Pakistani-Afghanistani

Pakistani-Afghanistani

Maraknya 'bom buku' dan juga berbagai bentuk kekerasan hari-hari ini di Tanah Air mengingatkan orang pada 'Pakistanisasi'. Inilah istilah baru yang kian populer di kalangan media massa yang mengacu pada keadaan di Pakistan, di mana pemerintah gagal menegakkan hukum dan ketertiban.

Apa yang terjadi adalah terus berlangsungnya berbagai bentuk kekerasan yang tidak dapat dihentikan pemerintah. Akibatnya, Pakistan menjadi negara gagal (failed states), yaitu negara yang tidak mampu melindungi warga negaranya dari berbagai bentuk kekerasan yang mengorbankan banyak nyawa.

Hampir setiap hari dan setiap kekerasan melanda Pakistan; mulai dari bom bunuh diri di masjid, di pasar, sampai di pinggir jalan. Pengeboman itu umumnya berkaitan dengan konflik politik dan komunal di antara berbagai pihak. Pakistan sejak waktu lama bukan hanya tidak stabil secara politik, melainkan juga sangat rentan dengan konflik sektarianisme.

Ada konflik dan kekerasan antara Suni lawan Syiah; Suni lawan Ahmadiyah; kaum Suni Muhajir yang pindah dari India pada waktu partisi 1947 lawan Suni 'penduduk asli' Pakistan. Juga, ada konflik antarkelas di antara mereka yang berpunya dengan mereka yang miskin.

Lebih celaka lagi, Pakistan menjadi kawasan yang selalu terimbas konflik dan perang di negara tetangganya, Afghanistan, sejak masa pendudukan dan perlawanan terhadap Uni Soviet pada 1980-an hingga sekarang. Kedamaian hanya berlangsung singkat di Afghanistan. Naiknya Taliban ke dalam kekuasaan menimbulkan konflik dan kekerasan baru, dan puncaknya adalah AS serta sekutu menyerbu Afghanistan pasca-9/11/2001 karena dianggap sebagai 'pusat' kelompok teroris Alqaidah yang melakukan serangan ke World Trade Center, New York, dan markas Pentagon, Virginia, AS.

'Afghanistanisasi' memang tidak sekompleks dan serumit 'Pakistanisasi' yang melibatkan pertentangan dan konflik sektarian yang amat kompleks. 'Afghanistanisasi' kini lebih terkait dengan konflik antara pemerintahan Hamid Karzai yang didukung AS dan sekutu pada satu pihak melawan kekuatan Taliban yang terus bertahan. Pihak pertama tidak mampu menamatkan perlawanan 'sisa-sisa' Taliban dan sekaligus gagal menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban. Karena itu, Afghanistan-sama dengan Pakistan-berlanjut menjadi negara gagal.

Indonesia memiliki bahaya laten besar dalam komunalisme dan sektarianisme. Ini karena keragaman keagamaan yang jauh lebih kompleks dibandingkan Pakistan dan Afghanistan. Jika di kedua negara itu hampir tidak ada agama lain kecuali Islam, di Indonesia ada enam agama yang diakui negara: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Kompleksitasnya lebih rumit lagi karena juga terdapat aliran dan denominasi di dalam agama-agama itu, khususnya Islam, Kristen, dan Buddha. Perbedaan di antara aliran dan denominasi bisa meningkat dan memunculkan konflik dan kekerasan yang seolah tidak berujung.

Intensitas konflik dan kekerasan sektarianisme itu terlihat meningkat belakangan ini. Ada jaringan dan sel kelompok teroris yang melakukan berbagai pengeboman sejak Bom Bali I pada Oktober 2002, sampai berbagai pengeboman lainnya hingga 'paket bom buku' dan semacamnya yang marak hari-hari ini. Ini mengindikasikan, orang dan kelompok yang gemar meneror masyarakat dengan berbagai bentuk bom masih gentayangan-menimbulkan ketakutan pada orang-orang yang secara eksplisit menjadi target, dan masyarakat luas.

Sementara itu, kekerasan juga masih berlanjut terhadap warga Ahmadiyah. Seolah menjadi bola salju, ada indikasi yang menunjukkan target berikutnya adalah warga Syiah dan LDII yang oleh kalangan tertentu juga dianggap menyimpang. Kedua kelompok terakhir ini mereka anggap sebagai 'duri dalam daging' yang merusak Islam yang harus dicabut sehingga umat Islam bebas dari 'rasa sakit'.

Meningkatnya komunalisme dan sektarianisme yang melibatkan kekerasan amat mengkhawatirkan. Berbagai bentuk tindakan kekerasan sektarianisme seolah tidak bisa dicegah aparat kepolisian. Polri sering dianggap masyarakat bukan hanya tidak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif, melainkan juga represif guna menghentikan berlanjutnya kekerasan yang terjadi dari waktu ke waktu.

Jika Polri dan pemerintah tetap tidak mampu menghentikan berbagai bentuk kekerasan sektarian, bukan tidak mungkin Indonesia terjerumus ke dalam proses 'Pakistanisasi' dan 'Afghanistanisasi'. Karena itu, amat mendesak bagi Polri dan pemerintah mengerahkan berbagai daya untuk tidak membiarkan kekerasan sektarian terus berlanjut. Kita tidak mau Indonesia menjadi negara gagal. Dan sekali Indonesia menjadi negara gagal, bakal amat sulit kembali menjadi 'negara normal' yang mampu menegakkan hukum dan melindungi warga negaranya.

 

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tulisan dimuat pada Harian Republika, 24 Maret 2011.