Pilkada, Fenomena ” Kutu Loncat” dan Primordialisme

Pilkada, Fenomena ” Kutu Loncat” dan Primordialisme

Oleh: Prof Dr Murodi MA*

[caption id="attachment_8042" align="alignleft" width="183"]Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama Prof Dr Murodi MA Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama Prof Dr Murodi MA[/caption]

Tahun ini, boleh dibilang rakyat Indonesia akan merayakan pesta besar dalam perpolitikan di tanah air. Karena, pada 9 Desember 2015, rakyat Indonesia akan melaksanakan  Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Para kandidat telah diusung partai politik tertentu, dan telah mendaftarkan diri sebagai calon pemimpin daerah.  Setelah masing—masing terdaftar sebagai calon, masing-masing memiliki peluang untuk memenangkan pemilihan kepala daerah, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Meski belum  diperbolehkan kampanye, para  kandidat dan tim, telah melakukan konsolidasi dengan cara masing-masing.

Diharapkan, pilkada serempak kali ini berjalan aman, lancar dan tidak menim­bulkan kekisruhan, seperti terjadi di berbagai daerah pada masa sebelumnya. Sebab, ia akan menjadi barometer Pilkada selanjutnya di tanah air. Harapan ini muncul dari berbagai kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Jika pilkada serempak ini berjalan lancar, maka akan menjadi model bagi pelaksanaan pilkada selanjutnya di tanah air.

Hanya persoalannya, bisakah harapan itu terwujud, mengingat Pilkada tahun ini merupakan proses pemilihan kepala daerah pertama kali yang dilakukan secara serempak yang katanya, masih memiliki kelemahan, di antaranya rekomendasi BPK agar pilkada ditunda, hingga semua elemen siap menjalankannya. Meski begitu, proses pendaftaran sudah dilakukan, tinggal menunggu proses pengambilan nomor urut buat menentukan siapa memperoleh nomor berapa pada masing-masing kandidat di setiap daerah pemilihannya.

Persoalan lain yang dikhawatirkan muncul ke permukaan adalah berkem­bangnya isu-isu negatif dan black campaign, berupa money politics, dan primordialisme. Jika tidak teratasi, upaya mewujudkan terwujudnya Pilkada yang demokratis dan transparan, akan terhambat. Karena ada sebagian masyarakat yang resisten terhadap para kandidat—yang masih menjabat kepala daerah sebagai  petahana. Terlebih kini banyak kandidat yang datang, migrasi dari daerah lain. Ada yang menyebut mereka sebagai ”Kutu Loncat”, yang ingin mencari keuntungan dan popularitas sendiri. Kalimat ini, jika  dipahaami secara bijak, sebenarnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi para kandidat. Bukan dipahami sebaliknya, sebagai kalimat black campaign atau sarkasme buat mereka. Karena itu, mereka harus dapat membuktikan bahwa mereka bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di daerah tempat mereka mencalon­kan diri.

Fenomena ”Kutu Loncat” dan Primordialisme.

Fenomena terkini yang menarik untuk dicermati berkaitan dengan potret perpolitikan di negeri ini, adalah fenomena pindah partai, misalnya kandidat yang mencalonkan diri untuk Pemiluka DKI Jakarta, Tangerang Selatan, dan Pemilu legilatif  lainnya di tanah air. Bukan tidak boleh. Tetapi dari etika berpolitik, tidak menunjukkan i’tikad yang baik untuk memberikan contoh bagi masyarakat umum. Mudahnya seseorang pindah partai, hanya ingin memperoleh kedudukan tertentu dalam sebuah pemerintahan, baik lokal maupun nasional, menandai adanya fenomena ” kutu  loncat” itu.

Sementara mereka yang potensial, memiliki visi misi dan program yang jelas dengan konsep segudang, tidak men­dapatkan dukungan partai untuk menempati jabatan dan posisi startegis, hanya karena ”kurang gizi” Di sinilah terlihat adanya ketidakjelasan sistem pen­jenjangan karier politik seserorang di era reformasi seperti sekarang ini. Fanomena ”kutu loncat” ini menandai tidak sehatnya berdemokrasi di negeri ini.

