Performa Komunikatif Jokowi

Performa Komunikatif Jokowi

[caption id="attachment_8494" align="alignleft" width="300"]DR. Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) DR. Gun Gun Heryanto
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI)[/caption]

Oleh : Gun Gun Heryanto*

Jokowi ibarat narasi multimakna yang dibaca dan diinterpretasi secara berbeda-beda. Tiap fase perjalanan Jokowi di puncak hierarki otoritas birokrasi pemerintahan menjadi perbincangan sekaligus evaluasi banyak kalangan. Sudah satu tahun Jokowi memimpin Kabinet Kerja, tentu  tak mudah memuaskan keinginan banyak orang. Meminjam istilah Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya Relating Dialogues and Dialectics (1996), situasi seperti ini sering menghadirkan dialektika relasional. Cirinya, kerap kali muncul ketegangan-ketegangan berkelanjutan. Situasi penuh kontradiksi  inilah yang membuat Jokowi wajib  mencermati performa komunikatifnya di tengah pusaran harapan dan banyaknya kepentingan.

Pola Interaksi

Hal terberat di fase awal pemerintahan Jokowi-JK tentu saja mengelola harapan publik yang sangat tinggi. Realitas politik dan ekonomi menghadirkan turbulensi lebih dini. Jokowi dihadapkan pada tekanan politik sangat intens dari partai-partai di dalam dan di luar kekuasaan. Pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tekanan krisis ekonomi global  membuat fase tinggal landas kabinet kerja tak menghadirkan impresi memadai. Terlalu prematur menghakimi sukses tidaknya Jokowi hanya dari perjalanan satu tahun kinerja kabinet. Namun, ada hal serius saat di fase awal harapan publik cepat memudar akan berdampak pada tingkat dukungan masyarakat kepada Jokowi.

Realisasi sejumlah program jangka pendek dan menengah dapat menjadi indikator awal apakah gerbong pemerintahan Jokowi-JK melaju di rel yang tepat atau sebaliknya. Seberapa optimal Jokowi merealisasikan program-program pro rakyat yang sudah dijanjikan saat kampanye pemilu tahun lalu. Misalnya,  program kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat. Sering kali masyarakat tak cukup memiliki kesabaran menanti  realisasi program jangka panjang, dan tak mau ambil pusing bagaimana pola relasi kuasa antarelite yang berdampak pada maju mundurnya kerja kabinet.

Dalam praktik keseharian, opini publik selalu terbangun dari tiga komponen utama. Pertama credulity, yakni soal percaya atau tidak. Apakah publik percaya atau sebaliknya mulai menyangsikan kiprah Jokowi dan Kabinet Kerja-nya. Kedua reliance, yakni tingkat pentingnya kepercayaan bagi seseorang. Sesuatu yang sudah dipercayai belum tentu dianggap penting oleh publik. Jika kepercayaan saja belum menggaransi, apalagi kalau publik sudah tak memercayai pemerintah. Jalan terjal membentang karena  Jokowi akan kesepian dan tak bisa menggerakkan kekitaan dalam model demokrasi-partisipan.

Ketiga, nilai kesejahteraan (welfare values), hampir semua opini terkait dengan apa yang dirasakan dan diupayakan publik menyangkut kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Tiga hal ini menjadi kunci dalam konteks membangun hubungan pemerintah dengan rakyat.

Salah satu kekuatan utama Jokowi sejak lama adalah kedekatannya dengan rakyat. Karena itu, modal sosial berupa kepercayaan inilah yang menjadi simpul kekuatan Jokowi dalam mengurai pola interaksi yang sering menjebak siapa pun presiden berkuasa dalam praktik politik konsensus yang kolusif. Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004)  mencatat, akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik,  yakni pola melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola memiliki pendekatan berbeda-beda.

Idealnya, dalam proses penguatan konsolidasi demokrasi, ada kejelasan posisi politik di dalam atau di luar kekuasaan. Namun, dalam praktik politik, pola hubungan berjalan sangat cair. Dalam situasi ini, godaan membangun pola interaksi akomodatif sangat tinggi sehingga kekuasaan berjalan elitis dan transaksional.  Zona nyaman kekuasaan sering melenakan dan mengokohkan mitos bahwa garansi politik hanya akan diperoleh dari koalisi besar parpol.

