Peneguhan Narasi Calon Wakil Presiden

Peneguhan Narasi Calon Wakil Presiden

DEBAT ketiga yang mengangkat tema populis: Pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta sosial dan kebudayaan sudah selesai digelar, Minggu (17/03) malam. Bagi para kandidat calon  wakil presiden (cawapres), debat tadi malam merupakan peneguh narasi mereka sepanjang masa kampanye yang sudah berlangsung sejak 23 September 2018.

Peneguhan ini menjadi penting bagi keduanya karena menjadi momentum orientasi pemilih pada kompetensi pribadi, kapasitas penguasaan persoalan, stabilitas emosi, kepiawaian dalam mengadaptasi perubahan. Selama ini, fokus publik memang lebih banyak ke presiden sebagai top of the ticket dalam pencapresan 2019. Debat cawapres menjadi panggung pembuktian untuk memastikan bahwa capres bukan sekadar penggembira atau pelengkap semata.

Orientasi isu

Panggung debat cawapres sesungguhnya tak kalah megah dari debat perdana dan kedua. Bahkan sebenarnya, publik punya atensi tinggi karena rata-rata penasaran atas penampilan kedua. Sosok Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagian besar publik sudah memiliki referensi terhadap mereka sejak 2014. Pertandingan ulang keduanya, tak terlalu memantik rasa ingin tahu (curiosity) publik atas gaya masing-masing. Jikapun ada aspek pembedanya, tak lebih dari soal isi pesan (content of message) yang mungkin dipengaruhi oleh posisi Jokowi saat ini yang menjadi petahana (incumbent).

Perjumpaan KH Ma’ruf Amin vs Sandiaga Uno secara one-on-one di panggung debat kali pertama inilah yang membuat publik banyak ingin tahu seperti apa penampilan keduanya. Ini menjadi fase orientasi rakyat Indonesia terutama pemilih secara lebih komprehensif atas gagasan, program, peran, dan prospek leadership mereka jika terpilih sebagai cawapres. Proses orientasi menekan pada tiga indikator, yakni kemenonjolan (salience), relevansi (partinance), dan predisposisi atau preferensi.

Pertama, salience, yakni perasaan tentang pasangan kandidat yang berasal dari pengalaman pemilih di situasi sebelumnya. Jelas apa yang disampaikan KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno tadi malam, secara umum sudah kerap disampaikan mereka di ragam kesempatan lain saat berjumpa dengan pemilih. Bedanya, debat membuat gagasan mereka lebih menonjol karena tentu disiapkan lebih lengkap, sistematis, dan komprehensif.

KH Ma’ruf memberi peneguhan orientasi beberapa isu penting seperti di bidang kesehatan, soal jaminan kesehatan nasional (JKN), Prog­ram Keluarga Harapan. Di bidang pendidikan meneguhkan kartu Indonesia pintar (KIP) hingga perguruan tinggi. Selain itu, juga meneguhkan pentingnya koordinasi riset melalui Badan Riset Nasional dan Rencana Induk Riset Nasional (IRSN).

Di bidang ketenagakerjaan, KH Ma’ruf Amin meneguhkan kualitas tenaga kerja, revitalisasi sekolah menengah kejuruan (SMK), politeknik dan lain-lain. Mengembangkan kursus-kursus, baik untuk bidang kepintaran, kecakapan, maupun kebugaran serta menyediakan dana abadi riset. Di bidang kesehatan, KH Ma’ruf kembali menguatkan narasi JKN kartu Indonesia sehat (KIS) sebagai langkah-langkah besar yang inovatif.

Pemerintahan Jokowi juga disebutkan KH Ma’ruf memperbesar lagi asuransi sosial. Pusat-pusat kesehatan bisa dijangkau mas­yarakat, termasuk redistribusi dokter dan tenaga medis. Di bidang sosial budaya, KH Ma’ruf membawa debat pada hal fundamental, yakni perlunya menjaga kebudayaan Indonesia tidak mengalami diskontinuitas dan disorientasi.

