Nawawi al-Bantani, Ulama Publik dan Punggawa Islam Moderat

Nawawi al-Bantani, Ulama Publik dan Punggawa Islam Moderat

Achmad Ubaedillah

 

SEJARAH transformasi Islam moderat di Indonesia tak bisa dilepaskan dari diaspora Nusantara di Hijaaz (Mekah). Di antara tokoh diaspora itu ialah Syekh Muhammad Nawawi Tanara al-Bantani, yang dalam minggu ini haulnya yang ke-130 tengah diperingati di kampung halamannya, Desa Tanara, Banten.

Keulamaan Syekh Nawawi begitu dikenal di kalangan ulama maupun para pencari ilmu yang datang di tanah suci umat Islam itu. Kealiman dia membawanya diberi gelar sebagai Penghulu Ulama Hijaz. Pandangannya yang moderat, seperti kebanyakan ulama mazhab Syafi’i, sangat relevan untuk meneguhkan keislaman umat Islam Indonesia yang umumnya memiliki tradisi moderat.

Islam moderat (Islam wasathy) adalah paradigma dan aktualisasi Islam yang tidak liberal (rasio an sich) seperti dipraktikkan kelompok Mu’tazilah dan bukan Islam yang terlalu rigid, tekstualis, bahkan cenderung tidak toleran terhadap perbedaan pandangan keagamaan lain dan terhadap inovasi religi yang positif (bid’ah hasanah). Paradigma dan sikap Islam yang cocok untuk Indonesia yang majemuk dan demokratis.

 

Tokoh diaspora Indonesia di pusaran Wahabisme

Syekh Nawawi hidup dalam suasana dunia Islam tengah mengalami kemunduran akibat kolonialisme Barat yang semakin memuncak pada abad ke-19 dan setelahnya. Di abad ini pula ketegangan antara penguasa kolonial dan penduduk jajahan terjadi secara masif yang ditandai oleh perlawanan fisik bersenjata di hampir semua negara muslim.

Di Indonesia tercatat ke dalam kategori ini ialah Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan petani Banten pada 1888. Perlawanan sejenis banyak pula terjadi di kawasan Asia Tenggara lainnya. Di internal umat Islam pun tidak kalah dinamisnya.

Abad ini merupakan era gerakan pembaruan Islam muncul ke permukaan. Penjajahan Eropa atas negeri-negeri Islam telah melahirkan gerakan modern Islam yang berusaha melawan dominasi Barat melalui pembaruan pemikiran Islam. Di abad ini pula di pusat Islam, Mekah, muncul gerakan pemurnian Islam yang disuarakan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab.

Pada saat bersamaan, perseteruan antara Turki Usmani dengan Barat (imperium Inggris) di satu sisi, dan perseteruan tiga kubu Islam yaitu antara Turki Usmani dan para penguasa Hijaz (syarif Mekah) di satu sisi, dan rivalitas antara Turki Usmani dan penguasa lokal Saudi (cikal bakal kerajaan Ibnu Saud sekarang) di sisi yang lain. Rivalitas tiga unsur ini berahir dengan berahirnya kekuasaan para syarif di Mekah, digantikan oleh Kerajaan Ibn al-Saud di Saudi Arabia dengan ideologi Wahabinya hingga sekarang.

Pada masa sulit seperti itu hanya segelintir anak jajahan dapat menuntut ilmu ke Mekah, metropolitan dan sumber pengetahuan Islam. Muhammad Nawawi salah satu di antara generasi Nusantara yang berkelana mencari ilmu pengetahuan agama. Pengembaraan intelektual Syeikh Nawawi mengalir dari ayahnya, Umar bin Arabi, dikenal seorang alim di kampung halamannya, Tanara. Ia juga masyhur sebagai sosok yang anti terhadap penguasa Belanda.

Syekh Umar dikenal sebagai pengembara ilmu pengetahuan. Petualangan ilmiah imam Masjid Tanara tersebut mulai dari Pulau Sumbawa untuk berguru kepada alim setempat seperti Syekh Abdul Ghani Bima dan Syekh Ismail, ulama di Kerajaan Dompu. Bahkan Syekh Umar sempat ditawari oleh Raja Dompu untuk menjadi qodhi di kerajaanya. Syekh Abdul Ghani kemudian dikenal sebagai guru putranya, Nawawi, saat berdiam di Mekah (Zulfa, 2021).

Selama tinggal di Mekah, Syekh Nawawi tidak saja dikenal sebagai ulama yang memiliki santri dari derah asalnya. Ia juga dikenal sebagai sosok tempat berguru para pencari ilmu dari Nusantara, dulu disebut Jawa, maupun negeri lain. Di antara murid Syekh Nawawi sekampung halamannya ialah Kiai Wasid, tokoh sentral penggerak pemberontakan rakyat Banten terhadap penguasa Belanda pada Juli 1888. Murid Syekh Nawawi yang juga tokoh penting pemberontakan Banten ialah Haji Abu Bakar, Haji Usman, dan Haji Marjuki.

Karisma Syekh Nawawi di kalangan masyarakat Banten begitu menonjol. Ia ibarat Ratu Adil yang senantiasa dinantikan kehadirannya di saat rakyat tengah dirundung berbagai cobaan. Suasana serupa dialami pula oleh Syekh Yusuf al-Makassari, yang diharapkan pulang ke Makassar oleh pengikutnya untuk memimpin perlawanan terhadap penguasa kolonial.

