Pemilu 2019: Lessons Learned (1)

Pemilu 2019: Lessons Learned (1)

Indonesia --seluruh warga  dan lingkungan hidup ini-- patut bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT karena Pemilihan Umum 2019 (Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif serentak lewat pemungutan suara pada 17 April) berjalan aman, damai, dan lancar. Sepanjang proses Pemilu 2019 yang didahului masa kampanye yang panjang --sekitar delapan bulan-- patut disyukuri tidak terjadi kekerasan di antara pendukung kelompok politik yang berbeda.

Keberhasilan ini sekali lagi menunjukkan, demokrasi tidak hanya kompatibel dengan Islam yang merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia, tetapi juga bahwa negara ini bisa demokrasi secara berkeadaban. Di tengah masih bertahan dan meningkatnya kekerasan politik di banyak bagian dunia --khususnya di negara-negara berpendudukan mayoritas Muslim— keberhasilan Indonesia tentang pemilu yang damai memberikan janji tentang kehidupan politik yang lebih baik.

Seperti yang sudah diyatakan para ahli ilmu politik, khususnya ahli tentang demokrasi, pemilu Indonesia 2019 adalah pemilu terbesar dan paling rumit diselenggarakan di muka bumi. Memang pemilu India melibatkan pemilih yag jauh lebih besar (sekitar 900 juta pemilih) dibandingkan pemilu Indonesia (sekitar 192 juta pemilih).

Namun, Pemilu India tidak diselenggarakan dalam satu hari, tidak seperti di Indonesia; pemilu India berlangsung dalam tujuh tahap antara 11 April hingga 19 Mei.

Selain soal kerumitan itu, Pemilu 2019 bisa bisa dipastikan memecahkan rekor terbanyak anggota penyelenggara dan pengamanan pemilu yang meninggal dunia sepanjang pelaksanaan pemilu tersebut. Menurut catatan KPU, sampai awal pekan ini (22/4), sekitar 119 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang wafat ketika pelaksanaan tugas; juga ada 33 anggota panwaslu, dan 33 anggota Polri menghembuskan nafas terakhir. Mereka gugur sebagai pahlawan demokrasi.

Kematian yang begitu banyak pastilah menimbulkan duka yang mendalam tidak hanya bagi keluarga masing-masing, tetapi sepatutnya juga tetapi bagi setiap dan seluruh warga. Syukurilah pihak KPU, Bawaslu, Polri, dan pemerintah (melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani) berjanji memberikan santunan kepada keluarga mereka yang wafat dalam konteks semua itu.

Dengan konteks semua itu, dengan penyelenggaraan pemilu yang sangat rumit dan amat besar itu yang sekaligus menimbulkan banyak korban wafat, pelajaran yang dapat diambil adalah setiap dan seluruh warga perlu lebih berlapang dada untuk menerima berbagai kekurangan dan kecacatan yang ada dan terjadi selama dalam proses Pemilu 2019. Daftar kekurangan pelaksanaan pemilu jelas dapat dibuat; dan daftar itu bisa sangat panjang sejak dari logistik pemilu yang belum sampai ke TPS yang direncanakan hingga kecurangan dalam pencoblosan.

Namun, dalam penilaian objektif, netral, dan dingin (nucther), bisa dipastikan berbagai dan kelemahan itu jauh dari pada bersifat rencana, masif, dan sistematis. Sebaliknya, kekurangan dan kecacatan itu lebih bersifat kasuistik dan isolated, tidak bisa secara digeneralisasi secara ngebyah uyah.

Oleh karena itu, adanya suara-suara yang menganggap Pemilu 2019 penuh dengan kecurangan terencana, tersruktur, sistematis, dan masif jelas berlebih-lebihan. Juga kurang bijak jika anggapan itu disertai tuntutan agar Pemilu 2019 dibatalkan dan diselenggarakan ulang. Berbagai kekurangan itu sepatutnya dikoreksi selama itu masih mungkin dilaksanakan dalam waktu yang ada sebelum penetapan keputusan final hasil pemilu 22 Mei nanti.

Selanjutnya, sikap yang bijak dan proporsional dalam menghadapi berbagai kekurangan dan kelemahan itu adalah mengevaluasi secara kritis dan menyeluruh konsep, sistem, dan penyelenggara Pemilu 2019. Tujuannya tidak lain adalah untuk memutuskan konsep, sistem, dan praksis pemilu yang lebih baik pada masa depan mendatang, khususnya pileg dan pilpres yang akan datang pada 2024.

Salah satu pemikiran evaluatif adalah tampaknya perlu pemisahan pileg dan pilpres dalam Pemilu 2024. Pemilu 2019 memberikan pelajaran, penyelenggaraan kedua pemilu itu secara serentak menjadi terlalu besar, yang bahkan tidak bisa ditangani banyak anggota KPPS dan pihak lain yang akhirnya mengorbankan banyak nyawa.

Selain itu, dengan penyelenggaraan serentak, perhatian para aktor politik dan warga terfokus, terutama pilpres. Sementara itu, pileg terkesampingkan. Padahal, pileg juga sangat penting dalam rangka menghasilkan wakil-wakil legislatif yang lebih bermutu, kredibel, dan akuntabel.

Prof Dr Azyumardi Azra MA, Guru Besar Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN SYarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Opini Republika, Kamis, 25 April 2019. (lrf/mf)