Posisi TNI dalam Pemilu

Posisi TNI dalam Pemilu

Oleh: Gun Gun Heryanto

Saat ini, ada satu persoalan krusial yang nyaris luput dari perhatian publik akibat begitu banyaknya persoalan yang mendominasi opini publik di negeri ini. Persoalan tersebut, terkait dengan posisi TNI dalam Pemilu mendatang yang saat ini sedang dibahas di DPR seiring dengan upaya para politisi Senayan merevisi UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD. Sebagaimana publik ketahui, paket UU Politik antaralain Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, serta Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2010. Artinya, saat ini bahasan mengenai substansi revisi UU tersebut sengit dan alot  dibahas karena terkait dengan relasi kuasa di antara berbagai kekuatan politik yang bertarung. Salah satu hal yang sangat penting untuk mendapatkan pengawalan publik, tentu saja terkait dengan aturan main menyangkut posisi TNI dalam Pemilu mendatang.

Melanggar UU

Di dalam rapat-rapat pembahasan revisi UU No.10 tahun 2008, wacana mengenai hak memilih TNI dalam Pemilu kembali mencuat. Bahkan, ada beberapa fraksi yang sepertinya mendukung kembalinya TNI ke dalam gelanggang politik. Wacana pemberian hak memilih bagi TNI aktif, sekilas mendasarkan diri pada argumen yang mengesankan seolah-olah hal tersebut demi kepentingan institusi dan hak politik para anggota TNI sendiri ke depan. Asumsi para pengusul, memberi hak memilih bagi TNI, sama halnya mengembalikan hak asasi manusia yang seharusnya dimiliki oleh para personel TNI sekaligus menghapus kecurigaan pada institusi ini jika mereka diberi hak memilih. Namun benarkah hal tersebut menguntungkan bagi TNI dan bangsa ini? Menurut penulis, wacana pemberian hak memilih bagi TNI ini akan bertentangan dengan UU, mengancam tantanan demokrasi sekaligus membahayakan bagi reformasi internal di tubuh TNI sendiri.

Terkait dengan UU yang mengatur institusi TNI, jelas dan ekplisit  UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, terutama Pasal 2 menyebutkan “Tentara profesional adalah tentara yang tidak berpolitik praktis”. Untuk bisa seperti itu, TNI harus netral dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. TNI sebaiknya meneruskan pengalaman saat menghadapi Pemilu 2009. Guna memperjelas sikap netral, Panglima TNI mengeluarkan instruksi nomor Ins/1/VIII/2008 pada 28 Agustus 2008. Poin pertama di instruksi tersebut mempertegas bahwa TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Pembahas revisi UU Pemilu tentunya harus menjaga agar jangan sampai ada upaya pihak-pihak tertentu yang menarik kembali TNI ke dalam politik praktis, misalnya berupaya melibatkan TNI dalam dukung mendukung atau menjadikan mereka sebagai pengurus parpol.  Hal ini, akan bertentangan dengan UU RI No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Ketentuan tersebut terdapat dalam Bab II Pasal 3 ayat 2, yang pernah dijabarkan ke dalam PP No. 12/1999. Disebutkan, bahwa pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus parpol. Oleh karena itu, pegawai negeri termasuk anggota TNI yang menjadi anggota dan atau pengurus parpol harus diberhentikan sebagai pegawai negeri atau anggota TNI. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. K.26-17/V.19-14/99 pada point 2.a yang memperkuat pelaksanaan UU No. 43 tahun 1999.

Bagi pegawai negeri sipil ataupun TNI yang menjadi anggota atau pengurus parpol setelah berlakunya UU tersebut, maka yang bersangkutan bisa diberhentikan dengan hormat jika sebelum menjadi anggota atau pengurus parpol memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Begitupun mereka bisa diberhentikan secara tak hormat, jika sebelum menjadi anggota atau pengurus parpol tak memberitahukan diri. Larangan menjadi anggota atau pengurus parpol secara tegas juga diberikan kepada keluarga (istri/suami) prajurit TNI.