Sementara Sandiaga Uno, berkali-kali meneguhkan kata-kata kunci yang kerap diulang di beberapa segmen, antara lain, di bidang kesehatan dalam 200 hari masa kerja Prabowo-Sandi jika terpilih akan menyelesaikan masalah tata kelola BPJS selain juga mengembangkan strategi promotive preventive dalam pananganan kesehatan masyarakat. Di bidang pendidikan, Sandi menekankan pada pembangunan ekosistem riset. Model link and match antara pendidikan dan industri. Memperbaiki kesejahteraan guru, perbaikan kurikulum, dan pendidikan karakter, dan menghapus ujian nasional (UN).

Di bidang ketenagakerjaan, Sandi dengan percaya diri selalu mengulang Oke Oce dalam narasi debatnya dengan merujuk pada implementasi program ini di DKI. Itu terus beberapa kali diulang di beberapa segmen. Hal lain yang kerap diulang, yakni soal letupan-letupan ekonomi, kesiapan pekerja, membuka peluang pekerjaan dan posisi para pekerja asing di Indonesia. Seperti halnya di banyak tempat saat kampanye, Sandi juga menyampaikan soal UMKM sebagai soluasi. Di bidang sosial budaya, Sandi memandang perlu adanya kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat, pembangunan manusia dan budaya, di samping infrastruktur dan anggaran.

Kedua, partinance yang merupakan nilai relatif dari pasangan berdasarkan perbandingan posisi (penantang dan petahana), juga perbedaan gaya serta cara mereka yang terbangun sejak lama. KH Ma’ruf Amin meski saat ini bukan wakil presiden, tetapi melengkapi paket tiket Jokowi yang menjadi petahana. Maka sangatlah wajar, jika tadi malam banyak memberi narasi peneguhan tentang implementasi, cerita sukses, apresiasi dari apa yang sudah dilakukan Jokowi.

Hambatan psikologis

Sebagai penantang, Sandiaga Uno jika dianalisis dari cara dia berkomunikasi, tampak sekali ada hambatan psikologis (psychological barriers) dalam proses mengembangkan relasi kuasa sebagai pendebat dari pihak penantang. Hal ini bisa jadi disebabkan strategi untuk bermain lebih santun, lebih memberi sentuhan afeksi, serta seni beretorika yang tidak verbal agresif. Mengingat posisi KH Ma’ruf Amin sebagai senior, ulama, dan tokoh dari organisasi Islam paling besar di Indonesia, yakni NU. Padahal, sejatinya penantang, tugas utamanya ialah meyakinkan proposal baru milik mereka bisa diyakini publik lebih baik atau tidak dari pihak petahana.

Ketiga, predisposisi atau preferensi menyangkut kerangka referensi evaluatif (kepentingan dan nilai), kognisi pemilih, afeksi dan niat perilaku. Dalam konteks debat cawapres, sesungguhnya tidak akan mengubah banyak perubahan pilihan di masyarakat. Jika debat capres hanya berpotensi mengubah suara sekitar 5%, sejarah elektoral menunjukkan debat cawapres plus minus hanya akan berpengaruh 2%. Menurut Theory of Reasoned Action (TRA) yang pertama kali diperkenalkan akademisi komunikasi dari University of Pensylvania, Icek Ajzen dan Martin Fishbein, dalam tulisannya Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior (1980), bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi dua penentu dasar. Berhubungan dengan sikap (attitude towards behaviour) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial, yaitu norma subjektif (subjective norms). Sulit mengubah pemilih kuat atau loyal (strong voters) di masing-masing pihak. Yang mungkin bisa dipersuasi adalah kalangan pemilih bimbang (swing voters) dan mereka yang belum menentukan pilihan (undecided voters).

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Anggota Dewan Pakar ISKI

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia, edisi Senin, 18 Mar 2019. (lrf)