Momentum Kuasa Rakyat

Momentum Kuasa Rakyat

Rabu, 17 April 2019, merupakan momentum sangat menentukan untuk proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Hari pencoblosan yang berpengaruh besar pada tatanan Indonesia, terutama lima tahun ke depan. Ini sejarah pemilu serentak kali pertama, yang akan memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Penting memberi catatan agar pemilu kita tidak saja berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tetapi juga penyelenggaraannya kondusif, damai, serta mengedepankan penghormatan atas hukum yang menjadi aturan bersama.

Sirkulasi elite

Pemilu, tentu saja menjadi mekanisme sirkulasi elite yang reguler dilakukan. Sebagai negara yang menganut demokrasi, pemimpin harus dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, pemilu harus diposisikan sebagai momentum kuasa rakyat.

Pemberian mandat kekuasaan kepada mereka yang akan menjadi pemimpin nasional, wakil rakyat, dan senator dari 34 provinsi senusantara.

Penting merenungkan catatan Vilfredo Pareto dalam tulisannya, The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986), bahwa sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal dan mutual interdependence atau punya ketergantungan bersama.

Para calon pemimpin di eksekutif dan legislatif membutuhkan suara rakyat sebagai legitimasi dirinya memenangi kontestasi. Di sisi lain, rakyat selaku pemberi mandat juga punya kepentingan mendasar, yakni perbaikan bangsa dan negara di berbagai sektor yang akan berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak.

Jika satu komponen dalam pemilu rusak, kita tak bisa berharap banyak pada kualitas hasil akhir yang dicapai dalam pemilu. Pemilu perlu menghadirkan orang berkualitas, yang dipilih melalui proses berintegritas.

Para penyelenggara pemilu harus bersikap netral sehingga mau dan mampu menjamin rangkaian proses panjang pemilu dikelola secara profesional. Ingat, pemilu harus menjaga harapan yang ada di masyarakat, bukan sebaliknya menghadirkan kekecewaan mendalam di hati dan benak mereka.

Pemilu kerap menghadirkan banyak paradoks. Misalnya, pola hubungan tidak harmonis antarwarga. Banyak keluarga yang terpolarisasi tajam akibat beda pilihan di pilpres. Media sosial tumpah ruah dengan sumpah serapah.

Beragam informasi membanjiri ragam kanal warga setiap saatnya. Provokasi yang membentur-benturkan kelompok masyarakat bawah tak jarang disampaikan para elite partai, relawan, dan tim pemenangan.

Belum lagi media massa banyak yang partisan. Informasi terdistorsi akibat framing redaksi yang mengarah ke salah satu pasangan. Sesungguhnya, pemilu itu konflik realistis. Konflik di pemilu, sesungguhnya tidak harus selalu dibaca negatif atau merusak.

Dalam perspektif sosiolog konflik Amerika, Lewis Coser di buku klasiknya The Functions of Social Conflict/(1956) menyatakan, konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi sebagai dua sisi yang bisa memperkuat dan memperlemah satu sama lainnya.

Pertama, konflik realistis memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti sengketa sumber kuasa antara lain kontestasi pilpres dan pileg. Saat pemilunya usai, biasanya konflik sudah teratasi.

Kedua, konflik nonrealistis yang didorong oleh keinginan tak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Dalam hal ini, antara lain, konflik antaragama, antaretnik, antarkepercayaan.

Konflik sejenis ini cenderung sulit menemukan solusinya, terutama untuk merajut ulang konsensus dan perdamaian. Ibarat luka mendalam, konflik yang disulut isu agama, etnik, kepercayaan amat sulit disembuhkan.

Karena itu, semua pihak yang bertarung di Pemilu 2019, jangan mengeksploitasi politik identitas secara berlebihan, provokasi SARA, atau bahkan propaganda yang saling membentur-benturkan warga sehingga mereka masuk ke atmosfer konflik berkepanjangan.

Modus yang kerap dipakai untuk provokasi biasanya hoaks dan ujaran kebencian yang ditebar melalui media sosial bahkan di media massa.

Seluruh komponen yang terlibat dalam pemilu wajib berperan dalam menciptakan atmosfer positif. Selama masa kampanye, beragam metode telah dilakukan untuk mempersuasi pemilih.

Hal terbaik saat ini adalah memberi kesempatan pemilih untuk berpartisipasi datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dengan jernih. Partisipasi bukan mobilisasi!

Jangan biarkan keluhuran suara rakyat sebagai suara Tuhan, dihinakan menjadi suara 'kaum recehan'. Godaannya pasti luar biasa. Banyak caleg dan tim sukses pilpres yang berkeyakinan, kemenangan hanya bisa dijemput dengan guyuran uang.

Wajar jika dalam realitasnya, masa tenang sesungguhnya menjadi masa paling tidak tenang. Diperlukan komitmen kuat dari pasangan calon di pilpres, caleg, dan calon senator DPD, untuk tidak membuat manuver yang merusak.

Misalnya, memprovokasi akan terjadinya ‘people power’ yang bisa ditafsirkan secara liar oleh kalangan masyarakat bawah. Selepas hari pencoblosan, atmosfer positif juga penting diciptakan selama proses rekapitulasi suara berjenjang hingga penetapan pemenang.

Pihak-pihak yang kalah dan merasa dirugikan selama proses pemilu, bisa menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jangan pernah menempuh cara-cara di luar koridor hukum yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

Pemilu damai akan menyumbang stabilitas dan daya tahan demokrasi di negara kita. Karena itu, media massa sebagai penyebar informasi wajib turut dalam gerakan bersama menjaga situasi yang terkendali.

Institusi media massa merupakan aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar dalam pemeringkatan isu yang ada di publik. Media bisa dikatakan 'sebab' terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visibel dan terukur.

Informasi di media arus utama jangan seperti media sosial, butuh verifikasi dan konfirmasi. Jangan buat kesalahan dengan melakukan distorsi informasi, penyalahgunaan kekuasaanredaksi, apalagi melakukan dramatisasi fakta palsu.

Media biarlah konsisten pada perannya sebagai jurnalis, bukan menjadi propagandis. Selamat mencoblos di TPS!

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute/Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Opini harian Republikasi, edisi Selasa 16 April 2019. (lrf)