Pendidikan Agama yang Mencerahkan

Pendidikan Agama yang Mencerahkan

KASUS narkoba yang melibatkan politikus terkenal Andi Arief menyentak ruang publik. Fakta ini setidaknya menunjukkan tiga hal. Pertama, perang melawan penyalahgunaan narkoba tidak pernah berakhir. Kedua, kasus narkoba bukan hanya menjerat kalangan selebritas, melainkan juga hampir semua elemen masyarakat, termasuk politisi. Ketiga, pendidikan nilai, khususnya agama, belum sepenuhnya sukses membentengi diri warga bangsa dari bahaya narkoba.

Selain itu, kegagalan pendidikan agama juga kerap ‘dituding’ sebagai penyebab sejumlah persoalan, seperti aksi teror, paham radikal, tindak kekerasan, intoleransi, dan sebagainya.

Survei Lakip (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) tentang radikalisme yang dilakukan di 100 sekolah menengah di Jakarta dan sekitarnya, misalnya menunjukkan hampir 50% pelajar mendukung cara-cara keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan. Bahkan, belasan pelajar menyetujui aksi bom bunuh diri (2011).

Pendidikan agama juga sering dinilai belum berhasil membentuk karakter dan akhlak mulia peserta didik. Maraknya korupsi dan praktik rasuah di hampir semua lini kehidupan bangsa dapat dipastikan bahwa pelakunya ialah oknum yang mengaku beragama.

Berbagai ujaran kebencian, hoaks, fitnah, provokasi, dan adu domba di ranah publik ini juga melibatkan orang-orang beragama, apa pun agamanya. Mengapa pendidikan agama belum sukses membentuk karakter positif dan akhlak mulia pemeluknya? Bagaimana pendidikan agama yang mencerahkan dapat didesain sedemikian rupa, agar agama dapat berfungsi dan berkontribusi positif dalam perilaku dan karakter positif bagi kehidupan umat dan bangsa?

Pendidikan yang menginspirasi

Menarik dikaji dan dikembangkan sebuah pelajaran terpetik dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, bagaimana beliau memahami dan membelajarkan agama secara transformatif sehingga nilai-nilai agama menghasilkan praksis kesalehan dan kemanusiaan yang membumi.

Dengan kata lain, bagaimana pesan-pesan agama diaktualisasikan dalam amal kebajikan dan kemanusiaan. Bukan dibaca dan dipahami sebagai wacana kognitif semata, tanpa diamalkan dan dibumikan dalam bentuk aksi-aksi kemaslahatan dalam kehidupan sehari-hari.

Pelajaran agama yang diberikan Sang Pencerah ialah tafsir surat Al-Ma’un. Al-kisah, para murid Sang Pencerah sudah mulai merasa jenuh dengan pelajaran yang diberikan karena sang kiai tidak pernah menambah pelajaran (surat) baru. Para murid sudah tidak sabar untuk menerima pelajaran baru, lantaran pelajaran surat Al-Ma’un sudah dihafal di luar kepala, bahkan sudah dipahami arti dan tafsirnya.

Seorang murid memberanikan diri bertanya kepada sang kiai, “Pak kiai, mengapa kita tidak berpindah saja ke pelajaran baru?” Sang kiai tersenyum, lalu balik bertanya, “Jika kalian memang sudah hafal dan sudah mengerti isinya, sudahkah kalian mengamalkan pesan-pesannya dalam aksi nyata?”

Mendengar pertanyaan sang kiai, para murid terperanjat, tidak menyangka ditanya seperti itu. Para murid lalu melakukan refleksi, bahwa pesan surat Al-Ma’un yang berisi kritik terhadap pendusta agama itu belum diamalkan/belum menjadi praksis kesalehan sosial. Sang kiai kemudian memimpin para muridnya melakukan penghimpunan dana untuk pemberian santunan kepada anak yatim dan fakir miskin.

Singkatnya, sang kiai bersama para muridnya memelopori pendirian panti asuhan anak yatim dan lembaga sosial membantu menyejahterakan fakir, miskin, dan kaum mustad’afin (kaum lemah dan marginal).

Model pendidikan agama yang diberikan sang kiai tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga mencerahkan wawasan dan menginspirasi aksi-aksi empati dan peduli terhadap masalah kemanusiaan. Model pendidikan agama sang Pencerah yang menjadi sumber inspirasi dan daya penggerak Muhammadiyah mengembangkan amal usahanya, seperti pengelolaan pendidikan, masjid, klinik, dan RS yang tersebar di seluruh Nusantara.

