Merawat Mandat Kuasa Rakyat

Merawat Mandat Kuasa Rakyat

PROSES Pemilu 2019 memasuki tahapan penting, yakni penetapan hasil rekapitulasi suara oleh KPU, Rabu (22/5). Salah satu yang paling ditunggu tentu saja penetapan pemenang pemilu presiden yang sangat ramai menjadi bahan perbincangan rakyat Indonesia sejak hari pencoblosan pada 17 April lalu. Gegap gempita dukungan, saling klaim kemenangan, dan ragam pertarungan opini menambah panasnya aras politik nasional kita saat ini. Agenda penetapan ini sangat penting kita lalui secara damai dan setiap pihak yang berkompetisi wajib berkomitmen untuk merawat mandat kuasa rakyat yang telah diberikan dengan segala kelebihan dan kekurangan proses penyelenggaraannya.

Kanalisasi konflik

Banyak pihak berharap penetapan pemenang pilpres ini bisa menjadi salah satu fase akhir dari serangkaian pertarungan politik yang sangat melelahkan selama ini. Tak mudah memang menerima kenyataan terutama dari perspektif kubu yang kalah. Hal sangat alamiah jika muncul fenomena disonansi kognitif di pasangan capres/cawapres yang kalah ataupun di basis-basis pemilih yang menjadi pendukungnya.

Istilah disonansi kognitif ini dikenalkan oleh Leon Festinger dalam buku lawasnya A Theory of Cognitive Dissonance (1957). Festinger memaknainya sebagai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

Salah satu yang bisa menyebabkan disonansi ialah inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berfikir lain. Fenomena pascahari H pencoblosan menunjukkan gejala disonansi kognitif, yakni pasangan calon ataupun pendukung Prabowo-Sandi mengalami kekecewaan mendalam akibat realitas hampir seluruh lembaga yang menyelenggarakan hitung cepat mengunggulkan kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Kubu Prabowo-Sandi justru bereaksi sebaliknya, yakni menyatakan klaim kemenangan yang dinyatakan berulang-ulang dengan merujuk ke data internal mereka. Sejak itulah, narasi kecurangan pemilu oleh KPU makin kencang diresonansikan oleh kubu Prabowo-Sandi dan memuncak dengan penolakan apa pun hasil penetapan rekapitulasi suara KPU yang disampaikan mereka di simposium 'Mengungkap Fakta Kecurangan Pemilu 2019' yang digelar di Jakarta, Selasa (14/5).

Situasi ini tentu saja mengkhawatirkan banyak kalangan. Itu karena polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat semakin tajam dan berpotensi menjadi konflik membahayakan. Kondisi itu bisa terjadi jika tidak mendapatkan penanganan yang optimal dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu ini.

Dilihat dari keseluruhan data yang masuk ke Situng KPU hingga Minggu (19/5) pukul 03.15 WIB, sudah ada data dari 726.769 TPS. Data yang masuk ke Situng KPU sudah mencapai 89,35% dari 813.350 jumlah TPS di Indonesia. Jumlah total wilayah pemilihan terbagi menjadi 35 wilayah, yakni 34 provinsi di Indonesia dan luar negeri. Dari jumlah tersebut, pasangan calon (paslon) nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin masih unggul atas rivalnya, paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Jokowi-Amin mendapatkan suara sebanyak 76.338.280 suara atau 55,76%, sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan suara sebanyak 60.556.329 suara atau 44,24%. Walaupun tentu saja hasil real count atau data dalam Situng KPU bukanlah hasil resmi penghitungan perolehan suara, itu diyakini tak akan berbeda terlalu signifikan dengan hasil akhir rekapitulasi KPU yang akan diumumkan, Rabu (22/5), terutama jika merujuk ke pengalaman-pengalaman pemilu sebelumnya.

Tentu saja, banyak hal yang masih menjadi kekurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Sangat mungkin juga muncul ragam pelanggaran yang merugikan salah satu pasangan calon. Hal yang bisa muncul pascapenetapan adalah konflik elektoral, yakni pertentangan, perseturuan, dan sengketa yang terjadi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, masyarakat, dan pihak-pihak lainnya. Kita harus mengkanalisasi konflik pascapenetapan ini melalui mekanisme perselisihan hasil pemilu yang telah diatur dalam konstitusi dan UU.

