Pendidikan Iman Kepada Takdir dan Pengembangan Ilmu

Pendidikan Iman Kepada Takdir dan Pengembangan Ilmu

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhamamdiyah

Salah satu rukun iman adalah percaya kepada qada dan qadar Allah SWT. Mengimani qadar-Nya berarti meyakini bahwa Allah itu Mahakuasa dalam menetapkan, menentukan, mengatur, dan menjaga sistem kehidupan, termasuk hidup manusia. Sistem dan hukum Allah yang diberlakukan di alam dan isinya, termasuk kehidupan manusia, merupakan takdir yang bisa dipelajari dan dimaknai secara positif dan konstruktif.

Qadar berarti ukuran (kadar), ketentuan atau kepastian yang ditetapkan oleh Allah. Jadi, qadar berarti sebuah penetapan yang pasti dan sudah ditentukan oleh Allah, baik segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Karena, Allah itu Pemilik kerajaan langit dan bumi, Maha Pengelola sistem semesta, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya, dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat. (QS al-Furqan [25]: 2).

Ikan ditakdirkan Allah hidup di air, pandai berenang sejak kecil. Burung ditakdirkan bisa terbang dengan kepakan dua sayapnya. Binatang lainnya ditakdirkan hidup di darat dan bisa berenang di air seperti angsa, bebek, dan sebagainya. Sebagian binatang ditakdirkan berkaki dua, berkaki empat, atau lebih. Semuanya menerima dan tunduk kepada ketentuan dan takdir Allah. Takdir Allah itu indah, menarik, dan menakjubkan, apabila dipelajari, dipikirkan, dan dipahami dengan akal sehat dan hati yang bersih.

Manusia ditakdirkan sebagai makhluk paling sempurna, diciptakan dalam bentuk dan sistem jasmani dan ruhani terbaik, dengan piranti lunak paling sempurna. Selain dianugerahi fisik tegak, pancaindera, dan perangkat fisik lainnya, manusia dianugerahi oleh Allah ruh, fitrah, akal budi, dan hati. “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS at-Tin [95]: 4). Takdir kemanusiaan manusia merupakan desain terbaik Allah agar manusia mampu dan sukses menjadi hamba Allah (‘abdullah) dan khalifah-Nya di muka bumi (QS al-Baqarah [2]: 30).

Penciptaan manusia itu sungguh sangat sempurna, tidak hanya sempurna bentuk dan fisiknya, tetapi juga “takdir” dan petunjuk yang diberikan kepadanya. “Yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk…” (QS al-A’la [86]:2-3). Allah telah menakdirkan manusia sebagai makhluk individual sekaligus sosial, bisa dididik (pembelajar) dan bisa mendidik (pendidik). Puncak dari takdir kehidupan manusia adalah menjadi pembelajar, pengembang ilmu pengetahuan dan peradaban dengan piranti lunak dan petunjuk wahyu (Alquran dan as-sunnah). Tidak ada makhluk selain manusia yang ditakdirkan dan diamanahi sebagai pembangun peradaban.

Selain itu, qada dan qadar kehidupan manusia juga luar biasa indah dan hebat, karena manusia diciptakan setelah alam semesta, langit dan bumi, sistem galaksi bimasakti, flora dan fauna diciptakan oleh Allah terlebih dahulu dan disiapkan untuk memfasilitasi dan memenuhi segala kebutuhan hidup manusia dalam membangun peradaban (QS al-Baqarah [2]:29). Manusia ditakdirkan oleh Allah hidup sebagai makhluk sosial, hidup bersama, saling membutuhkan, saling mengisi, dan saling memberi makna. Dalam konteks inilah, pendidikan iman kepada takdir menjadi sangat penting, karena hidup manusia itu harus bermakna dan memberi nilai kemanfaatan dan kemaslahatan bagi sesama, bahkan bagi makhluk lainnya.

Esensi Iman kepada Takdir

Proses penciptaan manusia dinarasikan Nabi SAW dalam hadisnya: "Sesungguhnya seseorang diciptakan dari perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh di dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu: tentang rezeki, ajal, amal, dan (jalan kehidupan) menderita atau bahagia." (HR al-Bukhari dan Muslim) Hadis ini menunjukkan pentingnya keyakinan bahwa “proses dan desain” diri manusia dan kemanusiaan itu menjadikan manusia itu makhluk yang bisa dididik, menjadi pendidik, sekaligus mengembangkan sistem dan institusi Pendidikan.