Hal penting  lainnya adalah penggunaan kendaraan kedekatan etnis atau primor­dialisme dalam Pilkada, di manapun, tidak hanya di DKI Jakarta,Tangerang Selatan, dan daerah lainnya di Indonesia. Ketika seorang tokoh diusung untuk menduduki jabatan nomor satu di suatu daerah dan tokoh tersebut berasal dari dareah itu sendiri, biasanya para kandidat mendekati tokoh masyarakat yang memiliki banyak massa. Diharapkan dengan penggunaan simbol-simbol primordialisme ini para kandidat akan mendapat dukungan suara mayoritas dan memenang­kan kontestasi politik. Tetapi kini, khusus untuk Pilkada DKI, Tangsel, dan lain-lan, tampaknya kurang mengena. Alasannya, DKI Jakarta, Tangsel, memiliki karakter berbeda dengan daerah lain. Ia memiliki karakterstik tersendiri. Masyarakatnya sangat heterogen. Berasal dari berba­gai etnis dengan profesi beragam. Sungguh agak sulit menyatukan etnisitas ke dalam program yang dicanangkannya. Misalnya, ada kandidat yang berasal dari komunitas etnis Betawi, etnis Jawa, Sunda, Tionghoa, dan sebagainya, mereka berlomba memper­oleh dukungan suara dari masing-masing etnis. Tampaknya agak sulit, jika masing-masing kandidat mengharapkan suara hanya karena pendekatan etnis. Bukan tidak boleh. Silakan saja. Karena dalam berpolitik ada jargon vox populy vox dei, suara rakyat, suara tuhan. Siapa yang mampu mendekati masyarakat dan berhasil menarik perhatian dan simpatinya, ia akan memperoleh dukungan suara kuat.

Tetapi untuk kasus Pilkada DKI Jakarta, Tangsel, yang kini dilakukan secara serentak, pendekatan primordialisme, tampaknya, sekali lagi, kurang pas. Sebab, penduduk DKI Jakarta, Tangerang Selatan, dan penduduk asli di manapun di  seluruh Indonnesia, sudah lebih cerdas memilih. Mere­ka akan menentukan pilihannya secara rasional melalui program dan kerja nyata ke depan. Bukan hanya janji. Hal itu dilihat dari track record yang baik, seperti kapa­bilitas, akuntabilitas, profesionalitas, dan lain sebagainya yang membuat mereka memilih kandidat tersebut.

Selain itu, kita juga tidak bisa menutup mata, jika ada money politic dalam percaturan politik praktis  di negeri ini. Jika seseorang ingin  mencalonkan diri menjadi kandidat bupati/wali kota atau gubernur, atau mungkin pucuk pimpinan sebuah organisasi, mereka yang memiliki kapital besar yang bisa memenangkan pertarungan itu. Semen­tara yang ”kurang gizi”, meski ia terhitung cerdas dan memiliki konsep bagus, terpen­tal. Sepintas kasus ini tampaknya fenomena biasa. Tetapi jika dicermati, ada semacam  ”pengebirian demokrasi”. Uang di atas segalanya.

Efek Bola Salju

Dampak dari semua itu, ketika kandidat memenangkan percaturan politik lokal, seperti pemiluada DKI Jakarta, Tangerang Selatan, dan daerah-daerah lain di  Indonesia, usaha untuk pembangunan daerah, bisa jadi terhambat oleh berbagai kepentingan sponsor yang mendukungnya. Para sponsor akan menagih janji sang pemenang. Di sinilah muncul permainan politk projek. Para sponsor menagih agar projek-projek pembangunan diberikan ke mereka. Jika ini terjadi, maka semakin panjang matarantai korupsi, dan semakin lama penegak hukum menyelesaikan korupsi. Efek berikutnya, tentu saja, kinerja pemerintahan, menjadi tidak optimal. Pembangunan tidak berjalan sesuai agenda program yang dicanangkan. Problem sosial kemasyarakat, juga tak teratasi dengan baik. Karena mereka sibuk mengumpulkan pundi-pundi untuk kepentingan pribadi, golongan dan partai. Perilaku politik seperti ini, kini tampaknya dianggap lumrah. Tak heran jika banyak kader partai dan pejabat terseret korupsi. Contoh perilaku politik yang tidak baik. Padahal banyak masyarakat menanti janji perubahan yang dicanangkan para kandidat gubernur, wali kota/bupati.

