Multiperan Agama

Multiperan Agama

[caption id="attachment_8220" align="alignleft" width="300"]Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat Guru Besar UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat[/caption]

Oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Di kalangan sarjana ahli, sulit dirumuskan definisi agama yang bisa diterima dan disepakati bersama.

Jadi, sejak merumuskan definisi saja, para sarjana ahli sudah berselisih sehingga mudah dipahami kalau sikap masyarakat terhadap dalil-dalil agama berbeda dari penyikapan mereka terhadap formula sains yang lebih mudah diterima sekalipun beda bangsa dan agama.

Di samping persoalan definisi, juga ada beberapa kategori agama, misalnya, revealed religion dan natural religion. Agama wahyu bikinan Tuhan dan agama evolusi alam rekayasa manusia. Agama langit dan agama bumi. Ada agama rumpun Abrahamik, Yahudi, Nasrani, Islam, dan agama non-Abrahamik. Dalam literatur filsafat, ideologi semacam Marxisme pun ada juga yang memasukkan kategori religion.

Dibandingkan ideologi sekuler dan ilmu pengetahuan, agama Abrahamik memiliki distingsi tersendiri, yaitu doktrin keselamatan abadi di akhirat nanti, berupa kehidupan surgawi yang telah dijanjikan Tuhan. Bagi orang beriman, seindah dan senikmat apa pun kehidupan dunia tak akan sebanding dengan kenikmatan janji surga yang dijanjikan Tuhan. Oleh karena itu, terdapat pemeluk agama yang lebih mengharapkan kehidupan akhirat dan mengecilkan kehidupan duniawi.

Bahasa agama

Oleh pemeluknya, agama diyakini sebagai jalan keselamatan yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan, yang di dalamnya terdapat kredo, kitab suci, pedoman ritual, konsep tempat suci, dan etika sosial kemasyarakatan. Keyakinan tentang hari akhir, pengadilan ilahi, dan balasan surga-neraka merupakan kredo yang paling fundamental dalam rumpun agama Ibrahim. Oleh karena itu, konsep dan keyakinan akan "jalan keselamatan" (salvation) menjadi inti keyakinan orang yang beriman. Apakah jalan keselamatan, dan bagaimana untuk meraihnya, masing-masing agama memiliki ajaran dan tafsiran berbeda-beda yang tak mungkin dipersatukan, sifatnya doktrinal, sangat pribadi, dan tidak bisa dipaksakan.

Pada awalnya, semua agama merupakan peristiwa dan pengalaman rohani yang bersifat sangat pribadi, kemudian berkembang ke lingkungan sosialnya. Dalam konteks Islam, misalnya, bermula dari cerita dan pengakuan pemuda Muhammad yang ditemui makhluk gaib ketika menyepi bermeditasi di Goa Hira, pinggiran kota Mekkah pada abad ke-6. Di Goa Hira ini, Muhammad menerima wahyu, yang itu diyakini dari Tuhan melalui malaikat Jibril, isinya mengajak manusia menjalani hidup yang benar dan terhormat serta hanya menyembah pada-Nya. Pada awal mulanya Muhammad pun tak tahu, siapa makhluk gaib itu. Secara historis-ilmiah sejarawan sepakat mengenai peristiwa Muhammad sering ke Goa Hira. Itu fakta historis. Namun, pengakuan Muhammad ditemui malaikat Jibril menerima wahyu Al Quran, hal itu di luar jangkauan ilmu untuk melakukan validasi dan verifikasi. Sejarawan tak bisa menemukan eviden sosok Jibril yang berbicara kepada Muhammad.

Bahwa Muhammad menerima wahyu dari Jibril itu tafsir dan respons iman, didukung argumen penalaran terhadap kebenaran kandungan isi wahyu. Contoh lain, peristiwa Muhammad hijrah ke Madinah, itu peristiwa historis, faktual. Sejarawan Muslim atau non-Muslim sepakat tentang terjadinya peristiwa hijrah. Namun, peristiwa Isra Mi'raj itu peristiwa meta-historis, sifatnya sangat pribadi, menuntut respons iman. Dalam Kristen pun banyak peristiwa serupa. Secara historis, karier hidup Yesus berakhir kalah di tiang salib. Namun, bagi iman Kristen, itu justru peristiwa kemenangan Yesus untuk mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga Yesus disebut Juru Selamat dan Sang Penebus Dosa. Demikian juga peristiwa Paskah, itu mirip mi'raj dalam Islam, yakni peristiwa rohani yang berada dalam wilayah iman, bukan faktual-historis. Umat Kristen yakin, Yesus dibangkitkan pada hari Minggu, setelah penyaliban pada hari Jumat, lalu naik ke atas (mi'raj) menuju Tuhan.