Relasi qada dan qadar pada makhluk merupakan desain sistem dan peta jalan kehidupan yang pasti terjadi sesuai ketetapan Allah. “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu". (QS al-Hijr [15]: 21). Oleh karena itu, pendidikan iman kepada takdir merupakan sebuah keniscayaan, dengan memosisikan manusia sebagai bagian dari makro dan mikrokosmos, ciptaan Allah. Esensi pendidikan iman kepada takdir adalah membangun kesadaran teologis dan keyakinan positif bahwa “desain alam, manusia, dan kehidupan” di dunia ini diciptakan berbasis sistem dan hukum tertentu, misalnya: sistem keteraturan, keindahan, keagungan, kekuasaan, dan kebermaknaan, dengan hukum kausalitas (sebab akibat) yang dapat dipelajari, dipahami, dan diformulasikan menjadi ilmu.

Dalam merespon takdirnya, manusia perlu memaknai secara positif dua kategori takdir: mu’allaq dan mubram. Takdir pertama, mu’allaq, dapat berubah, tergantung pada respons dan usaha manusia. Jika manusia memahami hukum kausalitas dan memilih perubahan positif, maka usahanya akan dapat merubah takdirnya. Misalnya seseorang yang tidak terpelajar bisa menjadi berilmu apabila mau belajar dan mencari ilmu. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS ar-Ra’d [13]: 11).

Dalam konteks takdir mu’allaq, manusia diharapkan dapat memahami realitas empirik: alam semesta dengan segala tanda-tanda (ayat-ayat kauniyyah) yang ada dengan melakukan riset: mengamati fenomena alam, memikirkan isyarat-isyarat, jejak-jejak, dan perilaku kosmik dalam rangka menemukan hukum kausalitas. Pendidikan iman kepada takdir juga menghendaki pentingnya “melihat ke dalam diri” manusia sendiri (wa fii anfusikum, afala tubshirun), sehingga memahami hakikat dan eksistensi dirinya: mengerti potensinya, menyadari kekurangannya, memahami kebutuhan hidupnya, dan mengarifi relasi dirinya dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.

Takdir kedua, mubram, merupakan takdir yang tidak bisa diubah oleh manusia meskipun berusaha dan bertawakal kepada Allah, seperti takdir kematian, karena hal ini sudah ditetapkan oleh Allah. “Dan tiap-tiap umat memiliki batas waktu (ajal), maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya." (QS al-A’raf [7]: 34).

Dalam konteks ini, pendidikan iman kepada takdir kehidupan menghendaki kesadaran eksistensial dan keyakinan transendental bahwa hidup manusia ada batasnya: batas akhir kehidupannya (ajal), batas kekuatan dan kesehatannya (sakit itu suatu kemestian, walaupun sehat tetap merupakan pilihan), dan batas kompetensinya. Keyakinan ini mengharuskan manusia menyadari bahwa ilmu manusia itu terbatas, sedikit, dan boleh jadi tidak luas dan tidak mendalam, karena Allah telah menakdirkannya seperti itu. “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS al-Isra’ [17]:85).

Implikasi Pendidikan Iman kepada Takdir

Dengan mengimani dan memaknai takdir seperti dinarasikan di atas, manusia diedukasi untuk bersikap rendah hati, sadar diri, beretos intelektual tinggi, dan tidak sombong, karena memang tidak ada yang dapat disombongkan di hadapan Allah yang Maha Kuasa dan Maha segalanya. Jadi, iman kepada qada dan qadar menyadarkan pentingnya tawadhu’, bersyukur kepada Allah atas segala anugerah-Nya yang luar biasa, dan memiliki etos intelektualisme yang tinggi agar manusia mengoptimalkan usaha dan perjuangannya dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Esensi memaknai pendidikan iman kepada takdir dengan bersyukur kepada Allah dapat diekspresikan dengan pengakuan, pujian, dan rasa terima kasih manusia kepada Sang Pemilik dan Pengatur kehidupan. Dengan selalu bersyukur, manusia bertambah yakin bahwa rencana dan ketetapan Allah itu adalah rencana terindah dan kehendak terbaik-Nya bagi kemaslahatan dan kebermaknaan hidupnya.

