Partai Kehilangan Mahkota

Partai Kehilangan Mahkota

Oleh: Gun Gun Heryanto

MENARIK mencermati berita utama Kompas (12/7) “Yudhoyono Menjamin Anas”. Selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), Susilo Bambang Yudhoyono memandang penting mengeluarkan pernyataan yang menggaransi Anas Urbaningrum untuk tetap menjadi nahkoda partai. Konteks pesan Yudhoyono tersebut dapat kita posisikan sebagai peredam konflik internal antar faksi sekaligus berupaya meminimalisir efek turbulensi politik PD pasca “nyanyian ” Nazaruddin.

Menciderai Kekitaan

Dalam jangka pendek, sinyal SBY bahwa tidak akan ada kongres luar biasa (KLB), sepertinya masih akan didengar para elit Demokrat. Kita tentu memahami bahwa hingga sekarang, Yudhoyono masih berada di puncak hirarki kekuasaan partai. Dalam tradisi partai yang menyandarkan diri pada kekuatan figur sentral, dinamika politik yang terbangun biasanya bermuara pada gejala groupthink.

Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) menyebutkan salah satu ciri utama gejala groupthink ialah para kader organisasi akan menghindari pemikiran berlawanan dengan elit utamanya. Geneologi PD  memosisikan SBY sebagai figur utama sekaligus pusat pergerakan sistem organisasi. Sekeras apapun upaya faksi non-Anas menggelindingkan isu KLB, tanpa restu SBY, hal tersebut hanya akan membentuk gelembung air sabun.

Namun, dalam jangka panjang pernyataan Yudhoyono pelan tapi pasti akan kehilangan koherensi karakterologis (characterological coherency). Hal ini ditandai dengan kian melemahnya kepercayaan publik di level konstituen dan publik eksternal partai pada karakter-karakter utama Yudhoyono sebagai pemimpin.

Konflik antarfaksi seusai kongres PD  tahun lalu, mengalami fase ‘inkubasi’ saat skandal Nazaruddin terkuak. Perang terbuka pun aktual di media massa karena proses pengendalian konflik terhalang oleh kepentingan elit Demokrat yang berbeda-beda. Konsolidasi internal tak mampu menyolidkan lagi gerak ritmis para elit sehingga konflik menjadi eskalatif dan terbuka di mana-mana.

Partai Juara?

Tak dimungkiri, PD saat ini ibarat sang juara yang kehilangan mahkota. Setelah memenangi Pemilu 2009 dengan meraih 20,85 persen suara pemilih, Demokrat ternyata tak mampu mentransformasikan kemenangannya untuk membuat perubahan nyata.

Jajak pendapat Kompas, Senin (4/7/2011) menunjukkan kepercayaan publik terhadap Demokrat menurun drastis. Jika pemilu dilaksanakan sekarang hanya 35,6 persen pemilih Demokrat yang berterus terang akan tetap kembali memilihnya. Bahkan 86,8 persen responden yakin partai ini tidak bebas dari korupsi.  Mahkota bagi partai pemenang pemilu adalah kepercayaan, kewibawaan dan kredibilitas. Sebuah partai yang memenangi Pemilu tetapi tak lagi punya ketiga hal tersebut sama saja dengan juara tanpa mahkota.

Komentar Marzuki Ali (Kompas,12/7/2011) yang menyatakan bahwa keberhasilan Demokrat pada Pemilu 2014 ditentukan tiga pihak yakni Yudhoyono selaku pemimpin pemerintahan, dirinya di DPR dan Anas dalam mengonsolidasikan partai, menjadi cermin elit Demokrat yang menyederhanakan masalah. Marzuki mungkin lupa, faktor rakyat atau konstituen dalam membesarkan partai. Tanpa riset ilmiah sekalipun teraba bahwa rakyat kini tak hanya gelisah tetapi kecewa atas perkembangan penyelsaian kasus Nazaruddin.

Tak ada pilihan bagi Demokrat, selain mengoptimalkan perbaikan-perbaikan ke depan. Pertama, Demokrat harus tegas memecat kader-kader yang terlibat korupsi.  Agenda pemberesihan para koruptor di tubuh demokrat seharusnya menjadi agenda utama dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang digelar 23-25 Juli ini.

Kedua, PD  harus menunjukkan political will untuk menuntaskan kasus yang menjadi sorotan utama publik. Misalnya turut menunjukkan tanggungjawab untuk menghadirkan Nazaruddin di Indonesia. Jika gagal, maka publik akan selalu menghubungkan tindakan korupsi yang dituduhkan terhadap Nazaruddin dengan partai dan para elit PD lainnya. Sikap tegas Demokrat juga harus tergambar dalam penyelsaian kasus pemalsuan surat yang melibatkan Andi Nurpati. Sangat beresiko bagi Demokrat jika menjadi bungker orang-orang bermasalah.

Ketiga, dalam konteks kohesivitas organasasi perlu adanya penataan ulang dalam proses distribusi dan alokasi sumberdaya kader. Selain memiliki operator politik handal yang diperlukan dalam manajemen konflik seperti sekarang, perlu juga memperbanyak kader yang bekerja nyata untuk rakyat di luar masa Pemilu.

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 22 Juli 2011
Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute