Moderasi di Era Disrupsi

Moderasi di Era Disrupsi

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Moderasi itu tengah-tengah. Tidak radikal dan tidak liberal. Spektrum moderasi itu bersegi banyak. Misalnya moderasi dalam berkeyakinan. Al-Ghazali (w. 1111) pernah menulis soal ini, yakni al-iqtishad fi al-i'tiqad (moderasi dalam keyakinan). Oleh karena itu, akronim moderasi sebangun dengan wasathiyah dan iqtishad. Spektrum moderasi secara lebih luas mencakup soal keagamaan dan kebangsaan.

Masalahnya, seperti apa moderasi di era disrupsi kini? Era dimana setiap tren berubah dan berganti secara cepat. Misalnya, kita baru saja merasakan situasi yang berasa asing, namun tak berasa hal itu berubah jadi usang. Kendati watak dasar dunia siber itu menjunjung tinggi moderasi, tapi benarkah masyarakat online masih butuh moderasi beragama dan bernegara? Bukankah mereka sudah kecanduan internet yang membuat mereka jadi asosial?

Dalam bidang ekonomi, praktis tidak ada moderasi. Praksis sistem ekonomi liberal adalah sekuler. Agama dan norma tidak memiliki tempat. Sementara sistem ekonomi sosialis adalah materialis. Keduanya mengusung tit for tet atau aku memberikan ini, anda memberi apa. Apalagi di era disrupsi, kedua sistem ini sedang gamang. Banyak perusahaan bergelimpangan menghadapi kompetitor yang tak kelihatan.

Saat ini isu dan fokus masyarakat dunia sebagai user internet adalah reposisi dari melakukan inovasi berkesinambungan kepada berlari secepat-cepatnya mengimbangi laju inovasi disrupsi. Artinya, norma agama dan sosial seperti moderasi, hanyalah sebuah kata "mantra" yang tak lagi memiliki taji. Semua ini karena laju disrupsi melesat begitu cepat meninggalkan keadilan, keberimbangan dan sikap toleran sebagai dasar pokok moderasi.

Di sisi lain, pemangku utilitarianisme memegang kendali laju disrupsi lebih sebagai langkah memaksimalkan kebahagiaan. Sementara membawa serta agama dan norma malah menjadi beban yang dapat memperkecil kebahagiaan itu sendiri. Maka wajarlah kalau kehadiran media baru dengan beragam fitur dan platform yang ditawarkan menjadi agama baru. Organized religion mulai jadi pemanis bibir, hiburan, tempat mengadu ketika putus asa. Inilah kiranya reduksi disrupsi terhadap makna moderasi.

Dalam pada itu, moderasi berpolitik tampaknya sudah jauh panggang dari api. Jauh sebelum era disrupsi datang, politik terlanjur dipahami sebagai siapa memberi apa, kapan, dan bagaimana caranya. Saat ini para politisi bisa terjerembab jatuh tanpa pernah bisa tahu siapa yang menjatuhkannya. Jadi alih-alih melakukan moderasi berpolitik, mereka sibuk mendisrupsi diri agar tetap bisa berkomuniasi virtual dengan konstituen online, apapun caranya agar bisa terus berkuasa.

Dalam ranah filsafat ilmu, sudah lama juga berkembang bahwa ilmu itu bebas nilai. Artinya berkembangnya internet baik turunan maupun produknya, tidak boleh dihalangi oleh agama dan norma. Internet yang menyebabkan munculnya disrupsi tidak boleh disandingkan dengan moderasi sebagai produk agama. Secara konvensional inilah yang kemudian dikenal sebagai sekularisasi agama dan dunia. Jadi, terdapat tantangan hebat untuk memperkokoh moderasi di era disrupsi.(sam/mf)