Muhammadiyah dan Gerakan Literasi

Muhammadiyah dan Gerakan Literasi

Pada  Senin, 18 Nopember 2019, Muhammadiyah genap berusia 107 tahun. Sebuah usia yang tergolong sudah matang, berpengalaman, dan jauh melampui usia NKRI. Memasuki abad keduanya, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan semakin kompleks. Harapan masyarakat kepadanya untuk berkontribusi menyinari dan mencerahkan negeri juga semakin tinggi. Sesuai dengan lambangnya, matahari bersinar, Muhammadiyah diharapkan berperan lebih strategis dalam mencerahkan umat dan bangsa di tengah perubahan global yang sangat cepat.

Pada abad pertamanya, Muhammadiyah dapat dikatakan sukses mengemban amanat dalam mencerdaskan, menyehatkan, mencerahkan, dan menyejahterakan kehidupan bangsa melalui pendidikan (schooling), layanan kesehatan (healing) melalui rumah sakit dan kliniknya, dan pelayanan sosial (welfaring) melalui panti-panti asuhan dan pemberdayaan masyarakat petani, nelayan, dan sebagainya.

Sebagai lokomotif pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Muhammadiyah tidak hanya berkontribusi strategis dalam konseptualisasi ideologi, dasar negara, dan persiapan kemerdekaan RI, tetapi juga berperan signifikan dalam mengawal NKRI dan mengisi kemerdekaan. Selain itu, Muhammadiyah juga setia meluruskan “kiblat bangsa”, antara lain, melalui jihad konstitusinya. Beberapa kali Muhammadiyah melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi  terhadap sejumlah Undang-undang (UU) yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Misalnya saja, judicial review  UU No. 24 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba (Mineral dan Batu bara).

Transformasi Gerakan

Di masa awal pendiriannya, Muhammadiyah banyak melakukan purifikasi di bidang akidah dan ibadah dengan tujuan liberasi (pembebasan) umat  dari praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan akidah Islam seperti: takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Selain purifikasi, KH Ahmad Dahlan juga melakukan koreksi “kiblat” masjid Kauman yang dinilai tidak  mengarah kepada Ka’bah yang berada di Masjidil Haram di Mekkah.

Sebagai gerakan sosial keagamaan yang mengusung ikon tajdid (reformasi, pembaruan), Muhammadiyah tentu saja tidak berhenti pada agenda purifikasi dan koreksi praktik keagamaan. Muhammadiyah juga mengembangkan dakwah sosial kultural melalui pendidikan, kesehatan, dan ekonomi demi mencerdaskan kehidupan bangsa agar terbebas dari kebodohan, kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan.

Spirit dan elan perjuangan mulia Muhammadiyah  dalam mencerdaskan kehidupan bangsa mendorong persyarikatan ini mengembangkan amal usaha tanpa kenal lelah. Pada usianya yang ke-107 tahun ini, Muhammadiyah memiliki tidak kurang dari 5.717 TK, 8.816 Paud, 1579 TPA (Taman Pendidikan Alquran), 6.049 SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, 342 pesantren, 166 PTM/PTA  (Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah). Bahkan Aisyaiyah merupakan organisasi perempuan pertama di Indonesia yang memelopori pendirian Perguruan Tinggi, yaitu UNISA (Universitas Aisyiyah) di Yogyakarta. Selain itu, Muhammadiyah juga setidaknya 115 rumah sakit yang setiap tahun melayani lebih kurang 12 juta pasien.

Dari 166 PTM dan PTA, terdapat 36 sekolah perawat dan 12 fakultas kedokteran. Setiap tahun tidak PTM dan PTA melahirkan 750-1.000 tenaga medis yang mendedikasikan dirinya tidak hanya di lingkungan amal usaha Muhammadiyah, tetapi juga banyak bekerja di berbagai instansi kesehatan di seluruh Indonesia. Selain itu, rumah-rumah sakit Muhammadiyah juga berbaik hati “menanggung” dan “menalangi” beban BPJS pasien yang mencapai lebih dari  1 Trilyun, karena proses pencairannya dari pemerintah harus menunggu sekitar 4 bulan, padahal hak memperoleh layanan kesehatan bagi para pasien tidak bisa ditunda.

Dengan kata lain, sesungguhnya Muhammadiyah telah melakukan transformasi gerakan dari purifikasi dan intelektualisasi menuju gerakan filantropi dakwah kebangsaan dan literasi multidimensi. Transformasi gerakan ini  tidak hanya meringankan beban negara dalam memberikan berbagai layanan bagi rakyatnya, tetapi juga sekaligus mewakafkan amal usaha Muhammadiyah bagi kemaslahatan bangsa, karena semua aset amal usaha Muhammadiyah yang tersebar di seluruh penjuru tanah air tidak ada yang diatasnamakan perseorangan, tetapi dicatatkan sebagai wakaf persyarikatan untuk umat dan bangsa.

