‘Minna’ Versus ‘Minhum’

‘Minna’ Versus ‘Minhum’

Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak DKI Jakarta (2016-17) sampai selesainya pemilu (Pilpres dan Pileg) 2019 dan berlanjut dengan kepemimpinan nasional baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, menguat anggapan di kalangan umat Muslim bahwa pemerintah yang ada bukan minna (kosakata Arab) yang berarti “dari [pihak atau golongan] kami”. Sebaliknya, pemerintah adalah minhum atau “dari [pihak atau golongan] mereka.“

Dalam konteks itu, ada banyak kalangan warga berpersepsi sejak masa pemerintahan Jokowi-JK dan pemerintahan baru sekarang sebagai “anti-Islam“ dan sekaligus “pro-Aseng“. Indikasi sikap “anti-Islam“ pemerintah itu meurut mereka terlihat ketika aparat melakukan pemeriksaan terhadap beberapa figur ulama atau ustadz yang terduga melakukan tindakan kriminal tertentu. Langkah kepolisian kemudian mereka sebut sebagai “kriminalisasi ulama“ yang bagi mereka dilakukan bukan hanya oleh pihak kepolisian, melainkan juga pemerintahan.

Persepsi atau mentalitas seperti ini di kalangan umat Islam Indonesia, sekali lagi, tampak berlanjut terhadap Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Meski jelas keduanya adalah Muslim, bahkan Wapres Ma’ruf Amin adalah ulama yang masih menjabat Ketua Umum MUI, tetap saja ada kalangan Muslim Indonesia yang menganggap keduanya bukan minna, sebaliknya adalah minhum.

Bahwa pemerintah mereka anggap “anti-Islam“ karena sebelumnya pada masa pemerintah Jokowi-JK, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017, yang kenudian diadopsi DPR RI (2014-19) sebagai UU No. 16 tahun 2017 tentang Ormas. Perppu/UU ini melarang eksistensi kelompok radikal yang menolak Pancasila dan NKRI (yang pertama terkena HTI); hasilnya paradigma binari minna dan minhum makin mengeras. Pihak yang memegang pembelahan oposisional ini menggunakan kerangka oposisi binari itu sepanjang Pilpres 2019 dan masa selanjutnya.

Retorika dan tuduhan yang ngebyah uyah itu berkali-kali dibantah Presiden Jokowi dan pejabat pemerintah lainnya serta petinggi aparat keamanan; tetapi jelas tidak pernah efektif. Sebaliknya, kian berkembang anggapan, pemerintah bukanlah minna. Mereka tidak peduli jika hanya ada beberapa ustadz yang diperiksa Polri, sehingga jelas bersifat kasuistik, bukan gejala umum menyangkut ustadz atau ulama secara keseluruhan.

Penjelasan dan klarifikasi apa pun tampaknya tidak bisa menepis persepsi tentang minna dan minhum. Ini tak lain karena melintas minna dan minhum yang tumbuh sejak masa kolonial terus bertahan sampai sekrang. Sekali lagi, hal itu terlihat jelas dalam kontestasi Pilpres 2019.

Pembelahan minna dan minhum yang tidak hanya pada tingkat mentalitas, tapi juga aktual dalam kehidupan politik dan pemerintahan nasional. Jika keadaan ini terus berlanjut, jelas tidak kondusif dalam upaya membangun pemerintahan efektif menjalankan program-programnya. Bahkan juga, tidak kondusif bagi masa depan NKRI yang bersatu dengan UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.

Secara retrospektif, persepsi dan sikap di kalangan umat Islam tentang pemerintahan Jokowi-JK atau kemudian juga Jokowi-MA terkait “minna dan minhum“ sebenarnya bukan hal baru. Pemerintah Indonesia sejak dari Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden SBY tidak jarang juga dilihat dari perspektif minna dan minhum  oleh sebagian umat Indonesia.

Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agaknya hampir tidak dilihat dalam kerangka minna dan minhum. Hal ini terkait pernyataan, keduanya memiliki kredensial Islam –masing-masing pernah menjadi ketua umum ICMI dan ketua umum PBNU.

Namun, jelas mentalitas dan perspektif minna dan minhum muncul dari waktu ke waktu terkait kepemimpinan Presiden lainnya. Lebih dari itu, tidak jarang menghadap oposisional minna dan minhum muncul dalam berbagai pembicaraan, diskusi, dan seminar akademik-ilmiyah.

Oleh karena itu, persepsi minna dan minhum sudah menjadi gejala mentalitas dan psikologi laten yang tersimpan dalam psike orang atau kalangan umat Islam. Psike ini kemudian sering beramalgamasi dengan “teori konspirasi“; bahwa langkah dan kebijakan pemerintah atau pihak lain bertujuan memojokkan atau memarginalisasi Islam dan kaum Muslimin.

Penghadapan oposisional antara minna dan minhum sebenarnya juga bisa dilacak dalam banyak ayat Alquran. Penghadapan atau tepatnya pemisahan itu lazimnya terkait dengan “mereka yang beriman“ dan “mereka yang tidak beriman“. Ayat-ayat tersebut seolah memberi justifikasi terhadap persepsi dan sikap mereka terhadap Pemerintah Indonesia.

Prof Dr Azyumardi Azra MA, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Resonansi REBUPLIKA, Kamis, 17 Oktober 2019. (lrf/mf)