Momentum Hak Angket

Momentum Hak Angket

Oleh: Gun Gun Heryanto

Politik tak lepas dari momentum, ruang waktu yang menjadi penanda kapan dan bagaimana kepentingan diartikulasikan. Situasi dinamis yang senantiasa menjadi rumusan paling absah dalam meracik strategi politik para aktor. Momentum inilah yang kini dimiliki DPR. Lembaga politik ini secara resmi telah mengesahkan Hak Angket untuk pengusutan kasus Bank Century pada sidang  paripurna 1 Desember kemarin. Pengumuman siapa saja yang masuk menjadi panitia Hak Angket Century rencananya diumumkan pada Jum’at (4/12). Inilah kali pertama mereka mencoba melintasi fragmentasi kekuatan politik yang ada, dalam satu bingkai kasus besar yang sama pasca dilantik menjadi anggota DPR-RI 2009-2014.

Modal Dukungan

Hak Angket Century jika dikelola dengan baik dan memenuhi harapan publik tentu akan menjadi momentum bagi reformulasi citra dan kehormatan anggota DPR. Paling tidak terdapat 4 modal utama yang kini dimiliki DPR agar senantiasa mau dan mampu menjaga kualitas pansus Hak Angket Century ini.

Pertama, tercapainya dukungan luas di internal anggota DPR. Setelah Tim-9 meretas jalan guna memperoleh dukungan, kini mayoritas anggota DPR termasuk dari Demokrat telah mendukung, meskipun dengan motif yang berbeda-beda. Dukungan ini menjadi modal awal yang penting dalam menjaga setiap tahapan kerja pansus yang diprediksi akan berjalan panjang dan alot.

Kedua, munculnya dukungan dari tokoh masyarakat, kelompok penekan (pressure group), serta kelompok kepentingan (interest group).  Para inisiator cukup sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati, Din Syamsuddin, Syafii Maarif, KH Hasyim Muzadi, dll.,  yang secara gamblang menyatakan dukungan mereka atas upaya pengusutan Hak Angket Century. Dukungan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) dan organisasi intra maupun  ekstra kampus pun kian hari kian masif dan intensif

Ketiga, modal publisitas yang memadai dari media massa dan media jejaring sosial (social network). Kita melihat ada kecenderungan persepsi positif dari berbagai media massa baik cetak, elektronika maupun new media (internet)  terkait dengan setiap pemberitaan mengenai Hak Angket Century ini. Modal opini publik ini tak bisa dianggap remeh, karena berbagai news framing yang dikemas dan didistribusikan oleh media berpengaruh dalam menaikan dan menurunkan citra seseorang atau sekelompok orang. Begitu pun kohesivitas dalam berbagai situs jejaring sosial seperti di facebook dan twitter cenderung lebih banyak mendukung Hak Angket Century. Muncul fenomena konvergensi simbolik diantara sesama pengguna situs jejaring sosial hingga mereka lebih diperteguh untuk bersama-sama dalam gerakan memberi dukungan misalnya terlihat dalam facebook “1.000.000 Pendukung Hak Angket Century”.

Keempat, adanya peneguhan (reinforcement) atas dugaan ketidakberesan dalam kasus Bank Century dari temuan audit investigatif BPK serta laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). BPK menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses penetapan dan penyaluran dana dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Sementara PPATK hingga Senin lalu (23/11), sudah menerima 50 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari 10 penyedia jasa keuangan. Temuan dan laporan tersebut memperteguh para pendukung Hak Angket Century untuk menempatkan hal ini sebagai prioritas agenda kerja.

Dialektika Rasional

Jalan panjang dan terjal masih akan dilalui Pansus Hak Angkat Century. Oleh karena itu saatnya para pendukung mengoptimalkan peran-peran mereka. Tarkait dengan hal ini, ada sejumlah catatan yang perlu penulis sampaikan kepada para anggota DPR pendukung Hak Angket Century.

Pertama, jangan biarkan momentum kasus ini lewat tanpa hasil apapun. Jika DPR mampu membuka ini, maka rakyat akan memberi apresiasi yang sangat positif. Tidak banyak waktu yang dimiliki oleh para pendukung Hak Angket Century. Terlebih jika mengacu pada aturan tentang Hak Angket Pasal 181 UU No 27/2009 tentang MPR, DPR dan DPD. Pasal tersebut menyatakan bahwa Panitia Angket melaporkan pelaksanaan tugas kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari. Buktikan bahwa dalam waktu dua bulan ada kemajuan signifikan dalam mengurai benang kusut aliran dana Bank Century ini.

