MIMPI ABU BAKAR

MIMPI ABU BAKAR

oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kerap diceritakan bahwa mimpi orang shaleh tak jarang yang menjadi nyata. Begitu juga mimpi Abu Bakar al-Shiddiq. Syaikh al-Ushfuri dalam Mawaidz al-Ushfuriyah menuliskan bahwa keislaman Abu Bakar diawali dari mimpi. Ketika berada di Syam (kini Syiria), ia bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya. Lalu matahari dan bulan itu direngkuh dengan kedua tangannya. Ia mendekap keduaya erat-erat. Tak hanya itu, dengan surbannya, matahari dan bulan diikat agar tidak pergi. Tatkala Abu Bakar terbangun, ia buru-buru pergi untuk mendatangai seorang pendeta Nasrani yang masih beriman dengan agama tauhid untuk bertanya ihwal mimpinya. Di hadapan sang pendeta, Abu Bakar menceritakan secara lengkap mimpi yang dialaminya. Kemudian Abu Bakar memintanya untuk memberikan tafsir mimpi tersebut. Abu Bakar ditanya, “Kamu dari mana?” Abu Bakar menjawab, “Mekah”. Pendeta itu bertanya lagi, “Dari suku apa?” Abu Bakar menjawab, “Dari suku Taymin”. Tak hanya itu, sang pendeta kembali bertanya kepada Abu Bakar, “Apa pekerjaanmu?”. Abu Bakar menyahut, “Berdagang”. Usai melancarkan sekian pertanyaan, pendeta itu berujar, “Pada masamu ini akan datang seorang seorang laki-laki keturunan Bani Hasyim yang bernama Muhammad al-Amin. Ia bermarga Hasyim dan akan menjadi nabi akhir zaman”. “Kalau tidak ada beliau, niscaya Allah tidak akan menciptakan langit dan bumi. Termasuk apa saja yang ada pada keduanya. Tanpanya, Allah juga tidak akan pernah menciptakan Nabi Adam, para nabi dan rasul. Muhammad itu pemimpin para nabi dan rasul. Ia adalah nabi terakhir. Kamu akan masuk agama Islam yang dibawanya”. “Kelak kamu akan menjadi orang kepercayaannya sekaligus bakal menjadi pengganti kepemimpinannya. Inilah makna mimpimu itu”, pungkas sang pendeta. “Aku mendapatkan informasi ihwa ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad di dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Sungguh, aku sendiri sudah mengikuti agamanya.Hanya saja aku menyembunyikannya”. Usai mendengar penjelasan sang pendeta tentang sifat-sifat Nabi SAW, Abu Bakar luluh hatinya dan merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi SAW di Mekah. Sesampainya di Mekah, Abu Bakar tak membuang waktu, ia langsung mencari Nabi SAW dan ia berhasil bertemu. Sejak pertemuan itu, Abu Bakar jadi kian cinta kepada Nabi SAW dan tidak pernah ingin berpisah. Kondisi hati Abu Bakar seperti itu berlangsung cukup lama, hingga suatu hari Nabi SAW bertanya kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar setiap hari kamu mengunjungiku. Seringkali juga kamu duduk bersamaku. Namun mengapa kamu tidak masuk Islam?” Abu Bakar menjawab, “Jika kamu benar seorang nabi, tentu kamu memiliki suatu mukjizat”. “Apakah belum cukup untukmu mukjizat yang kamu alami dalam mimpimu ketika kamu berada di Syam. Kemudian mimpimu itu ditafsirkan oleh seorang pendeta Nasrani yang juga sudah menyatakan keislamannya”?, desak Nabi SAW. Lalu seusai mendengar sabda Nabi SAW itu, Abu Bakar berikrar, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kamu adalah utusan Allah”. Inilah keteladanan Abu Bakar al-Shiddiq sang ahli ibadah. Ia tinggi keyakinannya, benar mimpinya, dan hati-hati.*(sam/mf)