Oposisi Tetap Perlu

Oposisi Tetap Perlu

[caption id="attachment_11066" align="alignleft" width="300"]Iding Rosyidin Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Iding Rosyidin
Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[/caption]

Oleh: Iding Rosyidin

Konstelasi politik Indonesia kini telah berubah. Relasi eksekutif dan legislatif tidak lagi seimbang seperti sebelumnya. Hal ini terjadi seiring keluarnya sejumlah partai politik (parpol) dari barisan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan dengan pemerintah. Setelah PAN dan PPP, sekarang Golkar di bawah nakhoda baru Setya Novanto secara resmi menyatakan diri keluar. Praktis parpol yang masih tersisa di KMP tinggal Gerindra dan PKS.

Sudah tentu pergeseran peta politik di parlemen tersebut membawa perubahan signifikan. Partai-partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) kian kuat dengan penambahan tiga anggota baru. Besar kemungkinan mereka akan lebih solid mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Di satu sisi, situasi semacam itu sangat menguntungkan pemerintah karena hampir pasti program yang diagendakannya tidak akan menemukan kendala berarti. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan energi berlebih demi mengamankan program-program dari adangan parlemen. Di sisi lain, kenyataan tadi tidak dapat dikatakan sehat dalam perspektif demokrasi yang menghendaki check and balance eksektuif dan legislative. Hal itu jelas sulit diwujudkan dengan ketimpangan jumlah yang cukup mencolok antarkedua lembaga. Dampak negatifnya, potensi kesewenang-wenangan bisa muncul dari pemerintah karena minim kontrol dari parlemen. Politik dan kekuasaan cenderung korup manakala tidak ada lembaga pengontrol. Power tends to corrupt and absolute power, corrupt absolutely. Kekhawatiran besar publik saat ini dengan perubahan konstelasi politik tersebut tergodanya dua kekuatan tersisa di tubuh KMP akan bujuk rayu kekuasaan. Kalau sampai terjadi, “kiamat” demokrasi benar-benar terjadi. Parlemen tidak lebih akan menjadi juru stempel atas berbagai kebijakan pemerintah. Suasana politik masa Orde Baru tentu terulang. Maka, publik sangat berharap Gerindra dan PKS tetap akan memerankan diri sebagai partai oposisi sebesar dan jangan tergoda kekuasaan yang menghampiri. Sebenarnya, justru ketika teman-teman pergi demi mengejar kekuasaaan, keduanya harus berani tampil beda. Mereka mesti tetap konsisten dengan pilihan sikap politik awal. Keuntungan Ada beberapa keuntungan politik yang mungkin diraih Gerindra dan PKS andai tetap berada di jalur oposisi. Misalnya, kedua partai tersebut akan menjadi pengimbang kekuasaan betapa pun jumlahnya tidak terlalu besar. Makna dan peran pengeimbang kekuasaan tidak terletak jumlah anggota, namun tinggi kualitas peran yang ditampilkan. Jika benar-benar dilakukan secara serius, pengimbang akan berkontribusi positif terhadap demokrasi itu sendiri. Demokrasi dengan demikian telah dikembalikan pada jati dirinya, sebab tidak ada demokrasi yang berjalan tanpa kontrol. Hanya sistem otoritarianisme dan totalitarianisme yang berlangsung tanpa perlu kontrol lembaga-lembaga lain. Gerindra dan PKS akan dianggap publik sebagai pihak yang memiliki konsistensi politik jika tetap mengambil jalur oposisi. Parpol yang mudah memutar haluan politik, sebaliknya, akan dipandang tidak punya pendirian,mencle-mencle, mudah goyah dan berubah sehingga akan mengikuti arah angin berhembus. Jelas sikap semacam ini tidak disukai, bahkan dipandang contoh buruk. Tidak ada gunanya juga bagi Gerindra dan PKS ikut-ikutan merapat ke pemerintah. Keduanya merupakan parpol yang relatif mandiri dipandang dari segi apa pun sehingga tidak perlu harus bersandar pada pemerintah. Tidak pula keduanya memiliki kasus-kasus hukum yang bisa dibarter dengan perlindungan kekuasaan apabila mereka bersedia ikut ke dalam gerbong pendukung pemerintah. Pendek kata, tidak ada keuntungan politik keduanya. Oleh karena itu, pilihan politik yang paling elegan bagi Gerindra dan PKS sekarang tetap berada di jalur oposisi. Hanya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan secara seksama jika ingin mendapat keuntungan politik sikap tersebut. Di antaranya yang mesti diperhatikan dalam memainkan peran oposisinya harus bijak. Artinya partai oposisi harus melakukan kontrol pada pemerintah sesuai dengan proporsinya. Kontrol dalam bentuk kritik, misalnya, benar-benar harus dilakukan dengan didasarkan pada argumentasi yang kuat dan berbasis data fakta. Asal kritik agar kelihatan berbeda dengan pemerintah, bukanlah sikap tepat dalam beroposisi. Selain itu, cara penyampaian kritik juga sangat penting diperhatikan. Setajam apa pun kritik, jika dilakukan dengan cara yang tepat, tentu akan berkesan baik. Sebaliknya, kritik yang sebetulnya tidak terlalu berarti, tetapi karena disampaikan dengan cara keras atau meledak-ledak, kurang baik. Bukan hanya pemerintah yang tidak suka, bahkan mungkin publik pun tidak akan simpati atas cara penyampaian kritik semacam itu. Jelas itu tidak menguntungkan. Sebaiknya, para anggota partai oposisi di parlemen menghindari cara-cara penyampaian kritik kurang simpatik. Sayang, kadang-kadang ada satu dua anggota yang lebih bersikap nyinyir dalam mengkritik pemerintah. Akibatnya malah tidak menguntungkan. Alih-alih memeroleh simpati publik, yang terjadi malah sebaliknya, antipati. Maka, oposisi harus benar-benar dapat mengambil pelajaran dari tata cara yang benar. Bukan hanya dalam subtansi kritik terhadap pemerintah, tetapi yang tidak kalah penting juga cara penyampainnya. Bagi keduanya, tetap berada di jalur oposisi jadi pilihan bijak dan menguntungkan.

Iding Rosyidin Penulis Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom opini Koran Jakarta, Kamis 26 Mei 2016, juga bisa diakses di http://www.koran-jakarta.com/oposisi-tetap-perlu