Neraca Keadilan Ekonomi

Neraca Keadilan Ekonomi

Dani Setiawan

DALAM memformulasi suatu kebijakan pembangunan, dua faktor utama harus dipegang pemerintah. Pertama, pengetahuan yang kokoh atas teori pembangunan yang akan menjadi panduan kebijakan disertai bukti-bukti empiris mengenai pelaksanaan teori ini. Kedua, tujuan-tujuan sosial yang ditetapkan dalam konstitusi negara. Letak dari faktor yang kedua ini amat penting. Menyangkut suatu fundamen dalam melatakkan nilai-nilai utama dari tujuan pembangunan seperti keadilan (justice), ketertiban (order), kemerdekaan atau kebebasan (freedom) serta kemakmuran dan kesejahteraan bersama (common prosperity and welfare).

Berdasarkan pengalaman negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan tidak bisa dimaknai hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dalam pengertian memaksimalkan produksi nasional. Model-model analisis pertumbuhan neoklasik yang menjanjikan manfaat mekanisme tetesan ke bawah (trickle-down mechanism), berbalik menghasilkan tetesan ke atas (trickle-up) hasil-hasil pertumbuhan dan menyebabkan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin hebat. Model ini juga kerap dikritik karena bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa batas.

Formulasi kebijakan pembangunan juga tidak berada dalam ruang hampa, namun disandarkan pada situasi nyata dalam masyarakat terutama adanya ketimpangan dalam struktur sosial. Bagi Indonesia, pengangguran, kemiskinan, kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan serta degradasi lingkungan hidup merupakan lapis utama masalah-masalah sosial yang mendesak untuk dituntaskan, bahkan sebelum pandemi terjadi. Masalah struktural ini tidak boleh diabaikan, bahkan menjadi pijakan utama dalam orientasi pembangunan nasional.

Tengok saja data Susenas 2019, ketimpangan struktur sosial-ekonomi Indonesia menjadi perkara serius. Jumlah penduduk miskin sebesar 9,4%, warga yang rentan 20,6%, kelompok masyarakat yang menuju kelas menengah 48,2%, kelas menengah 21,5%, dan berpendapatan tinggihanya 0,4%. Potret ini menunjukkan kesejahteraan ekonomi di Indonesia hanya dirasakan tak lebih dari 21,9% penduduk lapis paling atas.

Demikian juga dapat dilihat pada struktur pelaku usaha. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2021 lebih dari 64 juta pelaku, usaha mikro sebanyak 98,6%, usaha kecil 1,2%, usaha menengah 0,09%, dan usaha besar hanya 0,01%. Pelaku usaha mikro berada pada struktur paling bawah piramida dan berjuang untuk tetap bertahan di tengah berbagai himpitan.

Di antara kelompok masyarakat miskin Indonesia, sumbangan terbesar berasal dari sektor pertanian dan perikanan. Meskipun sektor pertanian menempati porsi terbesar dari total lapangan kerja utama (28,3%), tetapi kondisinya masih kurang beruntung. Data BPS pada 2020 menyebutkan jumlah rumah tangga miskin di Indonesia 46,30% berasal dari sektor pertanian. Hal ini juga dapat kita lihat dari sumbangan penduduk miskin di perdesaan yang masih lebih besar dari perkotaan dalam satu dekade terakhir. Meskipun terjadi kenaikan nilai tukar petani dan nilai tukar usaha pertanian, tetapi upah riil buruh tani cenderung stagnan.

Tidak jauh berbeda kondisi sektor kelautan dan perikanan. Sekitar 27,54 juta penduduk miskin di Indonesia, 70%-nya berada di wilayah pesisir (BPS, 2021). Penduduk miskin di kawasan pesisir umumnya menggantungkan hidup pada pemanfaatan sumber daya laut dan pantai. Bekerja sebagai nelayan tradisional yang memiliki struktur armada kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil, dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi yang sangat kecil.

Kondisi di atas menunjukkan betapa redistribusi kesejahteraan merupakan mandat utama dari pembangunan agar keadilan sosial dirasakan dalam kenyataan. Cara pemerintah mewujudkan hal ini menjadi kata kunci.

Sejumlah prasyarat mesti disiapkan. Yaitu meningkatnya kapasitas ekonomi rakyat sehingga memiliki kemampuan turut serta membiayai pembangunan. Untuk sampai pada tahap ini, tidak ada cara lain kecuali mempercepat proses redistribusi kesejahteraan secara relatif merata. Dengan demikian, rakyat memiliki daya tawar dan daya dorong yang kuat untuk mengawasi jalannya pembangunan.

Dengan kata lain, pembangunan harus membebaskan rakyat dari (freedom from) kemiskinan ekonomi sekaligus membebaskan rakyat untuk (freedom to) mendapatkan kondisi politik yang demokratis. Satu kondisi yang diciptakan untuk memastikan sumberdaya politik tidak hanya dikuasai oleh segelintir kelompok yang memiliki modal. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, langkah ini membutuhkan kebijakan untuk mendemokratiskan perekonomian nasional. Menutup celah semakin menguatnya konsolidasi modal yang menciptakan oligarki dalam struktur politik dan ekonomi nasional.

Ted Howard dalam bukunya “The Making of a Democratic Economy” (2019) menulis, bahwa membangun ekonomi yang demokratis adalah tentang mendesain ulang institusi dan kegiatan dasar (perusahaan, investasi, pengembangan ekonomi, lapangan kerja, perbankan, penggunaan sumber daya) sehingga fungsi inti ekonomi dirancang untuk melayani kepentingan bersama.

