PAN, Kembalilah ke Khitah

PAN, Kembalilah ke Khitah

Oleh: Iding R. Hasan

Tidak ada yang meragukan bahwa Partai Amanat Nasional (PAN) adalah salah satu partai atau bahkan satu-satunya partai di Indonesia yang lahir dari rahim reformasi. Para tokoh pendiri partai ini dengan motor utamanya, Amien Rais, adalah pejuang-pejuang gerakan reformasi yang berupaya menentang politik Orde Baru. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau PAN selalu diidentikkan dengan partai reformis, meski kemudian partai-partai lain pun mengklaim hal yang sama.

Namun sayangnya, partai yang dielu-elukan bakal menjadi partai yang bersinar terang sesuai dengan lambangnya matahari, pada kenyataannya justeru perlahan-lahan meredup, entah terhalang apa. Dalam tiga kali pemilihan umum suara PAN memperlihatkan penurunan. Bukan tidak mungkin PAN akan terus berada dalam grafik penuruan tersebut kalau tidak segera melakukan berbagai pembenahan.

Banyak kalangan yang mencoba menganalisis mengapa partai yang menyuarakan reformasi itu justeru tidak mendapat sambutan yang luas dari masyarakat. Ada beberapa faktor yang kiranya dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, PAN cenderung elitis atau tidak mampu menyentuh lapisan akar rumput (grassroot). Kenyataannya memang konstituten partai ini lebih didominasi kalangan menengah dan kelas terdidik. Gagasan-gagasan yang dilontarkannya pun cenderung susah diterima masyarakat luas sekalipun gagasan itu baik, seperti isu tentang federalisme. Isu ini bahkan kemudian menjadi bumerang politik bagi PAN karena mampu dijadikan “amunisi” politik bagi para pesaingnya untuk menyerang balik PAN dengan telak.

Kedua, PAN tampaknya juga masih gamang untuk menampilkan dirinya sebagai partai yang benar-benar terbuka dan pluralis. Hal ini, misalnya, terlihat dari pengidentikan partai ini dengan Muhammadiyah. PAN seolah tidak bisa melepaskan dirinya dari ikatan tersebut. Sayangnya, kondisi seperti itu justeru menyulitkan partai ini. Ketika beberapa elemen Muhammadiyah merasa tidak terakomodasi di PAN, misalnya, muncullah kekecewaan bahkan berakhir dengan pendirian partai baru, seperti Partai Matahari Bangsa (PMB). Sedikit banyak kelahiran partai ini menggerogoti suara PAN. Sebaliknya, saat PAN terlalu banyak mengakomodasi anasir Muhammadiyah, kelompok yang non-Muhammadiyah kecewa.

Ketiga, strategi koalisi PAN dengan pemerintah dalam derajat tertentu menurunkan citra reformisnya. Alasan para petinggi partai bahwa PAN bisa tetap berjuang di dalam sistem seraya merawat sikap kekritisan pada pemerintah kenyataannya tidak terlihat. PAN bahkan kemudian, seperti halnya partai-partai koalisi lain larut ke dalam pragmatisme politik. Tentu bagi partai yang diidentikkan sebagai partai reformis kecenderungan semacam itu dipandang sebagai hal yang sangat mengecewakan bahkan menodai citra reformisnya.

Strategi ini juga sebenarnya “menyalahi” khitah PAN ketika partai ini didirikan pertama kali. Salah satu isi khitah tersebut adalah bahwa saat PAN tidak memperoleh kepercayaan rakyat untuk menjadi partai yang berkuasa (the ruling party), maka pilihannya adalah menjadi partai oposisi. Pilihan ini diambil agar PAN bisa tetap kritis kepada pemerintahan tanpa ada ganjalan apapun. Kalau PAN berada dalam jaringan kekuasaan seperti yang dipilihnya sekarang, bagaimana mungkin PAN bisa tetap kritis.

Memanggul nama reformis memang merupakan beban berat bagi PAN, tetapi sekaligus menjadi tantangan yang mesti ditaklukkannya. Oleh karena itu, PAN mau tidak mau, harus tetap berada dalam koridor reformasi yang telah digariskannya. Dengan kata lain, PAN harus kembali lagi kepada khitah reformasi yang pernah dicanangkan pada saat pendeklarasiannya, karena PAN sekarang sudah memperlihatkan gejala “penyimpangan”. Di antara khitah itu adalah bahwa PAN harus tetap menjadi partai yang benar-benar terbuka dan pluralis dalam makna yang sebenarnya; kalau kalah dalam pemilu berkomitmen untuk menjadi partai oposisi. Inilah sebenarnya ideologi politik PAN yang harus tetap dipertahankan sehingga akan menjadi faktor pembeda dari partai-partai lain.

Di negara-negara lain, sebuah partai politik akan berusaha menampilkan ideologi politiknya yang benar-benar berbeda dengan partai lain sehingga masyarakat tidak kebingungan saat memberikan pilihan. Di negara-negara Barat, misalnya, partai-partai yang cendrung pro pasar bebas akan diidentikkan dengan partai liberal sedangkan yang berorientasi sosial kuat cenderung diidentikkan dengan partai buruh.

Dalam konteks Indonesia hal seperti ini memang belum populer. Hampir semua partai memperlihatkan kecenderungan yang sama kalau tidak boleh dikatan ikut-ikutan. Ketika PAN menyebutkan dirinya sebagai partai reformis, maka partai-partai lain, bahkan partai yang telah “bergelimang dosa” Orba pun, menyebut dirinya partai reformis. Akibatnya, masyarakat menjadi kebingungan untuk memilih mana partai yang benar-benar reformis.

Dalam ceruk inilah sesungguhnya PAN harus tetap istiqamah untuk menampilkan dirinya sebagai partai reformis sejati. Godaan-godaan politik yang bersifat jangka pendek, seperti pragmatisme kekuasaan seyogianya harus mampu dienyahkan. Kalau tidak PAN akan dipandang sama saja dengan partai lain.

Kiranya masalah inilah yang lebih penting dipertimbangkan PAN ketimbang sekadar memilih ketua umum pada kongres ketiganya ini. []

 

*Artikel ini dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu 09 Januari 2010

*Iding R. Hasan adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, dan Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.