Pahala Berpolitik

Pahala Berpolitik

Oleh: Dr. K.H. Syamsul Yakin MA,  Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta

Kata politik atau politics,  berasal dari bahasa Yunani ”polis”,  yang berarti kota dan dibatasi pada kajian negara. Bernard Crick dalam, In Defence of Politics, mengatakan “politik adalah politik”. Dalam tulisan ini, arti politik sependapat dengan perkataan Aristoteles dalam The Ethics, yaitu “(sesuatu yang memiliki) kebaikan tertinggi”.

Dalam bahasa Arab, politik disamakan dengan kata siyasah. Kata ini adalah nomina dari verba saasa-yasusu-siyasah. Secara lebih luas siyasah dapat berarti memimpin, memerintah, mengatur, dan mengelola. Makna siyasah dalam konteks ini, sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Bani Israil pernah diatur oleh para Nabi.” (HR. Muslim).

Secara sosio-historis, Nabi SAW pernah mengatur orang-orang Nasrani dan Yahudi di Madinah. Ketika Madinah tumbuh sebagai negara-kota yang maju dan sejahtera di bawah kepemimpinan Nabi SAW, mereka yang bukan Islam mendapat jaminan hak pribadi dan kelompok untuk hidup secara aman, damai, dan merdeka.

Fungsi seorang pemimpin dalam Islam seperti yang Nabi SAW sabdakan, “Pemimpin adalah bayang-bayang Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Thabrani). Terkait ini tak heran kalau Imam Bukhari memasukkan bab tentang imamah dan imarah (kepemimpinan) dalam kitab haditsnya. Hal serupa juga terdapat dalam kitab hadits Imam Muslim.

Begitu  pentingnya politik, sampai-sampai Utsman bin Affan berkata, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah,  “Sungguh, Allah SWT menghilangkan dengan kekuasaan apa yang tidak bisa dihilangkan dengan Alquran.”  Artinya, masalah yang tidak bisa atur oleh Alquran  bisa diatur dengan undang-undang.

Lebih dari itu, kejahatan ekonomi, sosial, budaya dapat diselesaikan oleh seorang pemimpin yang membela rakyat dan berani memberikan hukuman bagi yang melanggar. Begitu juga korupsi, judi, narkoba, dan prostitusi, serta  penyalahgunaan kekuasaan harus ada pemimpin “bertangan besi” yang mengatasinya. Semua ini tidak bisa dihilangkan dengan Alquran.

Inilah pahala berpolitikyang sangat luas dan menyentuh setiap sisi kehidupan masyarakat secara semesta. Maka itu, kata Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, “kekuasaan dan agama adalah saudara kembar”. Bahkan Imam al-Ghazali terlibat dalam persoalan politik pada masa Bani Abbas yang berkuasa secara de jure dan Bani Saljuk yang berkuasa secara de facto.

Sejatinya sejak masa dini dan mulai dari  lingkup yang kecil, Nabi SAW sudah mengajarkan untuk memimpin, memerintah, mengatur, dan mengelola. Misalnya, Nabi SAW bertitah, “Jika ada tiga orang yang bepergian, maka hendaknya salah seorang dari mereka menjadi pemimpin.” (HR. Abu Daud). Apalagi dalam kehidupan sosial yang lebih luas.

Tentu ada pahala yang Allah SWT berikan bagi orang yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memimpin, memerintah, mengatur, dan mengelola suatu masyarakat, baik dalam kepemimpinan formal pemerintahan secara struktural, maupun dalam kepemimpinan informal kemasyarakatan secara kultural.

Jadi, sejatinya berpolitik adalah beramal saleh. Allah SWT berjanji, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. al-Nur/24: 55).

Terakhir, mari mainkan peran politik kita masing-masing. Kalau kita seorang ayah, mari jadilah kepala keluarga yang bertanggung jawab agar keluarga kita jadi tangguh. Sebab kuatnya negara tergantung kuatnya keluarga. Begitu juga kalau kita seorang petani, nelayan, pedagang atau apa saja, mari mainkan peran politik kita untuk negeri tercinta, sesuai dengan profesi masing-masing.

Terbit Selasa, 4 Agustus 2020 di https://republika.co.id/berita/qeiorv374/pahala-berpolitik (sam/mf)