Literasi Multidimensi

Salah tantangan masa depan bangsa yang perlu direspon Muhammadiyah adalah peningkatan indeks pembangunan manusia Indonesia yang pada 2017 berada pada peringkat 113 dari 188 negara. Tantangan Muhammadiyah dalam aktualisasi gerakan literasi lainnya adalah perbaikan indeks daya saing global yang menduduki peringkat 41 dari 138 negara, indeks persepsi korupsi yang berada pada peringkat 88 dari 176 negara, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04%-5,18%, indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia yang menempati peringkat 79 dari 157 negara.

Selain itu, berbagai kasus kriminalitas, korupsi, kekerasan, intoleransi, radikalisme, terorisme, narkoba, pornografi, kejahatan dunia maya, penyimpangan seksual, dekadensi moral, dan krisis kepribadian juga menghendaki partisipasi Muhammadiyah menggerakan literasi multidimensi yang mencerdaskan dan mencerahkan warga bangsa. Dengan kata lain, melalui jaringan institusi pendidikannya yang tersebar luas di seluruh pelosok negeri, Muhammadiyah mempunyai tanggung jawab moral dalam menyukseskan gerakan literasi nasional yang digulirkan pemerintah.

Spirit tajdid Muhammadiyah dalam mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa “memanggil” Muhammadiyah untuk mengembangkan gerakan literasi multidimensi. Enam literasi dasar, yaitu: literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan harus menjadi komitmen dan agenda Pendidikan Muhammadiyah mulai dari TK hingga PT. Dalam konteks literasi melalui PT, Muhammadiyah telah menyumbangkan 600.000 mahasiswa di seluruh PTM atau sekitar 10% dari total mahasiswa Indonesia.

Literasi multidimensi tidak hanya terbatas pada enam literasi dasar tersebut. Dalam kehidupan kebangsaan, Muhammadiyah juga diharapkan dapat mengembangkan literasi keterampilan sosial, literasi tolerasi, literasi harmoni dalam kebinekaan, dan sebagainya. Beberapa PTM di daerah Indonesia Timur, seperti Universitas Muhamamdiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong, dan Universitas Muhammadiyah Kupang di NTT tidak hanya secara nyata mencerdaskan  warga bangsa, tetapi juga menjadi “laboratorium toleransi” dan kerukunan hidup beragama. Karena itu, di tiga PTM tersebut, rerata mahasiswa non-Muslim menjadi 65-75% dari total mahasiswa.

Dimensi lain dari gerakan literasi yang juga perlu dikembangkan Muhammadiyah melalui jaringan organisasi dan institusi Pendidikan dan filantropinya adalah litarasi keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS), pengembangan kreativitas dan inovasi dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan memecahkan masalah, komunikasi, dan kolaborasi dalam rangka pembangunan bangsa menuju Indonesia berperadaban maju.

Sayangnya, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, karena Muhammadiyah dalam politik kekuasaan Muhammadiyah itu “yatim piatu”, upaya Muhammadiyah untuk mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa melalui aktualisasi gerakan literasi multidimensi terkadang mengalami hambatan dan rintangan. Oleh karena itu, jika pemerintah bersinergi dan membantu Muhammadiyah dalam menyukseskan gerakan literasi multidimensi, maka sesungguhnya pemerintah sedang membantu dirinya sendiri.

Gerakan literasi multidimensi, sebagai kecakapan dan kompetensi abad 21, memang perlu disukseskan dengan “menggandeng tangan” dan mempartisipasikan semua pihak, termasuk Muhammadiyah, agar Indonesia ke depan semakin maju, sejahtera, adil, Makmur, dan bahagia.  Dalam konteks ini, Muhammadiyah tidak pernah lelah “berta’awun” untuk negeri melalui gerakan filantropi dan literasi multidimensi, karena Muhammadiyah terbukti istikamah dalam menempuh jalan khitahnya, dan tidak pernah tergoda oleh  syahwat politik kekuasaan yang cenderung oportunistik dan pragmatik. Jadi, gerakan tajdid Muhammadiyah ke depan harus mampu mengembangkan literasi multi dimensi berbasis filontropi yang tulus mengedukasi anak negeri, mencerdaskan kehidupan dan mencerahkan peradaban bangsa.

Dr Muhbib Abd Wahab MAg, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Republika, 16 November 2019. (lrf/mf)