Napak Tilas Andalusia 1

Napak Tilas Andalusia 1

Andalusia, Spanyol. Dalam perspektif sejarah Islam, Andalusia adalah kejayaan masa silam yang kemudia berakhir tragis. Berada di bawah kekuasaan Muslim selama lebih tujuh abad (711-1492), Andalusia memikul kejayaan sejarah Muslim tapi sekaligus meninggalkan banyak kepahitan pelajaran yang dapat diambil untuk sejarah masa depan.

Meski penulis “Resonansi” ini sejak 2004 pernah beberapa kali datang ke Madrid dan Barcelona untuk konferensi dan seminar, penulis belum secara mendalam menapak tilas ke Andalusia. Dari sudut kajian sejarah Islam komparatis-mencakup subjek kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam, tasawuf dan jaringan ulama Andalusia merupakan salah satu pusat yang tidak bisa diabaikan.

Oleh karena itu, penulis merasa beruntung ikut dalam program Dialog dan Pertukaran Budaya antara Indonesia dan Spanyol yang diselenggarakan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (20-24/3/2019). Kegiatan yang berpusat di Andaluasia ini sekaligus merupakan balasan atas kunjungan pimpinan Foundacion de Mezquita de Sevilla ke Jakarta tahun lalu (24/3/2018).

Sevilla adalah ibu kota wilayah otonomi khusus Andalusia. Istilah Andalusia berasal dari bahasa Arab. Namun, belakangan terjadi perdebatan di kalangan para ahli apakah istilah tersebut murni berasal dari bahasa Arab atau bahasa lain. Terlepas dari itu, pertama-tama istilah Andalusia tidak hanya mengacu ke wilayah otonomi khusus dengan delapan provinsi (Almeria, Cadz, Cardoba, Granada, Huelva, Jaen, Malaga, dan Sevilla).

Isitlah Andalusia juga pernah mengacu kepada Semenanjung Iberia (Muslim Iberia atau Islamic Iberal), yang kini mencakup Spanyol dan Portugal. Walaupun tidak seluruh wilayah Semenanjung Iberia pernah di bawah kekuasaan Muslim, persepsi yang beredar menganggap wilayah ini sepenuhnya berada di dalam ranah pengaruh kuasa Muslim.

Sejarah Islam di Andalusia atau Semenanjung Iberia umumnya bermula pada 711 ketika seorang Julian, kepala suku Kristen, menghadap Musa ibn Nusair, gubernur Maghribi (Afrika Utara), untuk meminta tolong membebaskan dari penindasan Raja Kristen, Roderick. Musa mengirim jenderal muda, Tariq bin Ziyad, bersama 7.000 tentara yang kemudian disebut sebagai Gibraltar (Jabar al-Tariq).

Tariq bin Ziyad dengan mudah mengalahkan pasukan Roderick. Kemudian, menjelang 720, Andalus atau Semenanjung Iberia telah berada di bawah kekuasaan Muslim. Penaklukan yang berlangsung cepat dan lancar itu terutama disebabkan sikap damai yang ditawarkan kepada penduduk lokal. Pada saat yang sama, banyak di antara mereka masuk Islam dan kemudian ikut bergabung dengan pasukan Muslim.

Kejayaan kekuasaan Muslim di Andalusia tercapai pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah (756-1031). Kejayaan itu bermula dengan keberhasilan Amir Abdurrahman yang mendirikan Keamiran Kardoba dengan menyatukan berbagai kekuatan pasukan Muslim.

Masa Kejayaan Muslim Spanyol disebut dengan sejarawan sebagai masa keemasan ilmu pengetahuan dengan pembangunan berbagai masjid megah, lembaga ilmu pengetahuan, perpustakaan, dan madrasah. Zaman kejayaan ini juga disebut toleransi; komunitas Yahudi yang tertindas pada masa kekuasaan Kristianitas justru mendapat perlindungan dari penguasa dan komunitas Muslim.

Kemunduran kekuasaan Muslim terjadi sejak pertengahan abad 11 ketika kekuasaan Muslim yang semula tunggal dan berpusat di Kordoba mulai berpecah belah. Sejumlah kerajaan Muslim yang kecil-kecil (al-muluk al-thawaif) terlibat dalam konflik dan perang satu sama lain.

Akibatnya, pada 1085 kekuatan Kristen berhasil menaklukan Toledo, salah satu pusat utama peradaban Islam. Namun, pasukan Muslim didatangkan dari Afrika Utara di bawah pimpinan Jenderal Yusuf bin Tashfin yang berhasil mengalahkan pasukan Kristen.

Namun, begitu Yusuf wafat pada 1106, para penguasa Muslim kembali terlibat konflik dan perang saudara, yag kemudian membuat kekuasaan Muslim tidak berdaya menghadapi pasukan koalisi Kristen. Pada 1492 bala tentara Kristen berhasil melakukan reconqista-penaklukan kembali.

Sejak masa itu penguasa Kristen melakukan inkuisisi, yang mewajibakan Muslim masuk Kristen atau dibunuh atau keluar dari Andalusia. Banyak kaum Muslim-bersama orang Yahudi keluar  dari Andalusia menuju Afrika Utara, menciptakan salah satu eksodus terbesar dalam sejarah umat manusia.

Dengan begitu, menapak tilas Andalusia adalah melacak kembali sejarah kebangkitan, kejayaan, dan kehancuran kekuasaan Muslim Andalus. Kejayaan tercapai berkat kesatuan; kemunduran dan kekalahan bersumber dari konflik dan perkelahian internal sesama Muslim. Sayang, banyak Muslim belum juga mengambil pelajaran dari pengalaman ini; masih saja bertikai dan berpecah belah.

Prof Dr Azyumardi Azra MA, Guru Besar Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber Opini Republika, Kamis, 28 Maret 2019.(lrf/mf)