Langkah-langkah ini membawa makna baru pembangunan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Mengarahkan Pemerintah untuk menghadirkan pembangunan Indonesia yang dipenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas publik, mendorong desentralisasi yang lebih luas, dan lebih berpihak pada kondisi lokal masyarakat.

Arah Ekonomi Baru

Pandemi Covid-19 masih berdampak pada instabilitas perekonomian yang diproyeksikan berlangsung hingga 2022. Pertumbuhan ekonomi negara G20 mengalami penurunan selama masa pandemi ini. Tiongkok dan Amerika Serikat hanya mampu tumbuh sebesar 4,9%, Singapura 6,5%, serta Uni Eropa 3,9%, akibat lonjakan pandemi varian Delta pada pertengahan 2021. Meski demikian, perkembangan kasus yang semakin mereda seiring masifnya vaksinasi, membawa optimisme pada percepatan pemulihan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan bisa tumbuh hingga 5,9% pada 2021 dan 4,9% pada 2022 (IMF, 2021). Untuk negara berkembang dan maju pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 6,4% pada 2021 dan 5,1% pada 2022 (IMF, 2021).

Meskipun tren positif pertumbuhan ekonomi global telah dimulai, tetapi masih terdapat ketidakseimbangan pada proses pemulihan ekonomi antara negara maju dan berkembang. Negara maju sudah mulai menunjukkan hasil positif pertumbuhan ekonomi dan normalisasi kebijakan ekonomi. Sedangkan negara-negara berkembang masih berkutat dalam pemulihan kesehatan dan ekonomi yang membutuhkan dukungan stimulus yang besar dari negara.

Selama masa pandemi, penduduk miskin di Indonesia naik 2,75 juta orang dari 24,79 juta per September 2019 menjadi 27,54 juta orang pada Maret 2021. Pandemi juga membuat penduduk miskin menjadi semakin miskin, yang tercermin pada naiknya Indeks Kedalaman Kemiskinan (poverty gap index).

Kesenjangan ekonomi masih jadi pusat pertarungan bagi pembangunan Indonesia ke depan. Meskipun pemerintah saat ini telah melakukan sejumlah langkah-langkah penting untuk mengatasinya. Hal tersebut terlihat dari data gini rasio yang turun dari 0,433 pada 2014 menjadi 0,384 pada Maret 2021. Penduduk miskin Indonesia juga mengalami penurunan menjadi 10,14% pada Maret 2021, turun 0,05% dibandingkan September 2020.

Dukungan akses kredit murah bagi sektor UMKM juga lebih agresif dilakukan. Pemerintah menaikkan plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan menjadi Rp100 juta, dari sebelumnya Rp50 juta. Penyesuaian besaran KUR ini dilakukan untuk meningkatkan porsi pembiayaan UMKM mencapai 30% pada 2024. Proporsi pembiayaan UMKM terhadap total kredit perbankan di Indonesia baru mencapai 18-19% (Kemenkop UKM, 2020). Jumlah ini masih jauh di bawah negara tetangga. Singapura misalnya, rasio pembiayaan bank terhadap UMKM mencapai rata-rata 39%, Malaysia 50%, Thailand 51%, Jepang 66%, dan Korea Selatan 82%.

Pekerjaan rumah pemerintah yang masih lambat dan harus lekas dituntaskan adalah mempercepat target redistribusi akses dan aset atas lahan melalui skema reforma agraria dan perhutanan sosial. Sejalan dengan gerakan memberantas mafia tanah, peyelesaian konflik agraria, pendampingan, kemudahan akses permodalan dan pasar agar lahan yang diberikan menjadi usaha yang produktif dan menghasilkan kesejahteraan.

Pada kawasan pesisir dan pulau kecil, rencana pemerintah untuk meningkatkan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan dan kelautan harus dilakukan secara hati-hati. Pengalaman masa lalu menunjukkan, pendekatan pembangunan yang hanya menekankan pada pencapaian target-target ekonomi, menimbulkan masalah sosial dan kerusakan lingkungan dari ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

Model baru pembangunan di kawasan ini diarahkan untuk menyejahterakan masyarakat serta inovasi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir dan laut. Sebagai negara kepulauan terbesar, Pemerintah Indonesia diharapkan memimpin dalam persoalan ini. Menyusun skema yang komprehensif dalam mencapai target-target pembangunan berkelanjutan di pesisir dan laut. Memeluk dengan erat moralitas ekonomi baru yang memandang laut bukanlah kumpulan benda yang siap dieksploitasi, tetapi merupakan persatuan subjek. Manusia bukanlah penguasa laut, tetapi anggota dari unsur-unsur yang hidup dan tak hidup di dalamnya.

Pengertian ini mengungkapkan suatu pendekatan konsepsional yang dianut konstitusi Indonesia mengenai pembangunan ekonomi nasional. Negara melakukan penataan agar struktur ekonomi nasional dapat dijalankan dengan memegang prinsip kebersamaan, keberlanjutan, serta memastikan agar kegiatan ekonomi menjamin terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (zm)

Penulis adalah Pengajar FISIP UIN Jakarta dan Ketua Harian DPP KNTI. Artikel diterbitkan KORAN SINDO dan SINDOnews.com, Selasa 21 Desember 2021.