Perselisihan hasil pemilu

Mereka yang tak terima dengan hasil pemilu, dapat menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bunyi konstitusi jelas dan tegas menyebutkan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."

Aturan ini, tertuang dalam Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945 yang kemudian diturunkan dalam Pasal 474 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menyebutkan, "Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi."

Menurut jadwal yang dipublikasikan di situs resmi MK, Selasa (7/5), pengajuan permohonan pemohon untuk sengketa pilpres dibuka pada 23 Mei 2019. Pendaftaran dimulai sehari setelah KPU mengumumkan hasil resmi Pemilu serentak 2019. Pendaftaran berakhir ialah tiga hari kalender, yakni pada 25 Mei 2019. Tahapan kemudian berlanjut pada pencatatan permohonan pemohon dalam buku registrasi perkara konstitusi (BPRK). Untuk PHPU presiden dan wakil presiden dilakukan pada 11 Juni 2019.

Menurut MK, permohonan dapat dicatat lebih awal dalam BRPK, menyesuaikan dengan penetapan KPU. Adapun waktu penyelesaian perkara selama 14 hari kerja sejak BRPK. Tahap selanjutnya ialah penyampaian salinan permohonan dan pemberitahuan sidang pertama kepada pemohon, termohon, pihak terkait, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Penyampaian masih dilakukan pada 11 Juni 2019. Pada hari yang sama juga disampaikan jadwal hari sidang pertama.

Pada 12 Juni 2019, akan dilakukan penyerahan jawaban termohon dan keterangan pihak terkait. Kemudian, dilanjutkan dengan penyampaian jawaban termohon dan keterangan pihak terkait kepada pemohon. Selanjutnya, sidang pemeriksaan pendahuluan akan dimulai pada 14 Juni 2019. Kemudian, jika ada penyerahan perbaikan jawaban dan keterangan, akan dilakukan pada 13 Juni 2019. Untuk sidang pemeriksaan akan dilakukan pada 17-21 Juni 2019. Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti. Kemudian, hakim konstitusi pun akan menggelar rapat permusyawaratan hakim pada 24-27 Juni 2019. Sidang pengucapan putusan akan disampaikan pada 28 Juni 2019.

Tahap terakhir, yakni penyerahan salinan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum untuk presiden dan wakil presiden akan dilakukan pada 18 Juni hingga 2 Juli 2019. Tahapan itulah yang bisa ditempuh untuk menguji data, bukti dan argumen tentang ragam ketidakpuasan yang berujung pada perselisihan hasil pemilu.

Semua pihak harus menghormati dan mengikuti aturan main yang telah disepakati sebagai bagian dari cara kita menghormati sistem demokratis yang kita miliki. Kita mesti menyelaraskan dua aspek penting dalam berdemokrasi. Alexis de Tocqueville dalam buku lawasnya De la Democratie en Amerique membedakan dua aspek demokratisasi, yakni sistem demokratik dan etos demokratik. Sistem demokratik ialah prosedur demokratik dan manajemen pemerintahan demokratik di dalamnya termasuk sistem hukum.

Sementara itu, etos demokratik adalah formasi nilai-nilai demokratik di masyarakat, termasuk masyarakat warga (civil society) yang kukuh. Dengan kasus perselisihan hasil pemilu penting bagi kita untuk menguatkan sistem hukum, termasuk konstitusi dan undang-undang di dalamnya, selain menguatkan nilai-nilai demokratis di masyarakat.

Tawaran solusi

Konflik sering kita jumpai atau bahkan sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Secara etimologis konflik berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama dan figere yang berarti benturan atau tabrakan. Adanya benturan atau tabrakan dari setiap keinginan atau kebutuhan, pendapat, dan keinginan yang melibatkan dua pihak atau lebih. Pemilu menghadirkan konflik sesungguhnya hal lumrah dan biasa-biasa saja. Bahkan sesunguhnya, pemilu itu sendiri merupakan cara menganalisasi konflik melalui mekanisme demokratis.

Membaca konflik pemilu, sesungguhnya tak harus selalu negatif dan merusak. Dalam perspektif teori konflik, sosiolog konflik Lewis Coser (dalam RA Wallace, A Wolf, Contemporary Sociological Theory: Continuing the Classical Tradition, 1986), memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi sebagai dua sisi yang bisa memperkuat dan memperlemah satu sama lainnya. Coser membedakan dua tipe dasar konflik yang realistis dan nonrealistis.