Mengedepankan kepentingan sendiri atau primordial, dengan banyak meng­abaikan kepentingan yang lebih besar bersifat nasional, seringkali tidak menghasilkan apa-apa, kecuali keuntungan kelompoknya masing-masing. Dalam pilkada DKI, dan Tangsel nanti, misalnya, jika konsep primordialisme ini tetap dipertahankan, maka saya kira tidak akan membawa hasil maksimal. Terlebih, misalnya, mengusung etnis, Betawi, Jawa, Sunda, Tionghoa, dan menolak etnis lain, bukanlah contoh cara berdemokrasi yang baik. Bukan tidak boleh. Hanya kurang etis, jika menerima atau menolak etnis tertentu. Karena mereka sama-sama mempunyai hak suara dalam pemilikuda nanti. Biarkan mereka menentukan nasib daerah masing--masing ke depan dengan cara memilih sesuai pilihan mereka sendiri. Jangan mereka diarahkan untuk memilih atau menolak kandidat tertentu.

Saya kira, jalan yang terbaik adalah ajak semua masyarakat, terlepas dari etnis dan agama masing-masing, untuk menggunakan hak mereka secara demokratis, demi pembangunan daerah lebih baik lagi di masa yang akan datang. Merekalah penentu masa depan. Bukan pada kandidat.  Jika ini dilakukan, saya yakin, harapan masyarakat akan cepat terwujud, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Semoga.

Restrospeksi Justice

Problem lain yang sering menjadi tontonan kurang mengenakkan dalam proses pem­bangunan bangsa dan negara, adalah persoalan hukum. Banyak produk hukum dibuat, tetapi tidak diterapkan secara maksimal attau bahkan dilanggar. Kalau toh diterapkan, biasanya dipergunakan yang hanya menguntungkan kelompoknya saja. Persoalan inilah yang membuat ma­syarakat bingung. Mereka akan mencontoh siapa dan menggunakan hukum yang ma­na. Karena produk hukum yang dibuat biasanya hanya dijadikan alat untuk me­ne­gakkan hukum yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dalam kata lain, pene­gakkan hukum ibarat penggunaan pisau. Tajam ke bawah, tumpul pada bagian atas. Banyak contoh dapat kita saksikan, misalnya, mereka yang mencuri buah kakau di­selesaikan lewat proses hukum. Mencuri sandal jepit dihukum, sementara korupsi terabaikan dan para koruptor dengan seenaknya gentayangan di mana-mana. Padahal, jika menerepkan restrospeksi justice,  per­soalan hukum berskala kecil, dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Toh, kita ini bangsa Indonesia, yang katanya ramah dan penuh persaudaraan, dengan tradisi dan budaya lokal yang bijak, bukan bangsa Barat.

Kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum, menjadi harapan besar masyarakat Jakarta di masa mendatang. Semoga Pemilihan Kepala daerah yang dilakukan secara serentak dilakukan tahun ini, bukan trial and error, tapi barometer keberhasilan  proses demokratisasi di Indonesia, sehingga proses penyelesai­an hukum  berjalan dengan baik, tanpa mengenal posisi, status dan jabatan seseorang.  Semua masyarakat, sama di mata hukum.Wassalam.

Penulis adalah Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Jakarta. Artikel dimuat Koran Tangsel, Senin 31 Agustus 2015.