PPIM UIN Jakarta Inisiasi Gerakan Melawan Ekstrismisme Kekerasan di Asia Tenggara

PPIM UIN Jakarta Inisiasi Gerakan Melawan Ekstrismisme Kekerasan di Asia Tenggara

Ciputat, BERITA UIN Online— Meningkatnya kasus-kasus ekstrimisme kekerasan berbasis identitas agama di negara-negara Asia Tenggara menjadi salah satu masalah krusial bagi stabilitas kawasan ini. Konflik di Marawi di Philippina, Rohingya di Myanmar, serta beberapa kasus kekerasan terhadap minoritas di Indonesia dan beberapa wilayah lain menjadi bukti nyata bahwa masalah ini menjadi ancaman bagi stabilitas kawasan dikenal sangat plural ini.

Dalam merespon persoalan tersebut, PPIM UIN Jakarta bekerjasama dengan UNDP Indonesia melalui program CONVEY mengadakan regional workshop dengan tajuk “Violent Extremism and Religious Education in Southeast Asia”, yang berlangsung pada 11-13 Desember 2017 di Jakarta. Kegiatan tersebut dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari negara-negara di Asia Tenggara yang menggeluti isu ini. Di luar ASEAN, hadir pula beberapa peserta dari negara lain seperti Maladewa, Afghanistan, Jepang, Australia dan Amerika Serikat.

kegiatan ini bertujuan mengumpulkan dan memfasilitasi para pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi untuk saling berbagi best practices dan lessons learned terkait bagaimana pengalaman masing-masing kelompok dalam mengkonter ektrimisme kekerasan di negara masing-masing, sekaligus mengidentifikasi masalah dan tantangan yang sedang dihadapi.

Topik utama yang diangkat dalam workshop tersebut adalah mengeksplorasi peran pendidikan agama dalam membuat masyarakat yang terbuka dan toleran. Pendidikan agama dinilai menjadi media yang strategis dalam menciptakan budaya damai dan mencegah ekstrimisme kekerasan.

Dalam pembukaan workshop, Saiful Umam, Direktur Eksekutif PPIM, mengatakan “di pesantren dan madrasah anak-anak diajarkan Islam, bahwa Islam tidak pernah menagajarkan kekerasan. Di sana juga diajarkan untuk menerima perbedaan. Ini menjadi alasan penting untuk meningkatkan peran pendidikan agama melawan violent ekstremisme”.

Topik di atas dibahas dalam dua sesi diskusi plennary dengan tema Why Does Religious Education for Preventing Violent Extremism Matter? Pada hari pertama dan Religious Education and Violent Extremism: Southeast Asia Context pada hari berikutnyaBeberapa yang diundang sebagai pembahas antara lain Biksu Uttama Sara dari Phaung Daw Oo Monastic Education High School dan Thet Swe Win dari Center for Youth and Social Harmony dari Myanmar; Ustadz Esmael Ebrahim dari Philippine Council for Islam and Democracy dan Arnold P. Alamon, Executive Director of Mindanao Interfaith Institute on Lumad Studies dari Philippina; serta Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Jamhari Makruf dari PPIM UIN Jakarta mewakili Indonesia.

Hadir sebagai keynote speaker Prof. Dr. Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Dia menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang plural dari segi agama, bahasa, budaya, dan etnis. Untuk itu Indonesia sangat membutuhkan media untuk menjaga dan mengelola keberagamaan tersebut, dan peran pendidikan agama penting untuk itu. Lebih jauh Kamaruddin menyatakan bahwa keberhasilan Indonesia menjadi negara demokrasi Muslim terbesar di dunia serta memiliki kondisi social politik yang relatif stabil itu tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pendidikan agama, khususnya melalui presantren dan madrasah.

“Artikulasi keberagamaan yang sangat terkait dengan pendidikan agama yang moderat dan mempromosikaan perdamaian, menjadi faktor penting dalam membentuk stabilitas politik di Indonesia. Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan di mana pendidikan agama yang diajarkan di institusi pendidikan dalam banyak aspek berkontribusi terhadap intoleransi dan extrimisme,” Ujar Kamaruddin.

Salah satu pembicara, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyatakan bahwa strategi melawan ektrimisme kekerasan harus dilakukan secara komprehensif, dan tidak bisa dilakukan dengan cara yang ad-hoc. Menurutnya, pemberdayaan organisasi Islam moderat, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi mainstream lainnya, menjadi salah satu strategi yang sangat penting.

Namun saat ini, menurut Azyumardi ada infiltrasi gagasan radikal, salafi dan wahabi ke lembaga pendidikan Islam. Untuk itu dia merekomendasikan agar pemerintah melakukan training kepada para guru untuk memastikan wawasan kebangsaan mereka sesuai dengan konteks keindonesiaan. Kondisi ini umumnya juga sedang dialami di komunitas-komunitas Muslim di negara-negara Asia Tenggara. Meningkatkan gerakan transnasional dan perkembangan teknologi menjadi faktor penting pendorong masalah ini.

“Sejumlah riset yang dilakukan PPIM telah mengkonfirmasi tren radikalisme dan intoleransi yang sedang berlangsung di dalam institusi pendidikan. Teks pendidikan agama dan guru agama telah menyediakan kesempatan dalam meningkatkan tindakan intoleransi dan ektrimisme kekerasan bagi kalangan generasi muda” tambah Azyumardi.

Workshop ini juga membahas isu-isu penting lainnya terkait melawan ekstrimisme kekerasan di Asia Tenggara. Isu-isu tersebut dibahas dalam sesi parallel diskusi dengan tema-tema specific meliputi: kebijakan pemerintah, peran organisasi masyarakat sipil berbasis agama, kurikulum pendidikan agama, social media, pendidikan literasi agama, dan peran keluarga. Difasilitasi oleh para ahli di bidang sosial keagamaan seperti Ali Munhanif, Jajang Jahroni, Didin Syafruddin, dan Dadi Darmadi, sesi ini menjadi wadah tukar pengalaman dan gagasan antar para perwakilan negara-negara Asia Tenggara dan negara lain dalam usaha mengkonter ektrismisme kekerasan di negara mereka masing-masing.

Diakhir kegiatan, para perserta bersepakat mendeklrasikan sebuah piagam yang berjudul” Jakarta Declaration On Violent Extremism & Religious Education”. Deklarasi itu berisi sepuluh butir aksi yang dibutuhkan dalam mengkonter ekstrimisme keagamaan di Asia Tenggara. Poin-poin tersebut di antaranya: menolak segala bentuk kekerasan; mendukung pemerintah meregulasi pendidikan agama yang mendukung toleransi dan perdamaian; mengintensifkan inter- dan intra-faith dialog; memperkuat kapasitas guru agama dan orang tua dalam melawan ektrimisme kekerasan; mainstreaming kesetaraan gender dalam pendidikan agama; dan memberdayakan pemuda sebagai garda terdepan dalam mengkonter ekstrimisme kekerasan.

Pada sesi penutupan, Prof. Jamhari Makruf selaku Dewan Penasehat PPIM UIN Jakarta berpesan “jaringan yang sudah kuat antara kita dapat menguatkan perjuangan dalam melawan paham ekstrimisme. Sepuluh poin dalam deklarasi ini merupakan output yang bagus dari konferensi ini. Mari gaungkan poin-poin deklarasi ini untuk mecegah dan melawan radikalisasi di era globalisasi saat ini di negara kita masing-masing”. (farah nh/rangga/dirge/zm)