp 30,2 triliun untuk aktivitas belanja seks dalam setahun.

Sementara data Kementerian Sosial (2016) menyebutkan, total ada 168 titik lokalisasi yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Dari 168 titik, lokalisasi yang sudah ditutup sebanyak 69 titik, tersisa 99 titik (KORAN SINDO, 11 Januari 2019, h. 9).

Dengan kalimat lain, prostitusi, baik daring maupun non-daring di berbagai lokalisasi, merupakan penyakit sosial dan moral (ala jahiliah) sekaligus ancaman masa depan bangsa yang sangat serius, terlebih lagi jika praktik prostitusi itu mengambil bentuk sebagai industri seks.

Dampak negatif yang ditimbulkannya sangat dahsyat dalam merusak masa depan umat manusia, khususnya merusak kesehatan dan kehidupan sosial pekerja seks. Penyebaran HIV/AIDS, penyakit kelamin, dan berbagai penyakit berbahaya lainnya, antara lain disebabkan oleh hubungan seks bebas di luar nikah, termasuk prostitusi.

Akar Masalah

Mengapa prostitusi yang dilarang oleh semua agama itu diminati sebagian orang, padahal merupakan perbuatan keji dan jalan buruk bagi masa depan (QS al-Isra’ [17]: 32). Apa yang menjadi akar dari kompleksitas masalah prostitusi tersebut dan apa alternatif solusinya? Dalam A Study on Prostitution: Its Causes and Complicarion, Amber Hussain (2017) menjelaskan bahwa akar masalah dan faktor pemicu dan pemacu prostitusi itu sangat kompleks.

Pertama, faktor psikologis. Pengalaman menyedihkan dan trauma selama masa kanak-kanak (terutama pelecehan seksual) memiliki dampak negatif bagi kesehatan mental sepanjang hidup. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bindeletal (2012) menemukan bahwa 72% pelacur mengaku mengalami pelecehan verbal, seksual, dan fisik selama masa kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman kekerasan yang intens ini cenderung menghasilkan perasaan sepele yang dapat memulai permulaan mereka untuk memasuki pelacuran.

Kedua, faktor ekonomi. Kemiskinan, sulitnya mendapat pekerjaan, dan tekanan kebutuhan hidup yang berat seringkali menjadi alasan terbesar untuk terlibat dalam prostitusi. Sebab, secara instan dapat membantu untuk memperoleh uang (Jackson etal, 2009). Prostitusi menjanjikan pendapatan yang relatif mudah dan cepat.

Ketiga, faktor pendidikan. Kurangnya pendidikan menjadi salah satu penyebab penyebaran prostitusi. Studi Bindel et al (2012) menemukan bahwa 39% pelacur tidak memiliki kualifikasi formal. Meskipun hal ini mengganggu peluang untuk menemukan sumber penghasilan utama, harga untuk kerja seks juga tetap dibayar sesuai dengan tingkat pendidikan pelacur.

Keempat, faktor sosial. Kurangnya dukungan keluarga (baik finansial maupun emosional) menyebabkan sebagian orang meminati dan menikmati profesi sebagai pekerja seks. Biaya hidup yang mahal, tidak adanya jaminan sosial, dan gaya hidup yang hedonistik, materialistik, dan permisif kerap menjadi penyebab prostitusi.

Kelima, faktor agama dan budaya. Prostitusi merajalela, antara lain karena memudarnya nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan sosial. Iman, ilmu, dan amal saleh tidak lagi menjadi “antivirus” prostitusi atau benteng moral yang dapat menangkal mewabahnya prostitusi, di samping karena lemahnya kontrol sosial kultural.

Di tengah gaya hidup yang glamor dan individualistis, nilai agama dan kearifan budaya yang hidup dalam masyarakat mengalami disfungsi, atau tidak berfungsi secara efektif mencegah dan memproteksi warga bangsa untuk tidak terlibat dalam prostitusi. Terlebih lagi, era digital dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat ini memungkinkan orang menempuh gaya hidup “glamor” tanpa banyak berkeringat.

