Obama, Indonesia, dan Dunia Muslim

Obama, Indonesia, dan Dunia Muslim

 

Oleh Azyumardi Azra

JIKA tidak ada aral melintang, kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia pada 23-25 Maret.

Setelah sempat tertunda-tunda, Obama akhirnya dapat kembali ke negeri di mana ia pernah tinggal selama empat tahun dan mendapatkan pendidikan dasarnya. Obama melakukan semacam ”napak tilas” masa kecilnya di Indonesia. Seperti beberapa kali dia kemukakan, pengalaman Obama kecil (lebih dikenal sebagai Barry) turut memengaruhi pandangan dunia dan sikap politiknya. Karena itu, Obama bukan hanya warga Afro-Amerika pertama sebagai Presiden AS, tetapi juga Presiden AS pertama yang pernah tinggal cukup lama di negeri asing di samping memiliki geneologi keluarga dan lingkungan sosial sangat multikultural dan multireligius.

Apa makna kunjungan Obama, selain hal-hal sentimental tersebut? Satu hal yang sudah pasti, ia bersama Presiden Yudhoyono bakal menandatangani proposal ”Kemitraan Komprehensif” sebagai ”payung besar” kerangka peningkatan kerja sama dalam berbagai bidang di antara AS dan Indonesia. ”Kemitraan Strategis” ini disebut-sebut sebagai ”historis” meski realisasinya tidaklah mudah; dan karena itu tidak perlu pula over-optimistis.

Konsolidasi demokrasi

Banyak kalangan, baik di Indonesia maupun di AS, memandang kunjungan Obama momentum sangat baik untuk penguatan demokrasi lebih lanjut di Indonesia. Dalam berbagai pemberitaan dan analisis tentang kunjungan ”orang nomor satu Amerika” ini hampir selalu dikemukakan, Indonesia dalam dasawarsa terakhir telah menjadi demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS. Dalam perspektif banyak kalangan Indonesia, demokrasi di negeri ini masih dalam proses konsolidasi—dan karena itu— tetap memerlukan penguatan sehingga demokrasi akhirnya menjadi the only game in town.

Memang dalam beberapa kesempatan, Presiden Obama dan juga Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan bahwa Indonesia adalah contoh terjelas di mana demokrasi dapat berjalan seiring dengan Islam. Dengan cara begitu, AS turut meningkatkan postur Indonesia di wilayah Dunia Islam lainnya, di mana AS telah berusaha keras turut mengembangkan demokrasi dengan berbagai cara tanpa hasil memuaskan. Bahkan hingga sekarang ini banyak negara Muslim masih mengalami ”defisit demokrasi”. Adapun di Indonesia, kompatibilitas Islam dengan demokrasi bahkan menghasilkan semacam ”surplus demokrasi”.

Karena itu, bagi banyak kalangan Amerika, demokrasi dan demokratisasi di Indonesia tidak lagi merupakan agenda pokok. Berbagai instansi pemerintahan Amerika dan juga lembaga donor yang pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an sangat aktif dalam program demokrasi, kini mengalihkan program unggulannya kepada bidang lain, seperti pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan, penyelamatan lingkungan, dan semacamnya.

Sementara itu, Presiden Obama terlihat cenderung kehilangan geregetnya dalam demokrasi. Karena itu, dia mendapat kritik dari banyak kalangan di Amerika sendiri, khususnya dari lingkungan Partai Republik, yang memandangnya tidak lagi sungguh-sungguh mengupayakan agenda- agenda yang secara tradisional bersifat ”ideologis” bagi Amerika, seperti penguatan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia (HAM). Dengan tidak lagi ”ngotot” memperjuangkan agenda- agenda seperti ini, Presiden Obama mereka pandang sebagai ”mengesampingkan” peran tradisional strategis Amerika dalam penguatan demokrasi dan HAM di muka bumi.

Memandang gejala ini, Indonesia memang tak perlu berharap banyak kepada AS atau khususnya Presiden Obama dalam penguatan demokrasi. Indonesia sudah dalam tahap mandiri untuk konsolidasi demokrasi; dan ke depan Indonesia tetap harus mengandalkan potensi dan sumber daya lokal guna memapankan demokrasi, yang akhirnya dapat menghasilkan ”indigenisasi” demokrasi di negeri ini.