Evaluasi Performa

Performa komunikatif Jokowi masih kedodoran di satu tahun pertama pemerintahannya. Pacanowsky dan O'Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982) mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Dalam konteks bahasan ini, publik tentu akan memahami sikap dan tindakan komunikatif Jokowi dalam memimpin Kabinet Kerja.

Ada lima indikator  dalam mengevaluasi performa komunikatif: performa ritual, hasrat, sosial, politis, dan enkulturasi. Pertama, performa ritual terjadi secara teratur dan berulang dalam ritual personal, tugas, sosial, dan organisasi. Dalam hal ritual personal,  Jokowi tak mengalami masalah karena nyaris tak ada perubahan ritual komunikasi Jokowi yang menjadi ciri khas dirinya.  Kebiasaanblusukan dan pola komunikasi horizontal memosisikan Jokowi terasa lebih dekat dengan rakyat. Populisme  menjadi hal paling disukai oleh publik dari performa Jokowi.

Ritual tugas masih menunjukkan persoalan besar karena sering kali keinginan Jokowi dimaknai dan diterjemahkan berbeda oleh para menterinya. Jokowi bertugas sebagai kepala pemerintahan yang harus memastikan arah dan kebijakan pemerintah berjalan sepengetahuan dan atas persetujuan dirinya.  Ritual sosial menyisakan wajah ganda Jokowi.

Di satu  sisi, mulai sukses  mencari titik keseimbangan politik melalui hubungan sosial dengan beragam kekuatan politik berbeda, tetapi di sisi lain masih tergagap mewujudkan hubungannya dengan rakyat yang berharap banyak pada Jokowi. Ritual organisasi masih mengecewakan, terutama dalam koordinasi lintas sektoral di antara para menteri. Silang sengketa antarmenteri masih sering meletup di ruang publik dan baru terkesan menjadi permainan tingkat tinggi dengan risiko tinggi. Belum benar-benar berimplikasi pada hasil yang menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat banyak.

Kedua, performa hasrat yang senantiasa digelorakan Jokowi sejak lama, yakni revolusi mental.  Hasrat melakukan revolusi mental harusnya menjadi soko guru utama perubahan bangsa saat ini dan ke depan, tetapi dalam gerak pelaksanaannya, hasrat itu belum meyakinkan dalam konteks implementasi beragam kebijakan.

Ketiga, performa sosial relatif belum ada masalah serius karena rezim Jokowi masih mau dan mampu membangun pola hubungan sosial egaliter dan resiprokal.  Keempat, performa politis juga tidak sedang bermasalah karena demonstrasi kekuasaan serta kontrol berjalan demokratis. Kelima, performa enkulturasi belum cukup kuat melibatkan dan menggerakkan rakyat dalam arus besar perubahan yang diinginkan. Jokowi sedang diuji sejarah, akankah dia berpihak pada rakyat atau larut dalam kubangan politik elite yang pragmatis.

Jokowi  harusnya  mengoptimalkan  semacam paradigma politik grunigian. Dalam Managing Public Relations (1984), Grunig dan Hunt mendeskripsikan model ini sebagai upaya menciptakan pemahaman bersama dengan tindakan pokoknya pada keuntungan bersama (mutual benefit) antara pemerintah dan rakyat, bukan hanya elite! Oligarki parpol dan stelsel aktif para pemburu kekuasaan di sekitar Presiden dapat mereduksi cita-cita mulia menghadirkan kepemimpinan transformatif.

Janji kampanye tentu bukan sekadar mantra agar orang memilih di bilik suara, melainkan ikrar mengikatkan diri dengan rakyat agar prinsip bonum communeatau mengedepankan kepentingan umum bisa ditunaikan. Jika lupa prinsip tersebut, rakyat pun perlahan tetapi pasti akan meninggalkan Jokowi.

 GUN GUN HERYANTO

Direktur Eksekutif the Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta.

Artikel ini telah dimuat di kolom Opini harian Kompas edisi, Senin 26 Oktober 2015.