Pancasila, Moderasi Indonesia

Pancasila, Moderasi Indonesia

Achmad Ubaedillah & Fokky Fuad Wasitaatmadja

 

SEBAGAI sebuah negara bangsa kebertahanan Indonesia hingga hari ini tidak lepas dari keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, yang secara substantif memiliki nilai dan ajaran moderat dan fleksibel. Moderasi Pancasila dapat dilihat dari kelima silanya yang saling mengikat. Kesalingterkaitan antara sila-sila Pancasila inilah yang menjadikannya tidak kaku untuk kontekstualisasikan sejalan dengan kebutuhan manusia Indonesia setiap zamannya.

Ibarat sebuah kitab suci, Pancasila begitu luwes dan aktual sepanjang sejarah perubahan global. Saatnya Pancasila benar-benar dijadikan sebagai landasan bersama semua anak bangsa untuk membangun peradaban nasional dan pertumbuhan global, terutama di bidang ekonomi dan kesejahteraan.

 

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat memuat lima fondasi utama dalam berbangsa, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai musyawarah, dan nilai keadilan sosial. Kelima nilai dasar Pancasila tersebut membentuk sebuah system, baik secara ontologi, epsitemologi, maupun aksiologi. Pancasila secara in-concreto terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi ia secara abstrak terdapat dalam sifat dan jiwa bangsa. (Notonagoro, 1988).

Secara ontologi, Pancasila digali dari hakikat atau makna yang paling mendasar tentang subjek manusia. Nilai ketuhanan dan kemanusiaan merupakan ontologi Pancasila. Manusia yang hendak diwujudkan ialah manusia bertuhan dengan tetap memuliakan manusia lainnya secara penuh keadaban. Bahwa Pancasila, walau bukan agama, ia meletakkan sifat paling mendasar bagi manusia, yaitu rasa bertuhan di dalam dirinya.

Manusia Pancasila ialah pribadi yang mengakui eksistensi Tuhan dan meletakkannya dalam segenap perbuatan dan perilakunya. Secara teologis Hamka menjelaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa ialah sikap dan pandangan yang meletakkan kehendak Tuhan di atas kehendak dan kuasa manusia, dan nilai ini menjadi urat tunggang Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber pokok dari segenap sila Pancasila. (Hamka, 1952; Yusran, 2001)

Pandangan ini tentu saja sejalan dengan prinsip moderasi dalam agama (baca Islam) yang meletakkan keseimbangan antara usaha manusia dan ketentuan Yang Mahakuasa. Kemajuan ilmu pengetahun tidak menjadikan manusia Pancasila melupakan takdirnya sebagai mahluk Tuhan. Ilmu pengetahuan harus dicari dan dijadikan pedoman hidup sehingga menjadi mahluk yang rasional. Namun, ia tetap menyadari rasionalitas ilmu pengetahuan tetaplah memiliki keterbatasan.

Manusia bertuhan bukanlah manusia yang melupakan dunianya, ia tetap manusia yang dengan jiwa bertuhan digunakannya untuk memuliakan manusia lainnya dengan penuh keadaban. Bahwa manusia Pancasila tidaklah berperilaku eksklusif, tetapi inklusif memberi kemanfaatan bagi manusia lainnya. Manusia bertuhan ialah manusia yang mampu memberi kemanfaatan bagi sesama umat manusia. Inilah ontologi Filsafat Pancasila; sosok manusia bertuhan yang tetap memanusiakan manusia lainnya, memberi manfaat bagi sesamanya. Bagi manusia Pancasila tidak boleh ada yang bertentangan dengan nilai ketuhanan, sikap anti-Tuhan dan antiajaran agama. (Darmodihardjo, et.al., 1991)

Sikap individualis dan egois tentu saja bukan sikap moderat. Keduanya ialah turunan dari sikap hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Hidup bersama hendaknya mendayung antara memperjuangkan kepentingan pribadi dan kemaslahatan bersama. Inilah manusia Pancasila beradab.

Secara epistemologi, Pancasila menghadirkan metode dalam kehidupan berbangsa, yaitu persatuan dan musyawarah. Persatuan menyatukan segenap individu manusia ke dalam sebuah semangat komunalitas. Tubuh bukanlah semata memiliki kehendaknya sendiri, ia adalah tubuh komunal, yakni setiap individu merasa bagian dari tubuh lainnya yang membentuk sebuah sistem hidup bersama. Manusia komunal menghilangkan egonya dan mengutamakan persaudaraan di antara para individu yang hidup bersama.

Demokrasi musyawarah menjadi sebuah langkah untuk memecahkan kebuntuan dan problematika yang dihadapi oleh kelompok komunal ini. Persaudaraan dan kebersamaan yang kuat membutuhkan sebuah ruang yang mengutamakan kepentingan bersama dalam wadah musyawarah. Sebuah ruang yang memberikan kemanfaatan bagi sesama individu yang hidup di dalamnya.

Musyawarah dijalankan dengan hikmah memiliki makna bahwa setiap orang menyadari hak dan kewajiban masing-masing. Bahwa demokrasi harus dijalankan dengan kecerdasan (hikmah) dan penuh kebijaksanaan. Demokrasi bukan sekadar berbeda, tetapi bagaimana kita menerima perbedaan dengan cerdas dan bijaksana.

