Pembelajaran Daring Kembali Jadi Solusi

Pembelajaran Daring Kembali Jadi Solusi

Dr Fauzan MA, Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kabid Pendidikan dan Penguatan Karakter IKALUIN, Ketua Himpunan Pengembang Kurikulum DKI Jakarta

Sebagian besar guru sekolah/madrasah sudah membagikan raport penilaian tahap akhir dan selanjutnya masa liburan. Pada saat yang bersamaan, saat ini masyarakat Indonesia juga disuguhi berita terkait lonjakan Covid-19 yang terus meningkat.

Berdasarkan update corona di Jakarta pada Minggu 20 Juni 2021 terdapat tambahan kasus baru sebanyak 5.282 orang, sementara kasus positif secara nasional bertambah 13.737, sehingga total kasus positif Covid-19 di Indonesia menjadi 1.989.909 orang.

Bagi dunia pendidikan kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan, provinsi DKI Jakarta yang sejak awal mendeclare kesiapannya untuk kembali menerapkan kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menyetop kembali uji coba kedua pelaksanaan PTM tersebut karena pertimbangan kesehatan, termasuk pemerintah Kota Tengerang Selatan melalui Surat Edaran Nomor 433/2073/Huk tertanggal 15 Juni 2021 kembali menerapkan kebijakan perpanjangan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro dalam rangka pengendalian penyebaran Covid 19. Berdasarkan Surat Edaran tersebut semua lembaga pendidikan dasar menengah dan perguruan tinggi wajib melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara daring/on-line”.

Banyak kalangan menilai pelaksanaan daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama setahun terakhir beresiko pada learning loss. Bukan hanya pada persoalan kecakapan akademik dan kemampuan skill peserta didik yang hilang dalam proses pembelajaran, tetapi dapat berimplikasi pada kurang maksimalnya penguatan nilai-nilai karakter pada peserta didik.

Secara konseptual, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional lebih menitikberatkan pada fungsi bagaimana lembaga pendidikan “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Hasil kesimpulannya, penguatan nilai-nilai karakter, seperti iman dan taqwa (sikap spuritual), berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab (sikap sosial) menjadi hal paling signifikan dalam pendidikan, selain kecakapan ilmu pengetahuan dan psikomotorik.

Bagi sebagian guru dan orangtua, PJJ yang sarat dengan pemanfaatan teknologi digital, platform online, dan penggunaan bahan ajar online terasa sangat “memberatkan”, terlebih untuk daerah/wilayah yang susah jaringan internet.

Bantuan quota internet yang diberikan pemerintah bagi sebagian masyarakat sangat membantu, bahkan memberikan solusi masalah ekonomi masyarakat, tetapi pada sebagian yang lain adanya bantuan tersebut kurang termanfaatkan secara baik karena soal ketidakmampuan menggunakan teknologi, handphone yang kurang compatible dan masalah teknis lainnya.

Belum lagi pemahaman orangtua yang tidak sama, sebagian besar orang tua menganggap bahwa yang disebut pembelajaran seharusnya datang ke sekolah/madrasah. Ketika orangtua sudah mendaftarkan putra putrinya ke lembaga pendidikan tertentu, ada anggapan semua urusan pendidikan menjadi urusan guru.

Bagi sebagian guru juga tidak luput dari masalah saat pembelajaran daring/online. Seabrek Kompetensi Dasar (KD) sebagai target pencapaian kompetensi pembelajaran dalam kebijakan kurikulum 2013 tidak sebanding lurus dengan jumlah jam pelajaran yang ditetapkan, pengetatan waktu pembelajaran selama PJJ menjadi salah satu kendala yang dihadapi guru, belum lagi persoalan kompetensi/kemampuan guru dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang masih beragam.

Hasil survey cepat yang dilakukan Kementerian dan Kebudayaan Bersama UNICEF menunjukkan sekitar 45 juta anak sekolah telah didukung melalui pembelajaran jarak jauh selama Covid-19, namun beberapa tantangan yang ditemukan antara lain 35 persen siswa masih terkendala koneksi jaringan internet.

Melihat kondisi tersebut berimplikasi pada minimnya pemahaman peserta didik terhadap konsep, skill psikomotorik, serta penguatan nilai karakter yang menjadi tagihan dari pendidikan. Alhasil, learning loss yang akhir-akhir ini dikhawatirkan banyak pihak bisa jadi benar dan terjadi, jika tidak segera diselesaikan.