Pertama, konflik realistis memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti sengketa sumber kuasa antara lain kontestasi pemilu 2019, yakni orang bertarung memperebutkan 'kursi' baik pilpres maupun pileg. Jika pemilu usai, biasanya konflik akan segera mereda dan biasanya teratasi dengan baik melalui koridor hukum dan hubungan antarpersonal.

Kedua, konflik nonrealistis yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Dalam hal ini, antara lain konflik antaragama, antaretnik, antarkepercayaan. Konflik sejenis ini, cenderung sulit menemukan solusinya terutama untuk merajut ulang konsensus dan perdamaian. Ibarat luka mendalam, konflik yang disulut oleh isu agama, etnik, kepercayaan teramat sulit disembuhkan.

Saat ini, memang ada tendensi kuat konflik pemilu bisa beralih dari konflik realistis menjadi konflik nonrealistis. Dengan banyaknya hoaks, ujaran kebencian, fakenews yang dikonsumsi masyarakat melalui kanal-kanal warga menimbulkan kekhawatiran polarisasi bukan semata-mata soal pemilu tetapi ada yang membentur-benturkannya dengan isu atau faktor determinan lain seperti agama, ideologi, atau bahkan etnis yang dibangun melalui stigma-stigma tertentu yang menyesatkan.

Agar konflik tidak mengarah ke tipe yang nonrealistis, semua pihak harus menciptakan suasana yang lebih kondusif dan mengembangkan semangat rekonsiliasi. Dari perspektif komunikasi politik ada empat hal yang bisa menjadi solusi.

Pertama, semua elite yang bertarung terutama para kandidat capres/cawapres dan tim pemenangannya harus menghindari diksi-diksi dan pernyataan provokatif. Diksi people power misalnya bersifat polisemi atau mulitiinterprestasi. Bisa muncul tafsir liar, terutama jika dikaitkan dengan fenomena people power di beberapa negara, misalnya seperti di Filipina yang sukses menjatuhkan rezim Ferdinand Marcos pada 1986 setelah berkuasa 20 tahun.

Pernyataan lain yang tak kalah provokatifnya adalah seruan boikot pajak yang tentu saja bisa mengancam stabilitas negara. Selain juga ajakan untuk melakukan pengingkaran terhadap hasil Pemilu 2019. Ketokohan capres/cawapres dan tim pemenangannya, menjadi role model yang banyak didengar dan diikuti oleh basis pemilih di warga biasa. Hal ini, terbentuk akibat partisanship yang menguat dari polarasiasi dukungan sejak 2014 dan memuncak di 2019. Pernyataan dan ajakan provokatif, bisa menciptakan meledaknya konflik horizontal di tengah masyarakat.

Kedua, pemerintah dan pihak aparat baik TNI maupun Polri harus mampu menjaga sikap yang proporsional dan profesional. Dalam situasi yang serba sensitif seperti saat ini, harus lebih berhati-hati dalam menyikapi ragam kejadian jangan sampai terkesan over acting atau bahkan abuse of power agar tidak memperkeruh suasana. Setiap upaya pemerintah yang berlebihan, akan diasosiasikan dengan Jokowi sebagai petahana (incumbent).

Ketiga, penyelenggara pemilu seperti KPU dan juga Bawaslu harus benar-benar piawai mengomunikasikan seluruh informasi yang saat ini dinanti banyak pihak dengan meminimalisir kesalahan. Semakin banyak salah, akan semakin membuka penegasan bahwa ada keberpihakan yang dilakukan penyelenggara pada salah satu kubu. Fase penting seperti saat ini membutuhkan information roles yang bagus dari penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.

Keempat, peran media massa dan opinion leader yang memproduksi dan mendistribusikan informasi ke khalayak luas. Media Massa perlu memegang teguh kaidah jurnalisme yang menjadikan kebenaran fakta sebagai yang utama. Media massa jangan terjebak pada ekspose sensasi dengan mendramatisasi konflik, mendistorsi informasi dan memprovokasi situasi. Para penjaga informasi (gate keeper) harus mengedepankan tanggung jawabnya sebagai jurnalis bukan menjadi propagandis. Mandat kuasa rakyat melalui pemilu harus dirawat!

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta Anggota Dewan Pakar ISKI

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia, edisi Senin, 20 Mei 2019 (lrf)