Kedua, harus hati-hati dalam menyeleksi siapa saja yang layak menjadi anggota pansus pelaksanaan hak angket yang menurut UU No.27/2009 maksimal 30 orang dan keanggotannya diatur secara proporsional. Jika skema proporsional dipahami dalam konteks kuantitas, maka sudah barang tentu Demokrat akan memperoleh jatah 8 orang, Golkar 6 orang, PDIP 5 orang, PKS 3 orang. PAN, PPP dan PKB masing-masing mendapat jatah 2 orang sementara Gerindra dan Hanura masing-masing 1 orang. Dengan demikian pertarungan dalam penguasaan pimpinan pansus akan menjadi hal yang strategis guna mengawal keberlangsungan Hak Angket Century ini ke depan. Keseluruhan anggota pansus mesti figur yang tidak menimbulkan resistensi di masyarakat, ini untuk menunjukkan bahwa pansus akan bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat dan bukan parodi yang telah diatur oleh sang sutradara.

Ketiga, sebaiknya pansus nanti bisa lebih produktif bekerja mengungkap kasus ini. DPR hingga saat ini masih memiliki trackrecord yang kurang mengesankan mengenai hal ini. Sebagai catatan dalam menjalankan fungsi pengawasan misalnya, DPR periode 2004-2009 nampak kedodoran. Hanya ada dua hak angket yang cukup tuntas, yaitu  Hak Angket Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Hak Angket Kasus Penjualan Tanker Pertamina. Padahal tak kurang dari delapan hak angket yang diajukan. Kondisi yang sama juga terjadi dalam hak interpelasi. Dari sembilan hak interpelasi yang dibuat, hanya empat yang tuntas, yakni persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747, kasus Lapindo, busung lapar, dan kasus harga bahan pokok. Faktor-faktor potensial yang memungkinkan jadi penghambat produktivitas antaralain kapasitas anggota pansus tidak mumpuni dalam masalah yang ditangani, tidak adanya political will untuk menuntaskan masalah, serta munculnya resistensi publik atas orang-orang “titipan” yang mungkin akan menyelinap dalam pansus.

Keempat, jangan sampai para pendukung Hak Angket Century tergoda dalam jebakan pragmatisme politik. Bisa saja mereka mendukung karena sekedar ingin menjadikan pejabat-pejabat tertentu sebagai sasaran bidik, hingga menaikan posisi tawar kelompok mereka dalam lingkar kekuasaan atau memunculkan peluang praktik suap. Jika motif rasional-pragmatis ini yang dipertontonkan, tentu saja citra DPR akan makin terpuruk. Padahal harapan kita tentu saja Hak Angket Century ini bisa menjadi kotak pandora bagi persoalan terkait lainnya

Pansus Hak Angket dalam mengemban tugasnya nanti sudah pasti akan berada dalam situasi yang tidak linear bahkan penuh kontradiksi. Menurut Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya Relating: Dialogues and Dialectics (1996), situasi seperti ini akan banyak melahirkan sudut pandang yang saling menandingi satu sama lain di setiap kontradiksi. Dalam konteks ini, seluruh anggota pansus harus mampu berkomunikasi dengan banyak pihak untuk mengelola dan menegosiasikan kontradiksi-kontradiksi yang muncul. Hanya saja jangan sampai negosiasi mengarah pada penggembosan pansus melainkan berupaya memperkuat dan mempertajam temuan data.

Dalam perspektif dialektis ada empat elemen penting. Pertama, adanya totalitas hubungan antara orang-orang di pansus Hak Angket Century dengan publik yang menuntut keterbukaan. Kedua, adanya kemampuan mengelola kontradiksi, yakni merujuk pada manajemen prilaku oposisional yang tak akan pernah bisa terhindarakan. Sangat mungkin pansus disusupi oleh orang-orang yang sengaja membuat kasus ini menjadi tidak jelas. Ketiga, harus adanya pergerakan yang dinamis atau senantiasa berproses untuk menemukan banyak hal baru yang akan mematangkan temuan data pansus. Terakhir, praxis artinya terkait dengan keputusan yang harus dibuat guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.**


Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Kamis 3 Desember 2009

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Â