Parpol dan Gejala Retrogresi Politik

Parpol dan Gejala Retrogresi Politik

Oleh: Gun Gun Heryanto

FENOMENA saling lempar kursi di Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi contoh masih buruknya kanalisasi konflik di internal partai politik. Ekspresi perbedaan dan eskalasi persaingan dalam perebutan jabatan Ketua Umum PAN 2020-2025 sangat disayangkan ternoda dengan ulah sebagian partisipan kongres yang memilih cara-cara yang tidak menghormati politik sebagai perilaku berkeadaban.

Tentu, kritik pada perilaku politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai keluhuran moral etis tidak hanya mengarah pada Kongres PAN, tetapi juga pada banyak praktik politikus di parpol yang kian menguatkan gejala retrogresi politik. Gejala retrogresi ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas berpolitik yang diakibatkan hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban.

Faktor penyebab

Kita bisa identifikasi banyak faktor yang menyumbang menguatnya gejala retrogresi politik dalam pengelolaan partai politik. Pertama, memburuknya penstrukturan adaptif di birokrasi parpol. Penstrukturan adaptif dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip oleh West dan Turner dalam buku Introducing Communication Theory (2008) ialah bagaimana institusi sosial seperti organisasi, termasuk parpol diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan, melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.

Struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat mengubah struktur yang telah ada dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan yang baru. Dengan demikian, seharusnya aturan main organisasi di atas selera-selera individual.

Realitasnya ialah partai sebagai entitas publik telah berubah menjadi sangat berselera personal. Ketergantungan pada sosok utama inilah yang berikutnya menyebabkan kuatnya cengkeraman groupthink! Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya, Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982), digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering kali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil.

Begitu kuatnya pengaruh sosok dalam organisasi dan menyebabkan seluruh mekanisme kepartaian akan sangat ditentukan oleh seseorang yang dengan sendirinya menjadi veto player di partai. Semakin lama dan semakin menguat gejala ini dibiarkan, sudah pasti menyebabkan keseragaman berpikir dan berperilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).

Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya yang berjudul The Signs of Cognitive, Affiliative, and Egosentric Constraints (1998), batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak dari kelompoknya. Warga partai terbelah menjadi dua, kelompok superior dan kelompok inferior.

Kelompok yang inferior akan enggan berkreasi, berinovasi, bahkan mengeluarkan gagasan mereka yang berbeda dengan elite utamanya karena khawatir dianggap atau diidentifikasi sebagai kelompok penyimpang. Dampaknya ialah partai kehilangan potensinya untuk terus memproduksi calon pemimpin yang memiliki kapasitas dan kecakapan sosial, organisasional, dan intelektual.

Jika parpol berubah dari entitas publik menjadi mesin oligarki, penyakit bawaannya ialah korupsi dan sejumlah praktik lainnya yang memadamkan muruah partai sebagai sarana memperjuangan kepentingan publik. Penstrukturan adaptif menempatkan orang, siapa pun dia, di bawah aturan organisasi. Jika kondisi sebaliknya yang terjadi, parpol tak akan pernah bisa membangun budaya politik (political culture) yang baik.

Kedua, buruknya komunikasi politik dan kanalisasi konflik. Partai merupakan perserikatan banyak orang dengan latar belakang kepentingan, gaya, dan cara berbeda-beda. Oleh karenanya, seluruh fungsi-fungsi partai akan berjalan optimal jika mampu mengefektifkan komunikasi politik sesama mereka. Juga, sekaligus wajib dibiasakannya kanalisasi konflik.

Meminjam asumsi Helmke dan Levitsky dalam tulisannya berjudul Informal Institutions and Comparative politics: A Research Agenda (2004), akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola melengkapi (complementary), mengakomodasi (accommodating), menyaingi (competing), dan menggantikan (substitutive).

Karena pola hubungan politik tak pernah bersifat linear dan selalu banyak suasana kompetitif yang memungkinkan terjadinya gesekan, komunikasi politik dalam mengatasi konflik harus diperkuat dalam mekanisme organisasi.

Konflik itu merupakan hal lumrah adanya dalam interaksi, tetapi sesungguhnya konflik selalu memiliki dua sisi. Sisi negatif, yakni pertentangan, gesekan, beradu kekuat­an yang jika tidak mampu me­ngendalikannya di jalur yang tepat bisa merusak. Sisi lainnya, konflik bisa positif karena biasanya memantik suasana kompetitif.

Dalam kasus Kongres PAN, kedua sisi konflik tersebut menunjukkan realitasnya. Wajah positifnya, PAN mampu mengha­dirkan suasana demokrasi internal karena adanya persaingan ketat antara para pendukung Zulkifli Hasan dengan para pendukung Mulfachri Harahap-Hanafi Rais.

