Pedagogik untuk Indonesia

Pedagogik untuk Indonesia

Oleh : Prof Dr Azyumardi Azra CBE

Setiap tahun bangsa ini merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Setiap kali pula yang terdengar dari para pemikiran dan praktisi pendidikan khususnya lebih banyak keluhan dan bahkan kejengkelan terhadap para pengambil kebijakan pendidikan yang bukan membuat pendidikan Indonesia kian maju, tetapi justru makin terbelenggu karena proses birokratisasi yang terus ditetapkan Kemendikbud (kini pendidikan dasar dan menengah) dan sekarang juga Kemendikti-Riset.

Lihatlah indikator berikut. Meski pendidikan lebih universal sudah dikembangkankan sejak masa pemerintahan Orde Baru melalui sekolah Inpres dan pendirian perguruan tinggi negeri di luar pulau Jawa, sampai sekarang angka partisipasi kasar (APK) murid dan mahasiswa masih saja rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, APK PAUD 55 persen, APK SD/MI (sekitar 115 persen), APK tingkat SMP hanya sekitar 80 persen, APK tingkat SMA/MA sekitar 70 persen, dan APK pendidikan tinggi sekitar 27 persen. APK siswa-mahasiswa berumur 7-23 tahun hanya 81 persen (2011/12).

Meski anggaran pendidikan Indonesia sudah 20 persen dari APBN+APBD, tetapi hanya sekitar 3,40 persen dari PDB; bandingkan dengan Thailand (5 persen), Malaysia (7,9 persen). Lagi pula, kelihatan dana lebih kecil versus PDB tersebut tidak dibelanjakan secara bijak dan bertanggungjawab, sehingga belum berhasil meningkatkan pendidikan Indonesia baik dari segi fasilitas fisik maupun mutu. Masih terlalu banyak bangunan sekolah yang rusak dan tak layak pakai—jauh daripada kondusif untuk proses pembelajaran, apalagi pendidikan.

Sebagian orang—khususnya pengambil kebijakan pendidikan—boleh jadi berapologi dengan menyatakan, pendidikan Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Dengan jumlah peserta didik lebih dari 50 juta peserta didik dan hampir 3 juta guru dan dosen dengan hampir 300 ribu sekolah dan perguruan tinggi, Indonesia berada di tempat keempat terbesar setelah Tiongkok,India, dan Amerika Serikat. Melihat kenyataan ini, orang bisa berapologi, bahwa tidak mudah mengurus pendidikan Indonesia.

Apologi semacam itu hanya kontra-produktif. Lebih baik berpikir melakukan langkah terobosan untuk mengatasi berbagai hambatan yang membuat pendidikan Indonesia tidak juga maju secara signifikan. Dengan begitu, warga Indonesia dapat lebih memiliki harapan pada pendidikan Indonesia.

Jelas, pencapaian pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Sampai sekarang, pendidikan Indonesia masih berada di rangking terbawah dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Menurut Laporan Learning Curve, Indeks Kemampuan Kognitif dan Pencapaian Pendidikan (Pearson, 2014), pendidikan Indonesia berada pada tingkat 40, di bawah Turki (34), Thailand (35), Kolombia (36), Argentina (37), Brazil (38), dan Meksiko (39). Bandingkan dengan Korea Selatan (1), Jepang (2), Singapura (3), Hongkong (4), Inggris (6), AS (14).

Melihat kenyataan yang tidak menyenangkan ini, berbagai upaya mesti dilakukan. Karena itu pemikiran dan pembicaraan tentang masalah pendidikan Indonesia tetap penting dan perlu dilakukan setiap dan seluruh pemangku kepentingan (stake holders).

Salah satu rangkaian pemikiran penting yang kontributif bagi usaha memajukan pendidikan Indonesia dituangkan H.A.R. Tilaar dalam buku terakhirnya, Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (Jakarta: Kompas, 2015). Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan Dies Natalis ke 51 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerjasama dengan Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), karya ini diluncurkan lewat diskusi publik dengan pembicara Sri-Edi Swasono, gurubesar ekonomi UI; Dja’ali, Rektor UNJ; dan penulis Resonansi ini.