Edukasi Harga Diri

Prostitusi diyakini tidak akan pernah mati, tetapi bisa dikurangi dan dieliminasi. Karena bisnis dan transaksi prostitusi tidak pernah sepi dari “penjaja dan pembeli”. Bagaimana semua pihak (pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, dan kepala keluarga) memiliki kepedulian (awareness) untuk mengedukasi dan menyadarkan warga masyarakat untuk tidak pernah mendekati dunia prostitusi? Dengan pendekatan religius dan edukatif holistik integratif, upaya pencegahan dan pengurangan masalah prostitusi dapat dilakukan.

Pendekatan religius dititikberatkan pada edukasi moral bahwa nilai-nilai agama itu disampaikan oleh Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan ini, melalui rasul-Nya bertujuan untuk membumikan kemaslahatan, kedamaian, dan kebahagiaan manusia: dalam bentuk menjaga agama itu sendiri (dengan taat beragama), akal pikiran (melalui proses pem belajaran), kehormatan (dengan menutup aurat, berakhlak mulia, tidak berzina, dsb), jiwa (tidak melukai, menyakiti, membunuh, melanggar HAM, dsb), dan harta (memperolehnya secara halal dan legal berikut pendayagunaannya secara benar dan legal).

Salah satu tujuan pembumian agama tersebut adalah menjaga kehormatan, harga diri sebagai manusia yang harus berperilaku mulia, beradab, dan bermartabat, tidak berperilaku sebagai binatang. Karena itu, pencegahan dan proteksi warga masyarakat dari prostitusi perlu dilakukan melalui edukasi harga diri.

Tujuannya agar setiap warga bangsa menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah yang paling mulia sehingga dapat menjaga kehormatan diri dan integritas moralnya kapan pun dan di manapun berada.

Edukasi harga diri berorientasi menjaga kesucian diri (‘iffah), kehormatan, marwah, harkat, martabat, dan integritas moralnya supaya tidak melakukan perbuatan memalukan, kebiadaban, kemaksiatan, dan perbuatan dosa besar, yang sangat potensial menghancurkan keluarga dan diri sendiri.

Edukasi harga diri esensinya adalah penyadaran diri bahwa setiap insan memiliki kesucian dan harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaan yang harus dijaga dan diproteksi agar tidak dinodai dan dihancurkan dengan perilaku seksual, orientasi, dan gaya hidup hewani.

Jadi, edukasi harga diri itu bersifat informatif, protektif, konsultatif, dan preventif, agar masa depan dan harga diri siapa pun, lelaki ataupun perempuan, dapat dijaga dengan baik, tidak salah pergaulan, hamil di luar nikah, salah orientasi dan gaya hidup yang serba hedonis, permisif, dan materialistis.

Dalam Islam, edukasi harga diri diintroduksi dan dihabituasi dengan menutup aurat sejak dini, menjaga pandangan mata dan menjaga kemaluannya, serta melarang perempuan menampakkan perhiasan, kecuali yang biasa tampak (QS An-Nur [24]: 31).

Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk menyuruh anak-anak perempuan dan istri-istri beliau sendiri serta kaum hawa untuk memakai jilbab/hijab (menutup aurat) (QS al-Ahzab [33]: 59). Budaya hidup sehat dan bersih dengan menjauhi pornografi, pornoaksi, penyimpangan seksual seperti LGBT, dan sebagainya merupakan aktualisasi edukasi harga diri.

Dengan demikian, edukasi harga diri dalam rangka mnangkal virus prostitusi menghendaki peran dan partisipasi aktif semua pihak agar warga bangsa ini tidak terpapar dampak negatif prostitusi yang dapat mengancam masa depan bangsa.

Jadi, edukasi harga diri harus menjadi komitmen semua, wabil khusus, para pemimpin umat dan bangsa untuk intelektualisasi, motivasi, spiritualisasi berupa pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), habituasi akhlak mulia, kebiasaan positif, dan pergaulan sosial yang sehat, bermanfaat, dan bermartabat.

Dr Muhbib Abd Wahab MA, Kepala Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran-sindo.com, Sabtu, 19 Januari 2019.(lrf/mf)