Pembentukan BSKAP dan Resentralisasi Standar Pendidikan

Pembentukan BSKAP dan Resentralisasi Standar Pendidikan

Oleh Dr. Abdul Rozak, M.Si Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pemerhati Pendidikan

Setelah membubarkan BSNP, Nadiem Makarim membentuk badan yang tugas dan fungsinya salah satunya menjalankan tugas dan fungsi yang dijalankan BSNP. Badan yang dibentuk Nadiem Makarim berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada Bab X bernama BADAN STANDAR, KURIKULUM, DAN ASESMEN PENDIDIKAN. Badan ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri (Pasal 233) dengan tugas menyelenggarakan penyusunan standar, kurikulum, dan asesmen pendidikan serta pengelolaan sistem perbukuan (Pasal 234). Sedangkan fungsinya: a. penyusunan kebijakan di bidang standar pendidikan; b. penyusunan kebijakan teknis di bidang kurikulum dan asesmen pendidikan serta pengelolaan sistem perbukuan; c. pelaksanaan penyusunan standar, kurikulum, dan asesmen di bidang pendidikan; d. pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan pengawasan sistem perbukuan; e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyusunan standar, kurikulum, dan asesmen pendidikan serta pengelolaan sistem perbukuan; f. pelaksanaan administrasi Badan; dan g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri (Pasal 235).

Secara operasinal struktur organisasi dalam badan terdapat pusat-pusat yang salah satnya Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (Pasal 243) yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan kebijakan standar, penyusunan standar, dan analisis kebijakan pendidikan (Pasal 244) dengan fungsinya : a. penyiapan kebijakan di bidang standar pendidikan; b. pelaksanaan penyusunan standar di bidang pendidikan; c. pelaksanaan analisis kebijakan pendidikan; d. koordinasi dan fasilitasi di bidang standar dan kebijakan pendidikan; e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang standar dan kebijakan pendidikan; dan f. pelaksanaan urusan ketatausahaan Pusat.

Seperti dikemukakan oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro (Kompas, 4 September 2021) bahwa tugas BSNP kemudian diambil alih oleh Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Mendikbud (kini Mendikbudristek), seperti tercantum pada Pasal 233 Ayat (1) Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021. Dalam legal opinionnya Prof. Johannes Gunawan dalam suatu webinar menyatakan bahwa “BSKAP tidak sama dengan BSNP karena sifat organisasinya berbeda”. BSNP merupakan badan mandiri dan independen, sedangkan BSKAP tidak mandiri dan tidak independen serta berada dalam organ Kemendikbudristek dan bertanggungjawab kepada atasan langsung yaitu Menteri. Pembentukan BSKAP dan pembubaran BSNP dalam pandangan Prof. Cecep Darmawan (Republika, 03 September 2021) telah menunjukkan adanya problem regulasi dan inkonsistensi regulasi, yang berpotensi dapat menyebabkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait dasar hukum pengaturan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan.

Secara legal pembentukan Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan tersebut menyalahi Pasal 35 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang sampai saat ini masih berlaku. Secara moral pembentukan badan baru yang tak mandiri itu menunjukkan kemunduran paradigma tata kelola, di mana peran penguasa menjadi sangat kental dan dominan sehingga menghilangkan kontribusi para pemangku kepentingan. Hal ini akan berdampak negatif terhadap pengembangan pendidikan di Tanah Air, karena pendidikan tidak dapat ditangani dengan pola kekuasaan. Kemdikbudristek belum berperan sebagai pemberdaya dan sering kali tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Dalam diskusi dan peluncuran buku yang berjudul “Membentuk Warga Negara Yang Demokratis : Konstruksi Literasi kewargaan dalam Mata Pelajaran PPKn yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Kemenduikbud ditegaskan bahwa pendidikan merupakan bagian penting penguatan kapasitas individu, khususnya untuk mencapai demokrasi deliberatif, yakni model demokrasi yang terjadi melalui diskursus yang setara dari keragaman dan dinamika masyarakt sipil. Setali tiga uang, Kepala Balitbang dan Perbukuan, Anindito Aditomo dalam acara tersebut menegaskan bahwa pendidikan untuk demokrasi merupakan bagian penting dari cita-cita kemerdekaan yakni memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menurut Anindito, keberhasilan demokrasi deliberatif sangat tergantung kepada kapasitas warga negaranya dalam proses deliberasi tersebut. Namun demikian apa yang terjadi dalam pembubaran BSNP dan pembentukan BSKAP merupakan kondisi yang tidak sejalan dengan demokrasi deliberatif dalam dunia pendidikan dan merupakan kondisi paradoksal dalam membangun demokratisasi pendidikan. Dalam BSNP keanggotaannya selain dari unsur birokrasi juga berasal dari perwakilan masyarakat yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Lain halnya dengan BSKAP yang merupakan badan organik kementerian yang tidak mandiri dan tidak independen sifatnya karena dalam tugas dan fungsinya berada dalam birokrasi kementerian dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri dalam pelaksanaan tugasnya.

