Permasalahan Guru di Indonesia

Permasalahan Guru di Indonesia

Pendidikan sangat menentukan kemajuan dan mutu sebuah bangsa. Kualitas pendidikan memengaruhi kualitas bangsa. Bangsa yang maju memiliki pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik diperoleh dari kualitas guru yang baik. Guru merupakan faktor kunci mutu pendidikan dan kemajuan sebuah bangsa.

Bangsa yang abai terhadap guru akan sulit maju karena kualitas generasi penerus ditentukan oleh guru—selain orangtua dan pemerintah. Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum tetapi sulit dalam praktik. Pemerintah setengah hati meningkatkan mutu pendidikan melalui perbaikan guru dalam beragam aspeknya.

Tahun 2018, tepatnya April, DPD RI menginisiasi perubahan UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Dibentuklah lima tim ahli, dua dari PGRI dan tiga dari ADI yang bekerja selama enam bulan. Penulis mewakili PGRI bersama Prof Supardi. Dari proses kerja tim ahli dan anggota DPD RI itu ditemukan masalah-masalah guru, di antaranya menyangkut: pemerataan, kompetensi, pelindungan, dan kesejahteraan.

Pemerataan

Bukan hanya kekurangan guru PNS dan guru tetap atau kontrak, Indonesia mengalami mismanajemen distribusi guru. Satu sekolah, satu kecamatan, atau satu kabupaten/kota kelebihan guru, sementara yang lainnya kekurangan guru. Perekrutan, penempatan, dan mutasi guru tidak profesional.

Kecuali itu, setiap tahun banyak guru pensiun tetapi sudah empat tahun ini tidak ada perekrutan guru PNS atau guru kontrak atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Di satu sekolah di banyak daerah, hanya terdapat satu atau dua guru yang merangkap sebagai kepala sekolah, bendahara, sekaligus tenaga administrasi.

Guru bukan PNS di sekolah negeri 735,82 ribu orang dan guru bukan PNS di sekolah swasta 798,2 ribu orang. Jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Saat ini, Indonesia kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang (Safyra, 2018).

Tingginya jumlahnya guru honorer bukti sekolah kekurangan guru. Banyak guru telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun tetapi statusnya masih honorer. Selain menjadi PNS, guru-guru yang sudah mengabdi dan dianggap kompeten bisa diangkat menjadi guru kontrak.

Sebelum guru-guru pensiun sudah disiapkan penggantinya minimal satu tahun sebelumnya. Pemenuhan kecukupan guru tidak hanya menghitung sekolah-sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta. Guru PNS atau kontrak diperbantukan di sekolah-sekolah swasta, bahkan mungkin di pesantren sebagai guru mengaji kitab kuning, menghafal Alquran, atau guru mengaji.

Skenario pemerataan guru bisa dilakukan dengan cara menawarkan kepindahan kepada guru, atau bisa dalam konteks minimal tiga (3) atau lima (5) tahun ke depan. Pertama, pengangkatan guru PNS atau guru kontrak berdasarkan domisili; kedua, menyiapkan putra-putri daerah terbaik kuliah di fakultas keguruan untuk dijadikan guru di daerahnya masing-masing.

Selain pemerataan guru, pemerataan sapras juga menjadi kendala pendidikan bangsa ini. Akses jalan dan transfortasi siswa menuju sekolah, kualitas ruang kelas, toilet, perpustakaan, UKS, lapangan bermain, sangat jauh standarnya antar satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kualitas sapras sangat berpengaruh terhadap kinerja guru dan motivasi belajar siswa.

Pemerintah dan Pemda harus berkomitmen menstandarkan sapras sekolah di nusantara ini. Harus ada gerakan memotong gaji pejabat Negara, atau uang hasil korupsi dari para koruptor untuk membangun sapras sekolah. Dibuat regulasi agar dunia usaha dan dunia industri membantu pemenuhan sapras sekolah-sekolah di sekitarnya.

Kompetensi

Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) beberapa tahun terakhir menunjukkan kompetensi guru Indonesia rendah. Peringkat rendah Indonesia dalam beberapa pemeringkatan dunia tentang kemampuan siswa dalam bidang membaca, Matematika, dan Sains juga secara tidak langsung menunjukkan kelemahan kompetensi guru. Rata-rata nasional hasil UKG 2015 bidang pedagogik dan profesional adalah 53,02. Untuk kompetensi bidang pedagogik saja, rata-rata nasionalnya hanya 48,94, yakni berada di bawah standar kompetensi minimal (SKM), yaitu 55 (Maulipaksi, 2016).

Tanda lain guru tidak kompeten adalah tidak bisa menggunakan komputer, metode mengajarnya ceramah, tidak bisa menerapkan metode mengajar yang aktif dan menyenangkan, tidak bisa memanfaatkan dan mengolah informasi dari internet, tidak kontekstual, dan seterusnya.

