Pesan Damai dari Mekkah

Pesan Damai dari Mekkah

Jumat kemaren (22 Maret) kami shalat di masjid Haram. Ini momen yang saya tunggu. Dari suaranya, saya duga khatibnya masih relatif muda. Segera setelah shalawat dan wasiat takwa, sang khatib langsung mengutip hadis Nabi dari kitab Bukhari yang menerangkan bahwa Nabi Adam ketika baru diciptakan langsung diperintah Allah untuk mengucapkan salam kepada para malaikat, "Assalamu 'alaikum." Dijawab oleh para malaikat secara lengkap "Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh".

Menurut Khatib, perintah menebarkan salam (dalam arti damai dan keselamatan) sudah sejak nabi Adam hingga nabi Muhammad. Dengan semangat, sang Khatib membicarakan soal salam yang terkait dengan mahabbah, rahmah, dan ulfah bagi sesama Muslim dan umat manusia. Dengan mengutip beberapa ayat ia kemudian menjelaskan konsep "Takrim" kemuliaan manusia yang pantas mendapat penghormatan dan sikap santun dari sesama manusia, tanpa memandang agama, bangsa dan ras-nya.

Yang menarik sang Khatib kemudian mengutip contoh-contoh perilaku Nabi SAW dengan non-Muslim. Misalnya, Asma binti Abu Bakar (Puteri Abu Bakar) memiliki ibunda yang masih musyrik. Sang ibu kemudian sakit. Asma minta izin kepada Nabi SAW, "Bolehkah saya memandikannya, Nabi?" "Ya, mandikan dan urus ibundamu dengan baik," jawab Nabi.

Ada 3 contoh hubungan Nabi SAW yang humanis dengan orang Yahudi yang diceritakan Khatib. Yang 2 samar-samar. Yang satu saya ingat betĂșl karena sangat populer: Nabi berdiri untuk menghormati jenazah orang Yahudi yang lewat. Ketika diprotes oleh para sahabat, "dia Yahudi, Nabi!" "Tapi, apakah dia manusia? apakah dia manusia?" Nabi menegaskan.

Saya geleng-geleng kepala mendengar khutbah ini di Masjidil Haram. Hebat Khatib ini! Kalau khutbah begini disampaikan di negeri-negeri Muslim yang multiagama dan kultur, wajar. Ini disampaikan di tanah Haram, di tempat yang tak ada satu pun non-Muslim tinggal disini, di kota yang selama Abad Pertengahan menjadi pusat perhatian seluruh dunia Islam, di negeri yang kini masih di bawah pengaruh teologi Wahabi.

Apakah khutbah ini bagian dari reformasi kultural dan paham keagamaan yang dicanangkan Pangeran MBS? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, sang Khatib mengajak ribuan jamaah shalat Jumat di masjidil Haram untuk menghormati dan mencintai manusia dan kemanusiaan (yang kini mulai tergerus di banyak negeri Muslim karena politik identitas).

Pada khutbah kedua, ketika Khatib mengulang-ulang doa, "Allahumma 'aizzal Islam wal Muslimin", orang Arab di samping saya dengan janggut yang lebat dan kepala ditutup surban, menangis tersedu-sedu. Saya mengamatinya dengan dada bergetar sambil menduga-duga, kenapa ia menangis? Semoga karena ia meresapi khutbah yang luar biasa itu.

Dr Media Zainul Bahri MA, Dosen Matakuliah Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kamis, 25 Maret 2019. (lrf/mf)