Teologi dan metodologi belajar agama di mata sang Pencerah tidak hanya menjadi spirit dan keyakinan kuat untuk membumikan Islam dan menginspirasi semua, tetapi juga menjadi landasan pembangunan dan pemajuan peradaban umat dan bangsa. Islam yang dipahami dan dikonstruksi Sang Pencerah, Islam faktual dan kontekstual yang menggembirakan, mencerdaskan, memberdayakan, menyejahterakan, dan membahagiakan umat manusia.

Teologi Al-Ma’un

Oleh karena itu, teologi Al-Ma’un Sang Pencerah meniscayakan integrasi gerakan pencerahan pemikiran sekaligus tajdid peradaban yang berkemajuan dan berkeadaban.

Ayat-ayat qawliyyah atau qur’aniyyah dipahami bukan sekadar firman Tuhan yang mencerahkan pemikiran, melainkan juga dibarengi dengan pembumian pesan moralnya dalam praksis nyata secara kontekstual sekaligus diintegrasikan dengan ayat-ayat kawniyyah dan ijtima’iyyah (ayat-ayat alam semesta dan sosial kemanusiaan).

Atas dasar itu, pendidikan agama berbasis teologi Al-Ma’un Sang Pencerah itu harus mengambil inspirasi dari sumber autentiknya, yakni Alquran dan As-Sunnah, teks suci dan konteks sosial keteladanan profetiknya. Agama dipahami secara komprehensif, luas, dan luwes. Tidak skriptual, parsial, sempit, dan rigid.

Dengan pendidikan agama yang mencerahkan, norma-norma dan nilai-nilai Islam diterjemahkan ke dalam gerak dinamis dan progresif peradaban Islam. Umat dan warga bangsa diajak untuk berpendidikan dan beragama secara inklusif, terbuka dan dewasa, berwawasan luas, berpikiran cerdas, dan bervisi maju. Bukan beragama dengan klaim subjektif misalnya sebagai paling benar dalam beragama, paling toleran, paling NKRI, atau paling Pancasila. Padahal, perilakunya intoleran, arogan, fanatik, picik, tidak sejuk, dan tidak santun.

Pendidikan agama yang mencerahkan dengan spirit teologi Al-Ma’un menghendaki pengembangan gerakan ide, pembaruan dan inovasi ilmu, dan peradaban (tajdid wa ibda’ al-‘ilm wa al-hadharah) yang diintegrasikan dengan gerakan amal saleh dan kemanusiaan, melalui aktualisasi fungsi institusi pendidikan, sosial ekonomi, kesehatan, budaya, filantropi, dan jihad konstitusi.

Pendidikan agama yang mencerahkan juga harus membuahkan akhlak mulia pada peserta didik dan lulusan pendidikan. Proses pendidikan agama yang mencerahkan bukan hanya berupa transformasi pengetahuan, melainkan juga penyadaran, peneladanan, pengamalan, dan pembiasaan.

Semua warga institusi pendidikan, terutama pendidikan agama, harus mampu menjadi contoh dan teladan terbaik dalam bersikap, bercakap, bergaul, berbuat, dan berinteraksi sosial. Pencerahan pendidikan agama harus dimulai dari pemimpin, pendidik, tenaga kependidikan, anggota keluarga, dan masyarakat pada umumnya.

Visi utama pendidikan agama yang mencerahkan ialah aktualisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, pendidikan agama yang mencerahkan harus menghadirkan esensi Islam rahmatan li al-‘alamin dalam bentuk komitmen moral dan ketulusan menjadi teladan bagi semua sehingga cita-cita mulia warga bangsa sesuai tuntunan agama, yakni terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang gemah ripah loh jinawi, adil makmur, dan mendapatkan ampunan Tuhan) dapat diwujudkan dalam NKRI.

Oleh karena itu, pendidikan agama yang mencerahkan dan menginspirasi harus meneguhkan komitmen moral dan semangat persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, moderasi (wasathiyyah) sikap, pemahaman, penafsiran, dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan harus menjadi arus utama, dan jalan kearifan serta keadaban menuju Indonesia menang, maju, adil makmur, bahagia lahir batin, dan selamat dunia dan akhirat.

Pendidikan agama yang mencerahkan dengan jalan moderasi itu akan membuahkan kearifan, kesantunan, keadaban, dan keharmonisan dalam menomorsatukan kemasalahatan bangsa, bukan mengedepankan ego sektoral, arogansi institusional, dan monopoli tafsir (kebenaran) agama.

Dr Muhbib Abd Wahab MA, Kepala Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: http://m.mediaindonesia.com/read/detail/221718-pendidikan-agama-yang-mencerahkan, Sabtu, 9 Maret 2019.(lrf/mf)