Di Pemilu 2009, sudah sangat jelas Prajurit TNI yang akan menggunakan haknya untuk dipilih dalam Pemilu dan Pemilukada harus membuat pernyataan mengundurkan diri dari dinas aktif dengan kata lain pensiun sebelum tahap pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada. Sikap ini lugas tertuang dalam surat telegram Panglima TNI Nomor STR/546 / 2006 tanggal 22 Agustus 2006. Panglima TNI saat itu, menginstruksikan agara seluruh anggota TNI tidak diperkanankan menjadi anggota KPU di pusat maupun daerah. Tidak diperkenankan campur tangan dalam menentukan dan menetapkan peserta Pemilu. Dilarang memobilisir semua organisasi sosial, keagamaan dan ekonomi untuk kepentingan parpol dan kandidat tertentu.

Anggota TNI dilarang menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan. Selain itu, juga tidak diperkanankan menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Ketua Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pendaftaran Pemilih, tidak campur tangan dalam penentuan dan penetapan peserta Pemilu perorangan (Dewan Perwakilan Daerah). Selian itu juga terlarang menjadi peserta dan juru kampanye, termasuk menjadi tim sukses kandidat.

Jika pembahasan revisi UU No.10 tahun 2008 yang akan menjadi regulasi penyelenggaraan Pemilu 2014 nantinya menyepakati diperbolehkannya kembali para anggota TNI memilih, tentu ini sebuah kemunduran bahkan paradoks dengan salah satu amanat reformasi yang tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sekaligus keinginan tersebut tak mengapresiasi upaya yang telah dilakukan TNI sendiri yang sejak tumbangnya rezim Orde Baru sedang berupaya menjaga jarak dari politik praktis.

Mereduksi Reformasi

Niatan memberikan hak memilih bagi TNI dikhawatirkan juga akan mereduksi reformasi internal yang saat ini sedang berjalan. Pasca reformasi, TNI telah berupaya merumuskan paradigma baru. Salah satu substansinya, TNI bertekad meninggalkan fungsi sosial politik yang di zaman Orde Baru populer dengan sebutan dwi fungsi dan berkonsentrasi pada fungsi pertahanan. Dengan demikian, konsekuensinya seluruh jajaran TNI baik institusi, satuan, maupun perorangan tak lagi melakukan kegiatan politik praktis ataupun menjadi partisan salah satu parpol. Sebagai rujukan, berdasarkan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 ditetapkan, peran TNI sebagai alat pertahanan NKRI. Untuk mewujudukan perannya sebagai alat negara, kebijakan TNI dalam Pemilu seyogianya mendukung agar penyelenggaraan Pemilu dapat terlaksana secara lancar dan konstitusional.

Sangat bisa dimaklumi, untuk mencapai tujuan politik, kontestan Pemilu  baik untuk DPR, DPRD, DPD maupun calon Presiden dan Wapres akan sarat dengan persaingan. Terutama, dalam memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat. TNI sebagai salah satu komponen bangsa yang masih mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat sangat mungkin dijadikan sasaran tarik-menarik kekuatan politik peserta Pemilu. Hal tersebut cukup beralasan mengingat TNI mempunyai organisasi yang terstruktur di seluruh penjuru tanah air.

Paling tidak ada dua hal yang rentan jika TNI kembali terlibat politik praktis. Pertama, karakteristik yang kental di tubuh TNI adalah satu komando (unity of command). Organisasi hirarkis yang sangat mengedepankan ketaatan pada atasan. Terbayang betapa bahayanya jika TNI harus mendukung parpol  yang jumlahnya puluhan atau kandidat capres dalam Pemilu. Fragmentasi kekuatan politik akan berpotensi menyeret mereka pada situasi ketidakpastian, terlebih di saat yang bersamaan tingkat kesejahteraan dan penguatan kelembagaan masih belum baik. Kedua, saat ini reformasi internal di tubuh TNI belum tuntas. Pusaran konflik politik dalam Pemilu akan mengancam proses yang sedang berjalan, sehingga dikhawatirkan semuanya akan kembali ke titik nol. ***

Tulisan ini pernah dimuat Jurnal Nasional, 22 September 2010

Penulis adalah dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute