Pelajaran Agama Sumber Radikalisme?

Pelajaran Agama Sumber Radikalisme?

Isu penghapusan mata pelajaran agama di sekolah kembali mencuat. Agama dianggap sumber radikalisme, intoleransi, dan perpecahan masyarakat yang bhineka. Pelajaran budi pekerti dianggap lebih baik daripada pelajaran agama. Dikatakan, pelajaran agama mengajarkan perbedaan dan menimbulkan perpecahan di kalangan siswa.

Alih-alih melahirkan individu yang toleran, agen perdamaian, dan perekat persaudaraan dan kekitaan, agama dianggap berperan penting dalam melahirkan teroris dan pelaku kekerasan (radikal) atas nama agama. Agama juga dijadikan sebagai alat politik lewat pelajaran di sekolah.

Meski beragam hasil riset menunjukkan potensi radikalisme di kalangan pemeluk agama, khususnya guru dan dosen agama, benarkah penghapusan pelajaran agama di sekolah (atau kampus) merupakan solusi tepat? Benarkah agama cukup diajarkan di masjid, gereja, pura, dan vihara?

Sumber Nilai

Agama adalah sumber nilai tertinggi karena dipercaya merupakan firman Tuhan. Kitab suci merupakan sumber tata nilai, regulasi, dan petunjuk bagaimana seharusnya manusia hidup, yang lebih tinggi daripada peraturan yang dibuat manusia.

Ia mengandung kebenaran absolut yang jika dijalankan dengan benar akan membawa manusia hidup aman dan damai meski dalam keragaman agama, suku, bahasa, dan pilihan politik. Kitab suci memuat apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia yang tujuannya adalah terciptanya kebaikan bersama: harmoni dalam keragaman.

Jadi agama merupakan sumber kekuatan manusia dalam menjalani hidup sehingga ia menjadi individu yang sabar, syukur, ikhlas, jujur, dan menyayangi-mencintai antarsesama. Jangankan antarsesama manusia, bahkan agama memerintahkan manusia menyayangi dan memelihara binatang dan tanaman dengan baik. Demikian mulianya ajaran agama itu.

Dengan demikian, memahamkan nilai-nilai agama yang baik kepada pemeluknya merupakan langkah penting dan sangat tepat bukan saja untuk terciptanya hubungan baik manusia dengan Tuhan, tetapi menciptakan tatanan kehidupan yang aman, damai, dan harmonis antar warga bangsa. Dalam masyarakat bhineka seperti Indonesia, agama adalah sumber nilai utama terciptanya kerukunan antarpemeluk agama.

Faktor Manusia

Jika regulasi antikorupsi tidak efektif misalnya, tidak berarti kita berkesimpulan untuk menghapus regulasi itu, atau menghapus lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di negara ini. Masalahnya bukan pada regulasi atau agama, tetapi pada manusia yang menjalankannya.

Mengapa sikap sebagian kecil manusia beragama bertentangan dengan ajaran luhur agamanya? Mereka menunjukkan perilaku ganda: pada satu sisi rajin ibadah, tapi di sisi lain memiliki jiwa yang keras, mencuri, membunuh, intoleran, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jadi yang perlu diperbaiki adalah cara beragama manusia, bukan menghapuskan pelajaran agama di sekolah. Materi dan metode pembelajaran agama di sekolah perlu dievaluasi agar melahirkan manusia yang hidup sesuai firman Tuhan. Tuhan yang menginginkan kejujuran, kedamaian, dan saling menghargai meski berbeda dalam beragam hal.

Pendidikan agama tidak bisa diserahkan hanya kepada keluarga dan tempat-tempat ibadah seperti di negara-negara lain. Isu ini harus dianggap sebagai pelecut semangat pemerintah dan praktisi pendidikan untuk meningkatkan pembelajaran agama di sekolah agar lebih baik lagi.

Pendidikan agama telah banyak melahirkan orang yang memahami ajaran agama dengan baik sehingga menjadi warga bangsa yang baik dan mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Jumlah mereka yang intoleran dan radikal sedikit dibanding umat beragama yang baik, dan bukan agamanya yang salah tetapi pemahamannya yang keliru.

Justru sekolah dan kampus harus menjadi agen pembelajaran agama (Islam) yang moderat dan penuh kasih-sayang. Ia bisa menjadi wahana adu gagasan atau alternatif pembelajaran bagi kelompok yang beraliran radikal dan anti-NKRI dan anti-Pancasila. Harus diakui, meski kecil, kelompok ini ada di dalam dan di luar sekolah dan kampus.

Jangan lupa, Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) saja diajarkan di sekolah dan kampus, demi terciptanya warga negara yang baik. Apalagi agama, yang memiliki kitab suci dengan segala macam aturannya sebagai pedoman hidup manusia. Manusia yang berpegang teguh padanya dan juga percaya Tuhan akan selamat dan menyelamatkan bumi ini dari kehancuran.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: detiknews.com, 8 Juli 2019. (lrf/mf)