Suasana kebatinan tersebut diungkapkan oleh salah seorang kerabatnya di Tenara, Haji Marjuki, yang tinggal di Mekah. Jelang pemberontakan pimpinan Haji Wasid meletus, ia kembali ke Mekah. Sebelum bertolak ke Batavia (Jakarta), Haji Marjuki sempat berjanji kepada koleganya yang berkumpul di Masjid Tanara bahwa dirinya akan mengundang Syekh Nawawi pulang ke Banten untuk bergabung dalam Perang Sabil (Kartodirdjo, 1984).

 

Ulama publik

Syekh Nawawi, atau Ki Nawawi biasa dipanggil oleh masyarakat Banten, adalah figur ulama diaspora Indonesia yang produktif menghasilkan kitab-kitab yang berhubungan dengan perkara keagamaan publik muslim sehari-hari maupun kalangan khusus terpelajar. Karya-karyanya, yang sudah dipublikasi maupun masih dalam manuskrip, menurut catatan Abd Sattar ad-Dihlawi, berkisar 100 buah (Zulfa, 2021).

Sebagai figur ulama publik, Ki Nawawi banyak menulis masalah ibadah sehari-hari (fikih), tauhid, akhlak, dan tasawuf. Ketiga cabang ilmu itu diwakili oleh karangan Syekh Nawawi seperti sulam al-Munaajaat, Tiijaan ad-Daraari dan Qatr al-Ghaits, serta Maraaqi al-‘Ubuudiyyah. Adapun karyanya yang lain yang terkenal di kalangan masyarakat luas ialah kitab Uquud al-Lujain dan Nashaaih al-‘Ibaad. Yang pertama kitab yang menjelaskan tentang adab pergaulan antara suami istri (sejenis panduan keluarga maslahah). Yang kedua merupakan karya yang berisi nasihat dan akhlak.

Sementara itu, untuk kalangan khusus, ulama yang menetap dan meninggal di Mekah ini memiliki karya tafsir yang sangat fenomenal di masanya. Karya magnum opus-nya tersebut dikenal dengan nama Tafsir Munir atau Marah Labid Tafsir Nawawi.

 

Mahaguru moderasi Islam   

Dinamika Islam abad ke-19 itu menjadikan Nawawi sebagai figur matang yang berpegang teguh pada pandangan Islam yang moderat, yakni keseimbangan antara nalar (‘aqli) dan teks Al-Qur’an dan hadis (naqli). Dalam konteks ini, Syekh Nawawi tidak terpengaruh kepada pandangan Islam yang cenderung rasional yang digelorakan oleh kalangan modernis maupun kalangan pemurnian Islam dengan pemahaman Islam yang cenderung tekstual sebagaimana disuarakan kalangan Wahabi.

Paradigma keseimbangan antara nalar dan teks dapat diselisik pada karya-karya Syekh Nawawi yang masih menjadi rujukan dunia pesantren. Keseimbangan Syekh Nawawi juga dapat dirujuk pada tafsirannya atas ayat 143, Surat al-Baqarah, yang menjelaskan tentang posisi umat Islam sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan) atau kelompok moderat.

Tafsir atas kata umatan wasathan pada ayat tersebut menurut Syekh Nawawi dalam tafsirnya (Marah Labid Tafsir Munir) adalah ilmu dan amal. Menurutnya, umat yang pertengahan itu adalah umat yang memiliki keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal. Moderasi Syekh Nawawi Tanara tergambar dalam sikapnya terhadap isu-isu yang tengah hangat di masanya. Salah satunya saat terjadi polemik tentang praktik bertarekat yang banyak dikecam oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil, mufti Betawi yang tinggal di Petamburan, Tanah Abang, yang tak lain sahabat Syekh Nawawi.

Santun dalam bersikap menghadapi perbedaan pandangan dan tetap beragumen secara ilmiah merupakan teladan yang diwariskan Syekh Nawawi. Karya-karyanya masih dipelajari di ribuan pesantren seantero Nusantara. Di antara murid-murid Syekh Nawawi ialah Syeikhona Kholil Bangkalan dan Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Kedua guru dan murid ini dikenal sebagai inspirator dan pendiri (muassis) organisasi Islam (Jam'iyah) Nahdlatul Ulama seabad yang lalu, tepatnya di awal 1926.

Di tengah hiruk pikuk perpolitikan nasional menjelang Pemilu serentak 2024, warisan kesantunan dalam beragama yang diwariskan Syekh Nawawi dan diamalkan oleh para ulama ahli sunnah wal jama’ah (Aswaja) di kalangan nahdiyin hendaknya terus diimplementasikan oleh umat Islam di Nusantara. Moderasi dalam beragama (Islam) yang dipadukan dengan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang bersifat moderat juga adalah dua hal yang dapat saling melengkapi dan menguatkan eksistensi NKRI. Wallahu álam. (zm)

 

Penulis adalah Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU. Artikelnya dimuat Media Indonesia, Sabtu 20 Mei 2022 dan bisa diakses di: https://mediaindonesia.com/opini/582604/nawawi-al-bantani-ulama-publik-dan-punggawa-islam-moderat