Sudah lama PAN diidentikkan dengan sosok Amien Rais. Di beberapa kongres sebelumnya, pengaruh Amien Rais sangat signifikan. Tidak ada Ketua Umum PAN yang menjadi nakhoda partai dua periode. Amien Rais, Sutrisno Bachir, dan Hatta Radjasa selalu satu periode.

Dengan demikian, saat kongres semua perhatian fokus pada dinamika internal PAN, mengingat Mulfachri Harahap-Hanafi Rais mengantongi kekuatan rujukan (reference power) dari sosok Amien Rais. Ternyata yang kembali terpilih ialah Zulkifli Hasan. Artinya, PAN memiliki momentum untuk benar-benar bertransformasi menjadi partai modern yang tidak semata-mata bergantung pada satu figur Amien Rais saja.

Di sisi lain, masalahnya ialah perbedaan dan polarisasi tajam belum bisa diselesaikan dengan cara-cara yang elegan. Ekspresi kemarahan dan ketidakpuasan masih berbalut cara-cara yang tidak pantas ditiru oleh generasi politik setelahnya. Seandainya partai bisa menganalisasi konflik internalnya dengan lebih baik, tentu wajah partai politik akan terus membaik dalam persepsi publik.

Ketiga, retrogresi juga terjadi karena sistem kontrol yang lemah dalam mener­tibkan perilaku keliru dari elite maupun kader mereka. Partai jangan justru menjadi bunker atau tempat sembunyi politisi bermasalah. Kasus operasi tangkap tangan KPK terkait kader parpol, misalnya, menjadi contoh seberapa memiliki komitmen antikorupsi parpol yang bersangkutan. Bagaimana komitmen parpol dalam memosisikan hukum sebagai aturan main bersama. Jika parpol gagal mendisiplinkan kader bermasalah atau bahkan parpol menjadi pelindung orang bermasalah, di situlah persoalan retrogresi politik terkonfirmasi.

Resesi demokrasi

Laporan The Economist intelligence Unit menyimpulkan bahwa telah terjadi kemunduran demokrasi di dunia sejak 2008. Meminjam istilah dari Alberto Olvera dalam tulisannya The Elusive Democrac-Political Parties, Democratic Institutions and Civil Society in Mexico/Latin American (2010) saat menggambarkan kondisi demokrasi di Meksiko, saat ini sedang terjadi resesi demokrasi (democratic decline).

Kata lain yang pas menggambarkan gejala itu ialah istilah elusive democracy. Demokrasi elusif merupakan penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematang­an budaya politik, sehingga demokrasi tidak membawa panji-panji demokrasi.

Kita bisa merasakan terjadinya penurunan kualitas demokrasi yang salah satunya disumbang oleh praktik buruk berpartai. Mengapa sangat penting memberi catatan untuk partai politik? Hal ini disebabkan karena hampir seluruh posisi dan kebijakan strategis melibatkan partai politik. Dari pengisian jabatan-jabatan penting di eksekutif, BUMN, komisi-komisi yang jumlahnya banyak sekali di negeri ini, nyaris mustahil tanpa ada irisan dengan partai politik.

Partai bisa memilih sekian banyak orang yang akan duduk sebagai komisioner badan atau lembaga yang melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Partai juga bisa merekomendasikan sejumlah nama menjadi menteri maupun wakil menteri. Pun partai bisa membuat dan memutuskan UU melalui wakil-wakil mereka di DPR.

Posisi penting itulah yang menyebabkan partai politik wajib bertanggung jawab dalam situasi resesi demokrasi yang terjadi saat ini. Gejala adanya ketua umum partai yang ditangkap KPK, para politikus bahkan senior dari mereka yang turut secara sengaja melawan atau menghalang-halangi proses penegakan hukum menjadi cermin bahwa resesi demokrasi terjadi.

Jika kita tahu parpol masih menjadi masalah dalam praktik demokrasi kita, para politikus di parpol harus berbenah. Jangan biarkan resesi demokrasi menjadi smoldering crisis, yakni para pelaku tahu dan mengidentifikasi ada masalah, hanya membiarkan masalah tersebut hingga ­akhirnya meledak menjadi krisis.

Perilaku partai politik harus berbenah untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia. Tata kelola organisasi partai politik dibenahi melalui aturan dan standar modern. Kaderisasi harus berjalan melalui tahapan secara berkelanjutan, kontrol atas potensi penyimpangan dioptimalkan dan membangun identitas (party identity), serta budaya partai (party culture) yang jelas.

Partai wajib hadir mengonstruksi narasi dalam isu-isu publik yang strategis serta mengartikulasikan ragam gagasan dan program yang dapat dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat. Itulah esensi partai sebagai entitas publik, bukan entitas milik pribadi atau korporasi.

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta. Artikel dimuat dalam Kolom Pakar Media Indonesia pada Senin 17 Februari 2020. Lihat https://mediaindonesia.com/read/detail/290460-parpol-dan-gejala-retrogresi-politik