Menunggu aktualisasi

Dalam konteks realitas Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di Dunia Islam, kunjungan Obama ke Indonesia agaknya tidak lagi terlalu timely—sudah lewat momentumnya. Walau kita juga harus bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Presiden Obama jauh sebelumnya telah mengunjungi Turki pada awal April 2009, dan Mesir pada awal Juni 2009; Dalam kunjungannya di kedua negara ini, Presiden Obama menyampaikan major speeches untuk kaum Muslimin dan Dunia Islam secara keseluruhan.

Apakah Presiden Obama bakal menyampaikan ”pidato utama ketiga” dalam kaitan dengan Dunia Islam dalam kunjungan di Jakarta? Boleh jadi juga, ketika Presiden Obama yang menekankan tema kunjungannya kali sebagai connecting the people—berhubungan [langsung] dengan rakyat. Gagasan connecting the people mengandung niat baik, tetapi tidak secara khas mengacu kepada kaum Muslimin, ormas arus utama Islam Indonesia semacam NU dan Muhammadiyah. Padahal, jika orang bicara tentang ”Islam moderat”, demokrasi, dan modernitas di negeri ini, pasti dia tidak bisa mengabaikan organisasi dan kelompok civil society berbasis Islam.

Jelas Presiden Obama ingin mengembangkan hubungan lebih luas antara AS dan Dunia Muslim berdasarkan ”kepentingan timbal balik dan saling menghargai”. Dan, bahwa Amerika tidak akan pernah dalam keadaan perang dengan Islam; sebaliknya berusaha mendengar baik-baik, menjembatani salah pengertian, dan mencari dasar-dasar bersama. Obama juga menegaskan penghargaannya yang mendalam pada keimanan Islam, yang selama berabad-abad turut membentuk peradaban dunia, termasuk AS sendiri.

Berbarengan dengan itu, atau bahkan lebih awal lagi sejak ia dilantik, Presiden Obama ingin menyelesaikan beberapa masalah yang menjadi ganjalan dalam hubungan AS dengan Dunia Islam. Ini mencakup konflik Palestina-Israel, masih berlanjutnya pendudukan AS dan sekutunya di Afganistan dan Irak. Presiden Obama tampaknya juga menyadari bahwa konflik dan situasi tidak kondusif di ketiga negara ini merupakan faktor penting dalam merebaknya sikap anti-Amerika di Dunia Muslim, termasuk di Indonesia.

Berbagai pernyataan dan langkah Presiden Obama mengindikasikan, ia memiliki iktikad baik dan political will memperbaiki hubungan AS dengan Dunia Muslim. Namun, masyarakat Dunia Muslim khususnya, masih harus menunggu realisasi iktikad baik itu secara konkret. Situasi di ketiga wilayah tersebut belum membaik juga. Israel kian semena-mena. Bahkan, pekan lalu, Israel mempermalukan Wakil Presiden Joe Biden yang ketika berkunjung di Israel, pemerintah negara Zionis malah mengumumkan pembangunan perumahan baru bagi warga Yahudi di atas tanah milik Palestina di Yerusalem. Adapun di Afganistan, Presiden Hamid Karzai belum mampu juga mengendalikan keadaan sehingga Presiden Obama merasa perlu mengirimkan tambahan pasukan. Dan, di Irak, kekerasan juga terus berlanjut, yang membuat negara ini bisa hancur berkeping-keping dalam kekerasan sektarian jika Amerika menarik pasukannya.

Beban dan harapan masyarakat dunia—termasuk Indonesia—di pundak Presiden Obama tidak ringan. Berbagai tantangan dan hambatan dalam negeri sendiri juga tak mudah dia atasi, yang membuat dia tidak bisa juga memberikan perhatian lebih memadai pada urusan internasional. Presiden Obama tampaknya menyadari hal ini sehingga pernah berpikir, menjadi presiden cukup sekali saja. Jika ia serius dengan pikiran semacam itu, sejak sekarang Presiden Obama sepatutnya berusaha lebih keras lagi merealisasikan berbagai ”janji” dan harapan sebelum masa jabatannya dengan cepat berlalu ditelan waktu.

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 19 Maret 2010

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Salah Satu dari Lima Figur Civil Society yang Berdialog dengan Presiden George W Bush, Oktober 2003 di Bali

Â