Dari contoh di atas, dalam tradisi dan paham keagamaan memang sering kali bercampur antara narasi historis dan meta-historis, antara yang faktual dan simbolik-metaforis, sehingga ketika semuanya hanya dipahami secara verbal-literal, pasti akan kehilangan pesan dan makna terdalam. Atau, akan terjadi perbedaan dan konflik tafsir atas teks kitab suci. Padahal, salah satu aspek dan karakter kitab suci yang membuatnya abadi dan selalu hidup serta tidak habis-habis digali dan ditafsirkan adalah karena kekuatan bahasanya yang sebagian simbolik dan metaforik. Dengan demikian, perbedaan tafsir itu memang dimungkinkan dan salah satu sumbernya adalah teks kitab suci sendiri.

Dari aku ke kami

Meski bermula dari pengalaman dan keyakinan pribadi, ketika ajaran agama disebarluaskan kepada lingkungan sosial sekitarnya, muncullah komunitas yang percaya (community of believers) dan mereka yang menyangkal (community of non-believers) yang dalam bahasa Arab disebut kafir atau infidel dalam istilah Eropa. Konsekuensinya, siapa pun orang yang beriman akan disebut kafir oleh komunitas lain yang beda keyakinan agamanya. Menjadi persoalan ketika penilaian dan penyikapan iman terhadap umat yang berbeda, yang semula bersifat pribadi dan komunal, lalu bergerak keluar ke wilayah publik, bahkan berebut hegemoni ruang publik dan jaringan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama. Ini akan dijumpai di berbagai belahan dunia.

Terbentuknya umat beriman ada yang bersifat cair dan kolosal seperti halnya, dalam konteks Islam, ketika umat Islam menunaikan ibadah haji atau melakukan istigasah. Namun, ada juga himpunan umat yang terstruktur dalam ikatan institusi, organisasi, atau bahkan parpol. Namun, yang mudah dijumpai, setiap agama akan melahirkan komune yang memiliki tempat ibadah sehingga di mana pun akan dijumpai bangunan ibadah semacam masjid atau gereja. Tempat ritual itu diyakini sebagai tempat suci di muka bumi yang menghubungkan jemaahnya dengan singgasana Tuhan di langit, tempat menyampaikan rasa syukur, ataupun mohon ampun dan petunjuk jalan keselamatan di dunia sampai akhirat.

Pengelompokan umat seiman ini di Indonesia masih kuat, salah satu faktornya karena diabadikan dalam kartu tanda penduduk. Di sini agama menjadi identitas sosial dan data kependudukan. Di tambah lagi banyaknya ormas keagamaan yang bermunculan. Identitas keagamaan ini diperkuat lagi oleh pemerintah dengan memberikan fasilitas pembinaan keagamaan yang masuk dalam anggaran belanja negara yang disalurkan melalui Kementerian Agama. Peran agama secara vertikal menghubungkan dengan Tuhan, sedangkan secara horizontal berkembang cukup kompleks, bercabang dan beranting. Ada kalanya agama menjadi motor dan pilar peradaban serta perdamaian, ada kalanya agama dinilai sebagai sumber perpecahan, bahkan motor peperangan.

Pada tahun-tahun awal pertumbuhannya, para Rasul Tuhan dengan ajaran agamanya selalu berpihak dan membela orang tertindas. Maka, para musuh Rasul Tuhan datang dari penguasa yang tiran. Agama hadir sebagai kekuatan pembebas (liberating force). Namun, ketika agama sudah berada di tangan pemenang yang memiliki kekuasaan, tak jarang terjadi pergeseran pendulum peran sosial agama, yaitu sebagai instrumen untuk mengawetkan kekuasaan, bahkan terlibat dalam penindasan. Makanya, sejarah memiliki catatan panjang seputar keterlibatan agama dalam perebutan kekuasaan serta konflik sosial. Pengalaman pahit inilah yang mendorong negara-negara Eropa memilih jalan sekuler dalam mengendalikan kekuasaan. Agama cukup menjadi urusan pribadi, sedangkan politik, ekonomi, dan peradaban dipercayakan pada penalaran dan kekuatan ilmu pengetahuan.

Institusi keagamaan di zaman modern ini mesti bersaing dengan institusi sekuler dalam melayani kebutuhan manusia dan mengatur kehidupan sosial. Seperti dunia kampus, rumah sakit, perbankan, industri, birokrasi pemerintahan dan negara yang kesemuanya merasa bisa berkembang memenuhi hajat penduduk bumi tanpa melibatkan agama. Yang tak tersaingi oleh ideologi dan institusi sekuler adalah agama menawarkan jalan keselamatan di akhirat. Sebuah tantangan bagi para pemikir dan aktivis keagamaan.

Penulis adalah Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom opini harian Kompas edisi 3 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Multiperan Agama". (Published Farah/Zm)