Merajut Sinergi Orangtua dan Guru dalam Pembelajaran

Musibah covid-19 yang menimpa Indonesia dan dunia pada umumnya berdampak pada semua lini kehidupan, ekonomi, agama, sosial, kesehatan, terlebih pada bidang pendidikan. Musibah ini pula yang memaksakan pelaksanaan pembelajaran dilakukan secara daring/online.

Semua lembaga pendidikan, guru, siswa, “dipaksa” oleh kebijakan pemberlakuan pembelajaran dengan teknologi. Pada awal kebijakan diluncurkan, semua pelaksana kegiatan pembelajaran kaget dan khawatir akan kesiapannya menggunakan teknologi pembelajaran, hingga semua pihak menerima dengan segala kelebihan kekurangannya.

Terlepas dari penerapan kebijakan tersebut, adanya musibah tersebut hal paling positif yang dapat diambil antara lain kembalinya peran orangtua sebagai pendidik utama. Keluarga sebagai pusat pendidikan pertama dan utama posisinya tidak dapat digantikan oleh lembaga pendidikan manapun.

Keluarga merupakan dasar dari penanaman dan pengembangan nilai-nilai kepribadian, seperti pembiasaan baik, interaksi sosial, penanaman nilai agama, dan penanaman, akhlak al-karimah. Peran pendidikan tersebut sejatinya menjadi kewajiban orang tua, sehingga dalam interaksi selanjutnya seorang anak memiliki bekal kepribadian yang memadai.

Tradisi dan kebiasaan positif yang ditanamkan orangtua sejak dini merupakan dasar menentukan saat anak mengikuti jenjang pendidikan formal.

Bagi seorang anak, tidak ada cermin yang paling baik kecuali orangtuanya sendiri. Oleh karena itu, proses pendampingan, pembimbingan saat pembelajaran dilakukan (terlebih pada PJJ) yang dilakukan guru, orangtua menentukan tingkat capaian pembelajaran anak.

Dalam proses pembelajaran, guru dan orangtua memiliki perannya masing-masing, guru secara interaktif memfasilitasi anak memahami konsep dan penerapannya secara riil; orangtua melakukan pendampingan saat pembelajaran daring berlangsung.

Tidak sedikit masalah yang terjadi pada saat PJJ berlangsung, misal: ketika zoom dipilih sebagai media pembelajarannya, tidak sedikit anak yang memilih offcame. Apa yang terjadi, jika tidak ada pendampingan dari orangtua, maka tidak mungkin ada komunikadi dua arah (guru murid), nilai interaktif yang menjadi pijakan dalam pendidikan hilang, dan ujungnya pembelajaran hanya rutinitas toutologis yang tidak bermakna. Untuk itu, dalam konteks pembelajaran apapun (online atau off line) seyogyanya komunikasi guru dan orangtua terus dilakukan.

Akhirnya, andaipun PJJ dipilih kembali sebagai kebijakan pemerintah dan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) tidak dilaksanakan pada tahun akademik yang akan datang karena pertimbangan kesehatan, dan karena alasan menguatnya kasus Covid 19; maka langkah ke depan perlu diantisipasi antara lain: Pertama, pihak sekolah/madrasah perlu melakukan evaluasi secara continue terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran akademik sebelumnya, sembari menyiapkan beberapa opsi terkait desain pembelajaran yang akan digunakan.

Kedua, sebagai pendidik, guru disarankan kembali melakukan pemetaan Kompetensi Dasar (KD) esensial, melakukan pemetaan kompetensi untuk kebutuhan satu semester dengan mempertimbangkan beberapa opsi pembelajaran sehingga ketercapaian kompetensi pembelajaran bisa terpenuhi.

Ketiga, dibutuhkan sinergi orangtua, guru, pemerintah daerah, masyarakat dan pihak lain yang bertanggung jawab terhadap pendidikan harus lebih siap. Satu pemahaman yang menjadi komitmen bersama, bahwa urusan pendidikan adalah urusan bersama bukan urusan personal tertentu. Sangat diharapkan melalui sinergi orangtua dan guru dalam pendidikan dapat meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang lebih berkarakter.

Sumber: https://www.rmolbanten.com/, 21 Juni 2021-MusAm).