Pilpres 8 Juli 2009

Pilpres 8 Juli 2009

Pekan depan, 8 Juli 2009, rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih bakal memberikan suaranya dalam pemilihan umum presiden (pilpres). Sebuah momen yang ditunggu-ditunggu setelah musim kampanye yang cukup melelahkan dan juga ketegangan. Berbagai usaha dari ketiga pasangan capres-cawapres: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto, untuk mendapat dukungan dari para pemilih telah dilakukan. Hasil dari perjuangan mereka kini bakal diputuskan rakyat pada Pilpres 8 Juli tersebut.


Pilpres kedua secara langsung (pertama pada 2004) tidak ragu lagi merupakan salah satu tahap penting dan krusial dalam konsolidasi demokrasi lebih lanjut sehingga Indonesia dapat menjadi negara demokrasi terkonsolidasi. Tetapi, konsolidasi demokrasi tidak selalu berlangsung linear. Karena, dalam proses-proses demokrasi itu, di sana sini terjadi hal-hal yang tidak selalu sesuai dengan harapan. Salah satu contoh adalah menyangkut kekisruhan tentang DPT dalam Pemilu Legislatif 8 April lalu, di mana puluhan juta pemilih yang sebenarnya ingin memberikan suara gagal mewujudkan hak-hak demokrasinya, Kita tentu saja tidak mengharapkan terjadi lagi kekisruhan mengenai hal yang sama atau hal-hal lain yang dapat menimbulkan persoalan tentang proses dan bahkan keabsahan hasil pilpres tersebut. Kita bersyukur bahwa dalam pileg dan masa kampanye pilpres yang lalu tidak terjadi konflik fisik atau kekerasan dalam skala mencemaskan di antara para pendukung masing-masing pasangan capres-cawapres. Karena itulah, suasana yang telah kondusif tersebut mesti tetap dipelihara para capres-cawapres, tim sukses masing-masing, dan tentu pula pendukungnya pada berbagai lapisan massa.

Harus dikatakan, potensi bagi kemungkinan munculnya kekisruhan tetap ada. Misalnya, hal-hal yang biasa disebut dalam pemilu Orba sampai sekarang sebagai 'serangan fajar', yakni pemberian materi, kupon yang bisa ditukar dengan dana kontan, atau iming-iming tertentu kepada para pemilih menjelang mereka memberikan suara di TPS. Atau, boleh jadi, juga dalam bentuk pengerahan aparat birokrasi dan negara pada berbagai levelnya yang melakukan persuasi, penggiringan, dan mungkin intimidasi untuk memilih pasangan tertentu.
Potensi kekisruhan juga terdapat pada waktu pencontrengan. Misalnya, dalam bentuk pencontrengan yang 'diwakili' orang tertentu atau pencontrengan berulang kali oleh orang yang sama. Dan, yang juga krusial mengandung potensi kekisruhan adalah pada proses penghitungan dan rekapitulasi suara dari TPS dan seterusnya sampai ke tingkat nasional, yang bukan tidak mungkin melibatkan manipulasi seperti terlihat dalam beberapa kasus pada pileg yang lalu.

Karena itu, segala potensi itu mestilah diantisipasi. Pertama-tama, tentu saja penting ditekankan kepada para kandidat dan tim sukses agar tetap berpegang pada integritas dalam usaha mencapai kemenangan; tegasnya memegang prinsip; menang hanya dengan cara-cara yang jujur; fair ; adil; dan bermartabat. Sebaliknya, tidak menghalalkan segala cara. Siapa pun yang melakukan hal-hal ini bukan hanya merusak demokrasi, tetapi juga mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara.

Penekanan  pada hal ini boleh jadi hanya tinggal sebagai imbauan moral yang cenderung tidak dipedulikan mereka-mereka yang terlibat. Bahkan, ketentuan-ketentuan hukum yang jelas-jelas memiliki sanksi pun cenderung diakal-akali dan bahkan dilanggar. Karena itu, masalahnya kemudian harus dikembalikan kepada lubuk hati yang paling dalam, yang tak mungkin berdusta.

Meski demikian, kita jelas tidak bisa hanya bersandar pada imbauan moral dan berbagai ketentuan hukum dan sanksinya. Di sinilah, kemudian pentingnya pengawasan dan pemantauan oleh para saksi pada berbagai tingkatannya, sejak dari TPS, ke tingkat lanjutan, sampai rekapitulasi suara dapat dihasilkan dan bisa diterima semua pihak. Dengan demikian, pilpres dapat berlangsung secara baik, damai, dan jujur sehingga tidak menimbulkan kekisruhan-kekisruhan yang bukan hanya dapat mengancam hasil-hasil pilpres itu sendiri, bahkan juga keutuhan politik dan sosial negara bangsa ini.

Dalam kaitan itu, penting kembali menekankan peran berbagai organisasi dan kelompok  civil society (masyarakat madani, masyarakat sipil, atau masyarakat warga) untuk mengawal proses-proses pilpres. Mereka ini tidak hanya dapat menjadi kekuatan moral terhadap setiap mereka yang terlibat dalam kompetisi, tetapi juga bisa berperan memelihara keadaban ( civility ) masyarakat akar rumput. Berbagai penelitian ilmiah akademis menunjukkan, organisasi dan kelompok  civil society dapat menanamkan keadaban di kalangan para anggota dan masyarakat serta mencegah terjadinya kekisruhan, konflik, dan kekerasan dalam masyarakat.

Dengan demikian jelas, itu adalah tanggung jawab setiap pihak para kandidat; tim sukses; massa pendukung; penyelenggara negara; KPU dan Bawaslu; mereka yang terlibat di TPS dan proses penghitungan dan rekapitulasi suara, baik secara manual maupun elektronik; serta  civil society untuk mengawal proses-proses pilpres. Hanya dengan kesungguhan dan kemauan semua pihak, kita dapat menyelenggarakan pilpres dengan tenteram dan pada gilirannya menghasilkan kepemimpinan nasional pilihan 'mayoritas' rakyat.