People Power dan Jebakan Demokrasi Mobius

People Power dan Jebakan Demokrasi Mobius

Titik didih politik nasional belum reda meskipun hari pencoblosan telah lewat. Bahkan relasi antagonistis kian tajam seiring dengan terjadinya saling klaim kemenangan. Perkembangan terbaru, kubu Prabowo Subianto menyatakan menolak hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, yang akan diumumkan KPU pada 22 Mei mendatang. Penolakan tersebut sudah dinyatakan Prabowo dalam simposium "Mengungkap Fakta Kecurangan Pemilu 2019" di Jakarta, Selasa, 14 Mei lalu. Hal ini seolah-olah meneguhkan sikap pengingkaran terhadap hasil pemilihan presiden 2019.

Saat ini, ada semacam pengkondisian instrumental yang mengarah pada delegitimasi penyelenggaraan Pemilu 2019. Indikatornya, banyak elite politik yang menggaungkan ketidakpercayaan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu. Sudah pasti banyak kerja KPU yang wajib dikritik dan dikontrol. Namun semua temuan dan bukti pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan KPU ini harus bisa dibuktikan dan diuji melalui kanal-kanal hukum yang disediakan, baik melalui Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, maupun Mahkamah Konstitusi. Saluran-saluran konstitusional jauh lebih terhormat untuk adu data, argumen, dan pembuktian dibanding cara-cara provokasi yang berpotensi membentur-benturkan warga.

Di tengah silang sengketa ihwal hasil pemilu, muncul juga polemik soal people power. Mungkinkah hal tersebut terjadi di Indonesia saat ini? Istilah people power memang bisa bermakna polisemi atau multi-interpretasi. Namun sejarah people power ini juga punya tautan memori kolektif yang tertuju pada penurunan rezim berkuasa melalui demonstrasi rakyat secara masif.

Contoh yang terkenal adalah people power di Filipina saat rakyat melawan Presiden Ferdinand Marcos, yang telah berkuasa selama 20 tahun. Protes itu dipimpin oleh Corazon Aquino, istri pemimpin oposisi, Benigno Aquino Jr. People power dikenang sebagai perlawanan damai yang ditandai dengan demonstrasi di jalanan setiap hari, terutama di Epifanio de los Santos Avenue.

Protes dipicu oleh hasil pemilihan umum yang dipercepat pada 1986. Komisi Pemilihan Umum Filipina (Comelec) mengumumkan Marcos sebagai pemenang pemilihan presiden dan mengalahkan Corazon Aquino. Namun Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas (Namfrel)-organisasi independen yang melakukan penghitungan suara tidak resmi-menyatakan Aquino sebagai pemenang. Gelombang unjuk rasa pun pecah di mana-mana hingga akhirnya Marcos kabur ke Amerika Serikat dan Corazon "Cory" Aquino menjadi pemimpin Filipina.

Apakah plot seperti ini yang disemai para elite politik pasca-pemilihan presiden saat menggunakan istilah people power? Tidak terlalu jelas, karena orang-orang yang kerap menyampaikan istilah ini sering mengelak untuk memperjelas maksudnya. Yang jelas, kondisi politik Indonesia kini tidak sama dengan Filipina pada masa itu.

Ada lima syarat agar gerakan people power bisa mewujud dan mendapat dukungan luas di masyarakat. Pertama, harus ada musuh bersama (common enemy). Dalam kasus Filipina, misalnya, musuh bersama itu adalah kekuasaan korup Ferdinand Marcos, yang berkuasa sejak 1965. Ragam praktik korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi dan membuat rakyat Filipina muak. Hal ini juga menjadi faktor penting dalam menyukseskan demonstrasi gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto. Apakah Jokowi saat ini sudah menjadi musuh bersama?

Kedua, adanya friksi di tubuh militer. Jika militer masih sangat solid, sulit untuk menurunkan rezim berkuasa. Ketiga, masifnya isu di hampir seluruh wilayah, tidak hanya menjadi isu elitis di Jakarta atau beberapa daerah. Keempat, krisis yang menghantam fundamental ekonomi yang bisa turut menurunkan mental penguasa. Kelima, adanya tokoh pemersatu dalam kekuatan oposisi yang bisa tampil menjadi ikon pemimpin rakyat secara lintas sektoral, tidak semata-mata dipandang sebagai pemimpin partai tertentu.

Menilik kelima syarat tersebut, untuk konteks Indonesia saat ini kemungkinan terjadinya people power teramat sulit untuk tidak mengatakan mustahil terjadi.

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukanlah people power seperti di Filipina, melainkan penguatan peran serta fungsi eksekutif dan legislatif sebagai bentuk tanggung jawab mereka atas mandat kekuasaan yang sudah disematkan. Yang menang harus bertanggung jawab dan yang kalah sebaiknya memposisikan diri sebagai kekuatan pengontrol di luar kekuasaan.

Pemilu sebagai sirkulasi elite lima tahunan telah menelan ongkos politik dan ongkos sosial yang sangat tinggi. Sangat disesalkan jika hasilnya justru menorehkan luka teramat mendalam dalam hubungan sosial antar-anggota masyarakat. Pembelahan dukungan yang berdampak pada robeknya kohesivitas politik di masyarakat inilah yang seharusnya menjadi tanggung jawab para calon presiden/wakil presiden yang berkompetisi beserta tim suksesnya.

Jangan sampai demokrasi kita seolah-olah berjalan di pita Mobius. Meminjam istilah matematikawan Jerman, August Ferdinand Mobius, pita Mobius merupakan obyek topologis yang menyerupai angka delapan yang ditidurkan. Pita dengan karakter non-orientable object ini membuat kita bergerak dari satu sisi dan tak akan pernah berakhir di satu tepian pembatas. Secara politik, mengikuti alur Mobius membuat kita tak memiliki orientasi akhir perjalanan. Pemilu jangan justru menjadi jebakan demokrasi ala pita Mobius, ketika rakyat tak tahu ujung-pangkal dari proses yang dilaluinya. Pemilu harus menghadirkan perubahan, bukan kekecewaan dan kebohongan demi kebohongan dari setiap rezim yang mendapat kekuasaan.

Pemerintah yang dibentuk oleh pemimpin terpilih harus mengatasi jebakan demokrasi Mobius ini. Caranya, tentu saja bukan sekadar bagi-bagi kue kekuasaan di antara mitra kongsi, tapi membentuk pemerintah yang kuat, juga punya kapasitas dan integritas untuk menunaikan ragam janji yang sudah diikrarkan.

 

Gun Gun Heryanto 

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini telah dimuat dalam Kolom Pendapat harian Tempo, edisi Jumat 17 Mei 2019. (lrf)