Menurut Ibn Abbas, qadar adalah aturan tauhid. Siapa yang menauhidkan Allah dan beriman kepada qadar-Nya, maka tauhidnya sempurna. Dan siapa yang menauhidkan Allah, tetapi mendustakan qadar-Nya, maka kedustaannya merusak akidah tauhidnya. Dengan kata lain, pendidikan iman kepada takdir berimplikasi kepada pentingnya belajar “menerima dengan legowo” (tulus, ikhlas, penerimaan dan sikap positif) takdir kehidupannya. Karena takdir itu bukan menerima keadaan tanpa syarat, tetapi merespon dan memaknainya secara positif, konstruktif, dan kreatif dalam rangka membangun kebermaknaan hidupnya dan peradaban kemanusiaan yang agung.

Selain itu, mengimani dan memaknai takdir juga mengimplikasikan keharusan manusia terus-menerus belajar untuk memahami sunnatullah (hukum sosial kemanusiaan), berjiwa optimistis dengan terus melakukan perubahan positif, dan berbaik sangka atau berpikir positif kepada Allah, sehingga hidupnya bernilai ibadah karena dikoneksikan dengan Allah (bismillah). Oleh karena itu, Islam datang, antara lain, untuk mengedukasi dan membimbing manusia agar senantiasa berzikir, berpikir positif, berpikir kritis dan inovatif, berupaya konstruktif, dan berdoa kepada Allah dalam memaknai takdir kehidupannya.

Pengembangan Ilmu

Pendidikan iman kepada takdir Allah juga membuahkan pentingnya mendayagunakan segenap potensi dan kompetensi diri untuk memaknai takdir sebagai pelajaran kehidupan, sehingga interaksi manusia dengan takdir kehidupannya membuahkan ilmu yang bermanfaat. Oleh sebab itu, perintah pertama wahyu Alquran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca, baik yang tertulis maupun yang tersirat dan tampak dalam ayat-ayat semesta dan ayat-ayat kehidupan.

Perintah membaca dalam surat al-‘Alaq [96:1-5) tidak dibatasi, sehingga dalam ayat itu tidak disebutkan (dibatasi) objek yang dibaca, misalnya Alquran atau as-Sunnah. Perintah membaca esensinya adalah pengembangan budaya literasi dalam berbagai aspeknya: literasi agama, sains, ekonomi, digital, budaya, numerik, finansial, dan sebagainya, agar manusia berilmu, berpikiran terbuka dan berwawasan luas, sehingga berperilaku baik (beramal shalih), menebar ajaran kasih sayang (rahmat) bagi semesta. Prinsip pengembangan literasi yang dikehendaki Allah SWT adalah iqra’ bi ismi rabbik (membaca atas nama Tuhan, dengan spirit dzikrullah). Dengan kata lain, pendidikan iman kepada takdir mengandung pesan profetik bahwa iman harus berbasis ilmu, agar iman dan ilmu itu memandu jalan dan membuahkan amal kebajikan, memproduksi karya-karya kemanusiaan yang bermanfaat bagi sesama.

Pengembangan ilmu adalah sebuah keharusan. Selain merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, mencari, mempelajari, dan mengembangkan ilmu itu merupakan kebutuhan esensial hidup manusia, sama dengan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk belajar, mencari, dan mengembangkan ilmu sepanjang hayat. Jadi, belajar dan melek literasi sepanjang hayat (long life education) itu ajaran Islam, bukan murni konsep John Dewey. Oleh karena itu, pengembangan ilmu harus dilakukan melalui proses dan sistem yang efektif, sistematis, dan berkelanjutan, yaitu proses pendidikan, pembelajaran, diskusi, pengkajian, dan penelitian (riset).

Mengapa ilmu perlu dikembangkan berbasis pemaknaan terhadap takdir? Karena, semua ciptaan Allah: alam, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, flora dan fauna itu sudah ditentukan takdirnya. Kehidupan manusia juga berbasis takdir: ukuran, hukum kausalitas, dan asas keteraturan yang dapat dikaji, dipelajari, dan diteliti. Sepajang hayatnya, manusia pada dasarnya selalu berinteraksi dengan takdirnya, sehingga semakin dewasa seseorang, maka akan semakin matang tingkat pemahamannya terhadap takdir. Dan interaksi manusia dengan takdirnya secara akademik dan edukatif itu mendiring riset atau penelitian terus-menerus dan pada gilirannya dapat membuahkan inovasi keilmuan, sains dan teknologi.

Ilmu itu cahaya, penerang dan pemandu jalan kehidupan manusia. Ilmu perlu dikembangkan berbasis takdir karena hidup manusia itu selalu dinamis, progresif, dan konstruktif, sekaligus permasalahan dalam hidupnya semakin kompleks, sehingga memerlukan solusi jitu berbasis ilmu. Ilmu berfungsi eksplanatif, menjelaskan aneka fenomena alam atau sosial, sehingga manusia tidak keliru atau gagal paham dalam memaknai berbagai peristiwa, kejadian, atau apa saja yang ada di alam raya ini.