Teoritis untuk Indonesia membahas sejumlah masalah mendasar dalam pendidikan Indonesia khususnya, yaitu: pertama, apakah pedagogik teoritis atau ilmu pendidikan teoritis itu; kedua, ilmu adalah universal, namun apakah ada ilmu pendidikan yang khas Indonesia.

Dengan ‘panduan’ pertanyaan itu, bagi Tilaar, masalah mendasar mengenai pendidikan mencakup: Hakikat Pedagogik (Ilmu Pendidikan) sebagai Ilmu Praksis; Pedagogik Teoritis dan Filsafat Indonesia; Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia; Proses Pendidikan yang Menghamba kepada Kepentingan Perkembangan Peserta Didik yang Merdeka; Tujuan Pendidikan Nasional; Guru Indonesia sebagai Pamong; Proses Belajar yang Mengembangkan Kemerdekaan Peserta Didik; Mengembangkan Kreativitas Manusia Indonesia; dan Arah Pendidikan Nasional Menyongsong Indonesia Emas 2045.

Kenapa pedagogik? Menurut Tilaar, gurubesar emeritus UNJ, pengalaman dia setelah mendapatkan pendidikan profesional sebagai guru lebih dari 20 tahun dengan pengalaman kerja lebih dari 60 tahun menimbulkan keresahan. Kenapa? Karena ‘ilmu pendidikan Indonesia sebenarnya belum lahir. Kebanyakan referensi ilmu pendidikan Indonesia [masih] berasal dari asing khususnya dari Barat”.

Lebih jauh, Tilaar memandang pedagogik teoretis sebagai bentuk filsafat terapan memiliki sifat spesifik sebagai ilmu praksis. Dengan praksis pendidikan sesorang dapat dibangkitkan kesadarannya tentang kemerdekaan yang dia miliki, yang kemudian wajib dia kembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Tilaar, guru besar emeritus berusia 83 tahun (lahir 1932), adalah salah satu di antara sedikit pengkaji dan praktisi pendidikan yang masih sangat aktif dan prolifik menulis. Selain Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (2015) yang merupakan karya mutakhirnya, dia telah menulis 28 buku dan 21 buklet tentang pendidikan. Belum lagi makalah dan artikel.

Tilaar adalah salah satu dari sedikit pemikir dan penggerak pedagogik kritis di Indonesia bersama figur semacam Mansour Faqih dan Mochtar Buchori-yang keduanya telah almarhum. Pemikiran pendidikan dan pedagogik kritis tokoh-tokoh ini secara tipikal melihat pendidikan dalam kaitan dengan politik, sosial, budaya, filsafat, atau agama.

Pendidikan lebih daripada sekadar teknologi pendidikan atau persiapan pengajaran dan pembelajaran di kelas. Sayangnya, banyak kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan -termasuk LPTK, perguruan/fakultas yang menghasilkan guru- cenderung terbelenggu masalah teknis administratif yang bukan tidak menyita waktu. Akibatnya, para guru dan belakangan juga dosen semakin tidak punya kesempatan meningkatkan penguasaan substansi untuk mereka sampaikan kepada peserta didik.

Keadaan ini kian parah dalam dasawarsa terakhir ketika dunia pendidikan Indonesia sejak dari TK sampai perguruan tinggi mengalami proses birokratisasi terus-menerus. Para guru dan dosen sibuk dalam berbagai usaha mendapatkan sertifikasi atau mempertahankannya. Mereka menghabiskan waktu berhari-hari mengisi borang semacam penilaian kinerja guru (PKG) atau beban kerja dosen (BKD) dengan ketentuan dan poin yang sering tidak logis.