Keadilan sosial (social justice) merupakan aksiologi atau tujuan yang bernilai dari sistem filsafat Pancasila. Keadilan sosial bermakna terciptanya keadilan yang dapat dirasakan oleh setiap warga Indonesia. Bahwa setiap praktik dan perbuatan yang mengakibatkan ketimpangan sosial sangat tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.

Kesejahteraan bukan dimiliki oleh sedikit manusia, tetapi harus dirasakan oleh banyak manusia. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi-musyawarah selalu diarahkan guna pencapaian sebuah kesejahteraan bagi rakyat Indonesia (Latif, 2011). Dalam konteks kekinian, demokrasi politik hendaknya bersanding serasi dengan demokrasi ekonomi. Inilah demokrasi yang berkeadaban, demokrasi dengan roh Pancasila.

 

Pancasila sebagai Metode Moderasi

Pancasila menyatukan setiap individu dalam sebuah ruang bernama Indonesia. Setiap individu yang tinggal di dalam ruang Indonesia menyadari fungsinya masing-masing. Ruang demografi Indonesia menjadikan manusia memahami dirinya bukanlah sebagai makhluk tunggal melainkan sebuah makhluk monopluralis.

Konsep manusia Pancasila merupakan titik moderat dari pertarungan konsep liberalisme yang mengusung ide individualisme versus sosialisme-komunisme yang mengusung ide kolektivisme. Pancasila menghadirkan sebuah gagasan paling moderat yang memuat konsep manusia bertuhan dengan memuliakan manusia lainnya melalui bentuknya yang monopluralis (Kaelan, 2013).

Pancasila tidaklah memberikan kebebasan individual secara mutlak dalam pertarungan pasar bebas. Dalam konsep liberalisme setiap individu dinyatakan bebas dan sederajat sehingga setiap individu dengan kesederajatan ini diharapkan mampu bersaing dan bertarung untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Pada sisi lain konsep kolektivisme tidak memberikan kesempatan bagi individu untuk memiliki sumber hidup. Konsep monopluralisme Pancasila memberikan hak bagi individu untuk memiliki hak atas sumber daya dengan tetap mengutamakan kepentingan publik (Wasitaatmadja, 2017).

Pancasila juga merupakan ruang paling moderat dari pertarungan antara liberalisme-agnostisisme versus ekstremisme agama. Liberalisme yang menghadirkan kebebasan penguasaan sumber daya bertarung melawan ekstremisme agama yang menolak keras gagasan-gagasan kebebasan cara pandang terhadap Tuhan. Bagi kaum ekstremis sosok Tuhan ialah realitas absolut dan manusia tidak memiliki kuasa dan sekadar mengikuti apa yang menjadi kehendak-Nya secara mutlak. Ideologisasi agama bukan hanya ada dalam agama Islam, tetapi juga dalam agama apa pun (Ali, 2009).

Pancasila walau bukan agama, tetapi memberikan sebuah konsep tentang manusia bertuhan. Sosok manusia yang meletakkan Tuhan melekat dalam gerak dinamikanya. Bahwa Tuhan ia bawa dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi tidak dalam konstruksi yang ekstrem. Konsep kemelekatan Tuhan dalam rasa dalam jiwa tetap memberikan ruang bagi inividu manusia untuk berpikir dan berbuat.

Pertemuan dan pertarungan ideologi ekstrem yang berhadapan ini menunjukkan sebuah kesadaran bahwa Pancasila ialah konstruksi falsafah paling logis. Bahwa Pancasila yang syarat atas nilai mendapat momentum yang tepat ditengah keterasingan manusia dalam dunia postmodern yang menghilangkan segenap nilai-nilai kemanusiaan.

Pancasila yang menghadirkan konsep manusia monopluralis ini telah terbukti hingga saat ini masih mampu mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia di tengah beragam ancaman dari pandangan dan gerakan radikal ekstremisme-terorisme lintas negara, narasi politik berbasis identitas kelompok dan keyakinan, hingga paham liberalisme dan ancaman separatisme.

Usia Pancasila tidak terpaut lama dengan kemerdekaan Indonesia. Namun, harus dalam aktualisasi nilai-nilai moderasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih belum optimal. Mengaktualisasikan Pancasila bukanlah hanya kewajiban pemerintah, melainkan tugas bersama, pemerintah dan masyarakat. Inilah jihad kolektif Pancasila semua komponen bangsa karena Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa bukan untuk seseorang atau kelompok tertentu, tapi untuk seluruh bangsa Indonesia.

Pancasila ialah kompas ke mana bangsa ini akan menjadi, yakni sebuah bangsa yang berbudaya, bermartabat dan sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Jika ini telah tercapai, mengglobalkan moderasi Pancasila sudah tiba waktunya. (zm)

 

Achmad Ubaedillah Dosen Fisip Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fokky Fuad Wasitaatmadja Dosen Universitas Al Azhar Indonesia. Artikel keduanya terbit di Media Indonesia, Senin 5 Juni 2023, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/586681/pancasila-moderasi-indonesia