Ada memang guru yang sudah tidak memiliki motivasi belajar. Merasa benar dengan apa yang dimiliki dan dilakukannya selama ini. Guru ini sebaiknya mutasi menjadi tenaga kependidikan atau pensiun dini. Pemerintah segera memulai standarisasi perekrutan guru, standarisasi fakultas keguruan, dan standarisasi PPG.

Menurut Mark Brundrett dan Peter Silcock (2002:101) dalam buku Achieving Competence, Success and Excellence in Teaching, “Profesionalisme guru dipengaruhi oleh regulasi, ruang kelas, komunitas sekolah, dan proses pembelajaran di fakultas keguruan”.

Perlu badan khusus, organisasi profesi guru, atau fakultas keguruan—atau unsur kedua terakhir bergabung, yang menyeleksi calon guru selain harus sudah memiliki sertifikat pendidik. Peran psikolog dalam tim ini penting untuk mengetahui minat dan bakat guru dalam diri seseorang.

Pembatasan fakultas keguruan. Saat ini jumlahnya terlalu banyak dan banyak yang tidak bermutu. Fakultas keguruan harus memiliki wibawa di masyarakat. Ia harus dijadikan fakultas elit dan idaman generasi muda. Fakultas keguruan hanya milik pemerintah alias negeri. Input mahasiswa keguruan harus standar tinggi. Dibentuk badan khusus pelaksana PPG atau Prodi PPG di fakultas keguruan.

Dengan demikian, akan dimiliki calon-calon guru yang berkualitas tinggi, yang siap menggantikan generasi guru yang tidak kompeten. Sejak semula, guru disiapkan dengan baik, mulai dari input, proses, hingga seleksinya. Guru menjadi profesi tertutup, di mana selain alumni fakultas keguruan tidak bisa menjadi guru. Pilihan kedua, menjadi profesi terbuka dengan syarat proses PPG bagi mereka dilaksanakan secara baik dan penuh tanggung jawab.

PGRI telah melakukan pelatihan-pelatihan menulis artikel dan buku bagi guru-guru Indonesia, yang bermitra dengan Kemendikbud, Jawa Pos, Kompas, Puskurbuk, dan sebagainya. Pada 2018 ini, PGRI meluncurkan PGRI Smart Learning and Character Center (PSLCC), sebagai tempat belajar siswa dan guru dengan media yang interaktif dan menyenangkan. April 2018 PGRI mengukuhkan Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) di antaranya adalah Asosiasi Guru Kelas, Asosiasi Guru TIK (Teknologi, Informasi, dan Komputer), Asosiasi Guru Penulis, Asosiasi Guru Olahraga, dan Asosiasi Guru Bahasa Asing.

Maret 2018, PGRI bekerjasama dengan Education International dan mitra konsorsium dari Australia, Norway, Swedia, dan Jepang menyelenggarakan pelatihan SIK (sistem informasi keanggotaan) upgraded yang dihadiri oleh admin/pengurus SIK dari 34 Propinsi. Pelatihan ini untuk memperkenalkan penggunaan offline sistem di SIK, dimana sistem ini akan sangat berguna di daerah-daerah yang sulit akses internet, sehingga admin tetap bisa melakukan input data di SIK tanpa akses internet.

Pelindungan

Banyak guru masuk bui atau terluka karena “tindakan mendidik” kepada siswa. Orangtuanya marah. Tidak terima anaknya ditegur, dipukul, dijewer, atau diingatkan guru. Dia membalas lebih keras kepada guru. Datang ke sekolah dengan kepala tegak dan ringan tangan. Kata-katanya menyakitkan. Lupa ia bahwa gurulah yang selama ini menjaga, mengajar, dan mendidik anaknya—ketika ia sibuk mencari uang dan mungkin bersenang-senang.

Amy Steketee, Baker, dan Daniel LLP, menulis dalam artikel yang berjudul Are State and Federal Teacher Protection Acts Needed To Protect Teachers from Litigation Concerning Student Discipline?” (2012: 180), “Di beberapa tempat, bahkan yang sudah memiliki regulasi perlindungan guru, guru yang tidak bersalah harus membayar mahal dan mengalami stres untuk membela diri di pengadilan”.

Guru juga manusia biasa yang bisa salah, karena itu ia bisa dihukum sesuai kode etik guru; sesuai hukum profesi guru. Orangtua tidak bisa main hakim sendiri karena pandangan merendahkan guru dan tidak berarti baginya. Banyaknya guru menjadi korban kekerasan orangtua bahkan dipenjara menunjukkan pemerintah perlu melindungi profesi guru. Pada 2017, PGRI dan Polri telah melakukan MoU dan memiliki pedoman kerjasama tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru.