Ilmu juga berfungsi prediktif, pijakan pengetahuan untuk membaca masa depan, memperkirakan apa yang akan terjadi, sehingga manusia bisa bersiap-siap dan mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi. Secara sekuensional, hidup manusia itu selalu berdimensi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ilmu menjadi jembatan penghubung manusia dari sejarah masa lalunya, kiprah, aksi nyata, dan kontribusi saat ini, berikut rencana dan agenda masa depannya. Ilmu yang dibimbing wahyu dapat menjadi peta jalan (road map) manusia dalam membangun masa depan kemanusiaannya.

Pengembangan ilmu berbasis takdir mendorong lembaga pendidikan, para akademisi dan peneliti untuk menunjukkan kuriositasnya dengan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Dalam konteks ini, Alquran memotivasi umat Islam untuk melakukan pengamatan, percermatan, pengembangan pemikiran kritis, penelaahan terhadap berbagai fenomena alam. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS al-Ghasyiyah [88]:17-21).

Ayat tersebut jelas mengandung pesan penelitian dan pengembangan ilmu. Karena tidak mungkin unta dapat dipahami secara saintifik tanpa pengamatan, pencermatan perilaku dan karakteristiknya, sehingga ilmu tentang unta dapat diformulasi sedemikian rupa. Demikian pula fenomena langit, gunung-gunung, dan bumi, semuanya menginspirasi pengembangann ilmu astronomi, geologi, geografi, dan sebagainya. Pengembangan ilmu berbasis pemahaman terhadap takdir yang dipandu wahyu dapat menghasilkan integrasi keilmuan dan rekognisi (pengakuan) epistemologis bahwa kebenaran ilmu itu memang berasal dari Allah yang Maha Benar (al-Haqq). Kebenaran ilmu harus dicari dan diformulasikan dengan mengindahkan nilai-nilai moral dan spiritual, agar ilmu yang dikembangkan dan digunakan tidak bebas nilai. Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kemaslahatan hidup manusia sekaligus sebagai jalan pendekatan diri kepada al-Haqq.

Dengan demikian, pengembangan ilmu berbasis iman kepada takdir yang dipandu wahyu harus mengantarkan manusia menjadi hamba Allah dan khalifah-Nya yang semakin mendapatkan petunjuk, bukan sebaliknya manusia semakin angkuh dan jauh dari-Nya. Hal ini diisyaratkan oleh hadits Nabi SAW: “Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia justru akan semakin jauh dari Allah.” (HR Ibn Hibban dan Dailami) Dengan redaksi yang sedikit berbeda dikatan: “Siapa yang bertambah ilmu, tetapi kecintaannya kepada dunia semakin bertambah, maka Allah akan semakin murka kepadanya.” (HR Ibn Hibban dengan redaksi dari Hasan al-Basri).

Akhirul kalam, iman kepada takdir Allah itu mendidik kita untuk selalu merespon dan berinteraksi positif terhadap takdir kehidupan, agar menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Ilmu yang dicari dan dikembangkan melalui belajar, pengkajian, dan penelitian harus digunakan untuk kebaikan, peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Ilmu yang dikembangkan berbasis iman kepada takdir harus dipandu oleh wahyu, petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya, agar tidak digunakan untuk menghancurkan atau membinasakan kehidupannya. Ilmu harus membuahkan amal shalih; ilmu harus bermanfaat untuk memajukan peradaban dan menyejahterakan kehidupan manusia, sekaligus mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, Nabi SAW membimbing manusia agar tetap rendah hati, tidak sombong, dan tidak “keminter” atau merasa paling benar, karena Allah-lah yang Mahabenar (al-Haqq), Maha Berilmu (al-‘Alim), Maha Mengetahui segala sesuatu, dan Maha Bijaksana (al-Hakim). Sebagai manifestasi dari kerendahan hati dan ketulusan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu, Nabi SAW mengajarkan doa yang sangat indah supaya ilmu dipelajari itu bermanfaat: “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dan dari doa yang tidak didengar.” (HR Muslim dan an-Nasa’i). Ilmu harus mengokoh iman dan memandu jalan kebaikan dengan menebar kemanfaatan dan kemasalahatan Bersama, mewujudkan peradaban berkemajuan dan berkeadaban.

Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 11/XIX, November 2021. (mf)