Pendidikan Nirketeladanan

Pendidikan Nirketeladanan

Perilaku warga dan peradaban sebuah bangsa merupakan hasil dari pendidikan. Budaya masyarakat yang tinggi menunjukkan kualitas dan keberhasilan pendidikannya. Tingginya angka korupsi dan rentannya konflik horizontal di Indonesia adalah penanda pendidikan (karakter) jauh dari berhasil.

Sejak 2016 pemerintah membuat program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah. Presiden Jokowi (2014) memiliki program revolusi mental. Jauh sebelum ini, dalam berbagai regulasi pemerintah, pendidikan dimaknai sebagai pembentukan karakter siswa disamping pencerdasan akal dan pengembangan bakat.

Kegagalan pendidikan karakter karena banyak faktor, di antaranya minimnya keteladanan dari guru, orangtua, dan masyarakat. Pembentukan karakter siswa dan warga akan berhasil jika pendidik dan para pemimpin negeri ini mempraktikkan perilaku terpuji dalam kehidupannya.

Tiga Pusat Pendidikan

Keteladanan harus muncul di sekolah, rumah, dan masyarakat. Pertama, minimalisasi korupsi dan konflik harus dimulai dari lembaga pendidikan. Pendidikan anti korupsi dan konflik menjadi konsen pendidik. Peserta didik belajar kejujuran dan kerukunan di sekolah dan perguruan tinggi.

Faktanya lembaga pendidikan sering mengalami anomali, seperti terjerat korupsi dan konflik padahal mengajarkan antikorupsi dan kerukunan. Misal, sebagian sekolah terjerat korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), buku pelajaran, seragam sekolah, dan kegiatan akhir tahun.

Di sekolah sebagian guru menghukum siswa dengan kekerasan fisik, dan perundungan kerap terjadi setiap tahun bahkan sampai menghilangkan nyawa. Di kampus, antar mahasiswa bentrok dalam Pemilu Raya Mahasiswa, dan dosen bertikai dalam pemilihan rektor.

Sebagian kampus negeri umum dan agama diduga terlibat suap kepada menteri atau orang di sekitarnya dalam pemilihan rektor. Beberapa kampus negeri bahkan sudah terbukti korupsi dalam berbagai kasus. Menurut ICW, sejak 2006 hingga 2016, nilai korupsi di PT mencapai Rp 218,804 miliar.

Kedua, orangtua mendidik anak tentang kejujuran dan menghargai perbedaan. Mereka hidup sederhana, tidak boros, dan merasa cukup dengan rezeki yang halal. Tidak memaksakan diri berhutang ke bank. Saling menghormati meski berbeda pandangan dan pilihan.

Akan tetapi, gaya hidup hedonis dan tidak bersyukur memicu korupsi. Seorang istri atau suami seharusnya mengingatkan pasangannya untuk tidak korupsi, bukan membiarkan atau memicu perilaku korup. Banyak kasus korupsi terjadi bisa jadi karena lemahnya kontrol pasangan suami atau istri.

Orangtua juga sering melakukan kekerasan kepada anak. Memukul, berkata kasar, bahkan pelecehan seksual. Anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan di rumah bisa jadi kelak menjadi pelaku kekerasan di sekolah atau lingkungannya.

Ketiga, pergaulan anak tidak hanya dengan teman sebaya tetapi dengan dunia maya. Internet memuat konten ilmu pengetahuan yang tidak terbatas sebagai bahan dan media belajar yang efektif dan efisien. Belajar di era internet menjadi lebih mudah dan praktis.

Masalahnya internet juga mengandung muatan yang tidak mendidik anak dan remaja. Game dan tayangan tertentu menuntun anak pada tindakan kekerasan. Buktinya angka tawuran siswa terus meningkat. Bahkan sebagian teroris belajar radikalisme dan merakit bom melalui internet.

Perilaku koruptif pejabat, anggota legislatif, dan pengusaha yang terekam media cetak dan daring menjadi konsumsi rutin generasi bangsa. Korupsi dianggap peristiwa biasa, bukan kejahatan luar biasa. Ketiadaan efek jera para pelaku korupsi menjadi pembelajaran bagi generasi muda bahwa hukum di negeri ini sangat lemah.

Para tokoh partai tidak memberikan teladan dalam berpolitik. Debat-debat di televisi yang disaksikan generasi muda dan tua sering berisi hinaan, tuduhan, hoax, dan tidak saling menghargai lawan bicara dan perbedaan pendapat. Hal-hal semacam ini merupakan bibit konflik di tengah masyarakat.

Tidak Hanya Siswa

Oleh karena itu, PPK tidak hanya fokus pada siswa tetapi menyentuh kesadaran guru, orangtua, dan tokoh masyarakat. Benahi dulu kualitas pendidik atau orang dewasa sebelum siswa. Para pendidik harus benar dalam ucapan dan tindakan sebelum meminta peserta didik menjadi manusia baik.

Pendidikan karakter tidak cukup diajarkan di kelas dan dinilai melalui observasi apalagi melalui tes pengetahuan. Penanaman nilai-nilai yang baik memerlukan keteladanan orang dewasa dan pembiasaan yang berkesinambungan. Praktik baik harus ditemukan anak-anak di sekolah, rumah, dan masyarakat.

Dengan demikian kebaikan dan keutamaan menjadi sistem dalam kehidupan. Siapa pun akan mengikutinya dengan penuh kesadaran. Dalam masyarakat beradab tinggi, penyimpangan dan kejahatan akan sulit dilakukan. Sebaliknya, masyarakat beradab rendah, ketidakjujuran dan anarkis menjadi kebiasaan.

Singkatnya, pendidikan karakter akan berhasil jika guru, orangtua, dan tokoh masyarakat berbenah diri. Mereka harus sadar peran sentral masing-masing dalam pembentukan karakter generasi penerus bangsa. Bukan hanya korupsi dan konflik tetapi budaya buruk lainnya.

Mereka harus mampu mengontrol perilaku dan sikap agar menjadi teladan dalam kejujuran dan kerukunan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan karakter tanpa keteladanan orang dewasa di sekolah, rumah, dan masyarakat akan sulit berhasil.

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif UIN Jakarta. Sumber: Koran SINDO, 2 Mei 2019. (lrf/mf)