Lainnya, guru sering menjadi korban kesewenangan kepala daerah, yaitu mutasi ke sekolah lain tanpa alasan jelas, atau pemberhentian sebagai kepala sekolah karena digantikan oleh guru pilihannya. Hal ini terjadi karena sebagian guru menjadi tim sukses pasangan tertentu dalam Pilkada. Guru memanfaatkan atau dimanfaatkan calon kepala daerah.

Ke depan, kesalahan guru dalam menjalankan profesi disidangkan di Dewan Kehormatan Guru, seperti halnya dokter, polisi, dan tentara. Guru tidak mudah dibawa ke polisi atau pengadilan. Ide guru dijadikan PNS atau guru tetap pusat dianggap solusi agar mereka tidak dipermainkan kepala daerah.

Kesejahteraan

Ketidakadilan dirasakan guru honorer dan guru swasta yang mendapatkan gaji tidak layak. Di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Gaji guru Indonesia sangat beragam tergantung status dan kualitas sekolahnya. Guru PNS dan guru di sekolah kelas menengah cukup sejahtera, sedangkan guru honorer dan yang belum sertifikasi sangat tidak sejahtera.

Menurut Marianne Perie, dkk. (1996: 203) dalam buku Education Indicators: An International Perspective, “Gaji guru adalah standar hidup guru dan menunjukkan berapa yang masyarakat bayar untuk bekerja dalam bidang pendidikan”.

Pemerintah harus segera menetapkan standar minimal gaji guru, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Jangan ada larangan sekolah menarik iuran bulanan bagi orangtua yang mampu. BOS tidak cukup untuk membayar layak guru-guru honorer. Koperasi sekolah dikelola dengan baik agar keuntungannya untuk kesejahteraan guru dan staf. Kepala sekolah membuat program yang menarik dunia usaha dan dunia industri untuk peduli kesejahteraan guru.

Standarisasi gaji guru baik PNS maupun non-PNS akan merubah citra profesi guru, menarik minat masyarakat untuk menjadi guru, dan mendorong persaingan ketat generasi muda cerdas untuk masuk ke fakultas keguruan atau mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sebaliknya, jurang dalam perbedaan gaji guru PNS dan non-PNS membuat profesi guru tidak menarik bagi masyarakat menengah dan generasi muda cerdas.

Dalam setiap kegiatan organisasi yang dihadiri oleh Dirjen GTK, Setjen Kemendikbud, Mendikbud, Menkeu, Mendagri, Menpanrb, Wapres, atau Presiden, PGRI tidak lelah menyampaikan masalah-masalah guru, termasuk kesejahteraan guru. Contoh, mendesak pemerintah mengangkat guru honorer menjadi PNS; mendorong pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) melekat ke gaji pokok; meminta pembayarannya tepat waktu dan tepat jumlah.

Penutup

Guru adalah profesi yang akan membawa generasi muda Indonesia berdaya saing tinggi di kancah lokal dan global. Jumlah dan mutu guru akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Karena itu, guru harus disiapkan sejak semula agar terpilih dan lahir guru-guru yang kompeten dan punya integritas tinggi. Guru hebat melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter. Pemerintah segera membenahi regulasi dan sistem terkait guru, mulai dari penertiban fakultas keguruan, PPG, perekrutan guru, penempatan, pelindungan, pelatihan kompetensi, dan tentu saja kesejahteraan. Pemerintah tidak bisa sendiri, tetapi bekerjasama dengan masyarakat, dunia usaha, dan dunia industri.

Referensi

Brundrett, Mark dan Peter Silcock, Peter. Achieving Competence, Success and Excellence in Teaching. New York: RoutledgeFalmer, 2002.

Desliana, Maulipaksi. 7 Provinsi Raih Nilai Terbaik Uji Kompetensi Guru 2015. Kemdikbud, 04 Januari 2016.

Primadhyta, Safyra. Separuh Jumlah Guru Indonesia Masih Berstatus Honorer K2. CNN Indonesia, 04 Juni 2018.

Steketee, Amy, Baker, and Daniel LLP, “Are state and federal teacher protection acts needed to protect teachers from litigation concerning student discipline?”, dalam Suzanne E. Eckes dan Charles J. Russo (ed.). School Discipline and Safety. California: SAGE Publication Ltd., 2012.

U.S. Department of Education. National Center for Education Statistics. Education Indicators; An Internastional Perspective, NCES 96-003, by Nancy Matheson, Laura Hersh Salganik, Richard P. Phleps, Marianne Perie, Nabeel Alsalam, and Thomas M. Smith. Washington, DC: 1996.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi S2 MPI FITK UIN Jakarta, Pengurus Besar PGRI, Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis UNJ, Rabu, 12 September 2018. (mf)