Hadirnya BKSAP menjadi wajah merosotnya demokratisasi pendidikan yang dalam pandangan Azyumardi Azra kondisi tersebut mencerminkan kian menguatnya resentralisasi dan birokratisasi pendidikan nasional. Resentralisasi politik standar pendidikan melalui pembentukan BSKAP membuat partisipasi masyarakat dalam perumusan standar pendidikan menjadi sirna karena tidak lagi bisa diakomodir keterwakilan masyarakat dalam lembaga tersebut. Hal ini menunjukkan kondisi berbeda dengan yang selama ini terwadahi dalam BSNP dalam perumusan dan penetapan kebijakan standar pendidikan nasional. Dengan BSKAP politik standar pendidikan nasional menjadi terpusat dalam genggaman birokrasi pendidikan dan nir partisipasi masyrakat swasta dalam penyusunan standar pendidikan. Pedahal dalam realitasnya penyelenggara pendidikan bukan saja dilakukan oleh instansi pemerintah, melainkan besarnya keterlibatan pihak masyarakat swasta seperti organisasi keagamaaan Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, PUI, Persis, Yayasan Pendidikan Kristen, Yayasan Pendidikan Katolik, PGRI, Taman Siswa, paguyuban Sekolah Islam Terpadu dan lembaga pendidikan masyarakt lainnya. Melalui BSKAP pelaku dan penyelenggara pendidikan diposisikan sebagai obyek dalam perumusan dan penetapan kebijakan standar pendidikan

Tindak Lanjut

PP 57 Tahun 2021 mulai berlaku saat diundangkan yaitu 31 Maret 2021. Saat PP ini diberlakukan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP Nomor 13 Tahun 2Ol5 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi karena memang sudah banyak pasal yang kurang relevan lagi dimana saat ini kita berada dalam era global dan era disruptif akbat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan teknologi era 4.0 dan society 5.0. Dengan kata lain PP 57 ini saat ini dinyatakan berlaku meskipun di dalamnya terdapat pasal-pasal kontroversial karena belum ada PP yang membatalkan dan mengganti keberadaan PP 57 ini.

Untuk itu yang diperlukan saat ini adalah langkah cepat revisi terhadap PP 57 ini terutama pada pasal yang di dalamnya memuat substansi yang kontroversi dan menambah pasal-pasal yang mendukung transformasi pendidikan sejalan dengan dinamika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi industry 4.0 dan dinamika tatanan sosial 5.0. Revisi terhadap PP 57 harus mampu: a) mengokohkan nation and character building yaitu pengokohan nilai-nilai relegiusitas, penguatan karakter Pancasila, spirit kebangsaan, dan semangat nasionalisme baru yang sejalan dengan jati bangsa Indonesia di tengah arus global dan kemajuan teknologi; b) mengembalikan penyelenggaraan pendidikan yang tertib dan konsisten dalam tata aturan dan kebijakan bidang kependidikan; c) mencerminkan politik dan kebijakan pendidikan yang demokratis; d) menghindari resentralisasi dan birokratisasi pendidikan nasional (debirokratisasi pendidikan); e) mendorong penyelenggaraan pendidikan dengan pola pemberdayaan; f) memberikan penegsan posisi dan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemberdaya (enabler); g) membangun pendidikan yang memerdekakan dengan pemberian otonomi secara tepat dan akuntabel kepada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/kampus); h) membangun pendidikan yang menghasilkan keunggulan dan daya saing; i) membangun pendidikan yang mendorong terjadinya transformasi kultural dan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Bila muatan hasil revisi PP 57 Tahun 2021 seperti itu maka produk kebijakan tersebut akan mendapatkan sambutan posiitif dan dukungan dari para stakeholder dan pelaku pendidikan di berbagai jenjang pendidikan. SEMOGA (sam/mf)