Jika mereka tidak mampu atau salah mengisi poin tertentu dalam borang semacam PKG atau BKD, bukan tidak sering mereka mendapat intimidasi dari atasan atau inspektorat kementerian. Mereka dengan mudah diancam sebagai 'melakukan perbuatan melawan hukum' atau 'harus mengembalikan tunjangan sertifikasi yang telah mereka terima'.

Karena itu, Tilaar mencatat, dunia pendidikan Indonesia terlalu dikuasai struktur kekuasaan. Akibatnya, pemikiran dan ilmu pendidikan serta ilmu pedagogik tidak dapat berkembang-atau bahkan disebut telah mati. Meminjam kerangka Raymond Williams, pemikir asal Inggris yang sangat berpengaruh pada paruh kedua abad ke-20, pedagogik di Indonesia berada dalam kondisi budaya dominan-di bawah kekuasaan yang membelenggu.

Otonomi, kebebasan, dan kemerdekaan nyaris tidak ada lagi dalam dunia pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya menjadi sekadar unit pelaksana teknis (UPT) kementerian yang terkait dengan pendidikan. Mereka menjadi sekadar melaksanakan kebijakan para birokrat dan administrator pendidikan, yang sering mengeluarkan ketentuan dan kebijakan salah kaprah, menyesatkan, dan menjerumuskan pendidikan ke lubuk tanpa dasar.

Singkatnya, dalam pandangan Tilaar, lenyapnya kebebasan dan kemerdekaan peserta didik karena disebabkan dua hal pokok, pertama, sekali lagi pendidikan terlalu banyak dicampuri politik praktis. Berbagai kekuatan politik ingin melihat hasil secara cepat dari sistem pendidikannya karena terkait anggaran.

Kedua, pendidikan terlalu dipengaruhi pandangan ekonomi yang melihat tujuan dan hasil pendidikan untuk jangka pendek. Pendidikan dipandang sebagai investasi untuk memperoleh profit dengan cepat; pendidikan bukan dilihat sebagai investasi untuk pengembangan kapital budaya dan kapital sosial.

Jika pendidikan Indonesia dapat mencapai kemajuan-tidak hanya transfer ilmu, tapi juga melahirkan warga Indonesia yang merdeka mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan harkat dirinya-perlu perubahan mendasar dan fundamental. Meminjam kerangka AP Hargreaves & DL Shirley dalam The Global Fourth Way (2012), perubahan radikal perlu dilakukan dalam empat hal.

Pertama, pembatasan tugas mengajar bagi guru (dan juga dosen). Mereka sebaiknya belajar lebih banyak dan lebih mendalam, termasuk dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, guru dan dosen tidak hanya kian berilmu, tapi juga dapat semakin efektif dalam proses pembelajaran.

Kedua, transformasi organisasi guru (dan juga dosen) untuk dapat lebih efektif memperjuangkan peningkatan penghargaan pada profesi guru dan dosen. Asosiasi guru dan dosen juga mesti meningkatkan perannya dalam peningkatan kondisi ekonomi dan kesejahteraan, sekaligus juga sebagai lokus peningkatan keilmuan dan profesionalitas para anggotanya.

Ketiga, peningkatan penguasaan teknologi oleh para guru dan dosen dalam rangka meningkatkan efektivitas pembelajaran. Dengan memanfaatkan dunia maya melalui e-learning, misalnya, para peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan sekaligus memecahkan berbagai hal yang mereka hadapi.

Keempat, pemberdayaan peran guru dan dosen sebagai dinamo perubahan. Mereka tidak hanya merupakan guru dan dosen profesional, tetapi juga intelektual yang menunjukkan jalan ke arah kemajuan peserta didik dan masyarakat.

Keempat rekomendasi ini tidak mudah diwujudkan, apalagi di tengah birokratisasi pendidikan yang terus berlangsung. Namun, sesulit apa pun keadaan, mereka yang cinta pada pendidikan Indonesia tidak boleh pernah menyerah.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan pernah dimuat dalam Kolom Resonansi Harian Republika dalam dua edisi, 7 & 21 Mei 2015