Pemilu 2019: Lessons Learned (2)

Pemilu 2019: Lessons Learned (2)

Pilpres 2019 tampaknya merupakan pemilu paling sengit pada masa pasca-Orde. Sejak pilpres secara langsung diterapkan mulai 2004 (kemudian 2009, dan 2014). Pilpres 2019 menghasilkan polarisasi sangat tajam dalam masyarakat Indonesia. Semula polarisasi itu lebih banyak terkait dengan kontestasi politik kepresidenan, tetapi dalam perkembangannya, sejak masa kampanye sekitar delapan bulan, lalu pencoblosan dan setelah pemberian suara, polarisasi itu telah mengimbas ke dalam kehidupan agama dan sosial.

Polarisasi yang cenderung sangat tajam, khususnya di kalangan elite politik dan sosial-keagamaan di antara elite politik kedua paslon Capres-Cawapres 01 Jokowi-Ma’ruf Amin versus 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Polarisasi tajam tampaknya membuat rekonsiliasi sulit dilakukan. Klaim-klaim yang dibuat capres Prabowo dengan menyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019 juga menjadi salah satu penghambat rekonsiliasi.

Apakah rekonsiliasi itu bisa tercipta setelah 22 Mei setelah pengumuman pemenang Pilpres 2019 oleh KPU. Publik dan masyarakat berharap, dengan penetapan pemenang Pilpres 2019 itu nanti, kontestasi politik yang panjang, divisif, dan melelahkan itu dapat berakhir.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari polarisasi yang tajam dalam Pilpres 2019? Pelajaran berharganya adalah kontestasi sengit itu terutama disebabkan kenyataan bahwa hanya ada dua paslon capres-cawapres. Secara hipotetis, polarisasi masyarakat boleh jadi tidak begitu tajam jika paslon yang bertarung lebih dari dua, katakanlah tiga paslon, misalnya.

Fakta bahwa hanya ada dua paslon terkait langsung dengan ambang batas 20 persen suara bagi parpol untuk bisa mengusulkan paslon capres-cawapres. Ambang batas suara yang sangat tinggi ini menimbulkan kesulitan luar biasa bagi tergalangnya koalisi parpol untuk memunculkan paras paslon capres-cawapres ketiga, apalagi paras keempat.

Oleh karena itu, untuk mencegah polarisasi tajam dalam pilpres yang akan datang (2024). Perlu perubahan UU Pemilu, dengan menurunkan ambang batas suara pencalonan capres-cawapres, misalnya menjadi 10 atau 15 persen.

Ambang batas suara untuk masih tetap diperlukan, jika tidak ada ambang batas suara paslon yang muncul menjadi sangat banyak.

Selain soal ambang batas suara 20 persen untuk pencalonan paslon capres-cawapres, polarisasi dalam Pilpres 2019 juga disebebkan kenyataan bahwa kontestasi di antara capres Jokowi versus capres Prabowo merupakan ulangan pertarungan 2014.

Kontestasi 2019 ini bisa diduga merupakan kali terakhir bagi masing-masing; bagi Jokowi, untuk kali terakhir guna menjadi presiden untuk kedua kalinya, bagi, Prabowo agaknya juga untuk terakhir kali karena boleh jadi dia tidak mencalonkan diri lagi pada Pilpres 2024 nanti.

Maka itulah kontestasi Pilpres 2019 di antara kedua paslon capres-cawapres seolah menjadi zero-sum-game pertarungan antara dia atau saya habis-habisan, tidak ada kompromi. Kerangka zero-sum-game itulah yang dipegangi banyak elite politik pendukung masing-masing paslon.

Meski demikian, polarisasi yang bernuansa agama (Islam) sebenarnya hanya terjadi pada pilpres. Polarisasi ini pernah disebut kalangan tertentu terjadi di antara kaum Muslim pro-Pancasila versus kaum Muslim pro-Khilafah. Gambaran polarisasi seperti ini tentu saja sangat simplistis; tetapi jelas polarisasi itu mengandung pembelahan di antara kaum Muslimin yang kemudian juga melibatkan para pemilih non-Muslim.

Sebaliknya, polarisasi politik yang kemudian bernuansa agama tidak terlihat dalam Pileg 2019. Para pemilih Muslim seperti dalam pileg sebelumnya dengan bebas memilih parpol mana pun tanpa bayangan politik identitas keagamaan (lslamic identity politics).

Fenomena ini terlihat jelas, parpol-parpol yang berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam Pileg 2019 adalah parpol berasas Pancasila; empat besarnya adalah PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan PKB. Dominasi atau hegemoni parpol-parpol ini, khususnya PDIP, masih terus berlanjut walaupun banyak kampanye antiparpol ini di kalangan para pemilih Muslim. Sebaliknya, parpol berasas Islam tetap berada di papan tengah jika tidak medioker. Di sini hanya ada dua parpol berasas Islam: PKS dan PPP.

Nasib parpol Islam belum seperti yang diharapkan para pendukung politik Islam. Pelajarannya di sini adalah parpol berasas Islam masih harus berusaha keras membenahi diri membangun parpol yang solid dengan kepemimpinan yang kuat juga dengan kader yang kian luas.

Prof Dr Azyumardi Azra MA, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Resonansi Republika, Kamis 2 Mei 2019. (lrf/mf)