Merasuknya Minimarket ke Pelosok: Kebangkitan “Kelas Menengah” Pinggiran?

Merasuknya Minimarket ke Pelosok: Kebangkitan “Kelas Menengah” Pinggiran?

Desa-desa di pinggiran perkotaan saat ini dimasuki usaha retail modern dalam bentuk minimarket. Mereka hadir di berbagai titik strategis desa, jalan-jalan alternatif, dan bahkan sudut-sudut kampung. Minimarket ini kadang berhimpitan dengan berbagai warung tradisional, atau berdiri “megah” sendirian.

Secara nasional, pertumbuhan gerai minimarket memang mencengangkan. Sebagai contoh, sampai Juni 2018, jumlah minimarket Indomaret mencapai 15,5 ribu dan Alfamart mencapai 13,5 ribu gerai (katadata.co.id).

Jika ditelaah lebih jauh, berbagai minimarket tersebut, tidak hanya menawarkan barang yang menjadi kebutuhan harian masyarakat. Tetapi lebih jauh, mereka menawarkan gaya hidup baru kepada warga pinggiran kota ini, seperti: kepastian harga, pelayanan yang ramah, dan display yang bersih dan menarik.

Selain itu, beberapa minimarket menyediakan tempat parkir yang luas, meja kursi untuk ngopi dan nongkrong. Sehingga, perlahan tapi pasti, akan ada peralihan budaya dari tadinya nongkrong di warung kopi tradisional kepada tempat seperti ini.

Di sisi lain, apakah merasuknya mini market ke pinggiran perkotaan ini menjadi penada hadirnya kelas menengah baru?

Secara sosiologis, kelas menengah adalah lapisan sosial masyarakat yang ada di antara kelas elit (kaya dan pemilik modal) dan kelas bawah. Mereka memiliki kualifikasi sendiri dalam hal skill, pendapatan dan gaya hidup. Dengan kata lain, kelompok ini memiliki kualitas kesejahteraan minimal, sehingga memiliki waktu untuk mendefinisikan sendiri gaya hidupnya. Secara ekonomi, mereka bukan kelompok rentan miskin.

Indonesia saat ini, jika mengacu kepada rilisnya Bank Dunia, menjadi negara dengan pertumbuhan kelas menengah baru yang signifikan. Di mana, satu dari lima orang Indonesia termasuk kepada kelas menengah. Agregatnya secara nasional mencapai 52 juta orang. Mereka inilah yang kemudian berkontribusi melalui perilaku konsumtif dan kemudian “mengerek” perekonomian negara (WorldBank, 04/12/2017).

Data yang ditunjukkan Bank Dunia, bisa jadi berkorelasi dengan meningkatnya serbuan minimarket ke pinggiran kota dan ke pelosok lain. Apalagi dengan berbagai kapasitasnya itu, maka tawaran “gaya hidup” baru disambut oleh kelas menengah baru ini dengan antusias. Meski narasi yang didiskusikannya harus diperdalam lebih jauh lagi, tetapi secara visual apa yang ditampilkan mereka menunjukkan proses reflikasi citraan dari komunitas kelas menengah ini. Gaya mereka biasanya membawa kendaraan sendiri (kebanyakan sepeda motor) dan berkelompok. Duduk di depan minimarket ini sambil mengobrol ditemani kopi dan camilan. Melihat waktu yang dihabiskan untuk duduk-duduk ini berjam-jam, memperlihatkan bahwa mereka ini cukup punya sumberdaya yang bisa menopang “gaya” yang sedang dibangunnya. Sesekali dalam selorohannya mereka tertawa sambil menyeruput kopi dan mengepulkan asap rokok. Benar-benar (seperti) menikmati hidup (sesungguhnya).

Tentu saja fenomena tersebut bisa dipotret secara menggembirakan. Di mana, realitas ini bisa memotret realitas makro bahwa ekonomi sedang “baik-baik” saja. Namun, benarkah hakikatnya demikian?

Jika kita membaca dari sudut pandang lain, fenomena di atas menunjukkan hal lain yang merupakan symptom sosiologis yang mencemaskan. Mereka bukan kelas menengah sesungguhnya. Sebaliknya justru mereka adalah buruh-buruh (kelas bawah), atau malah pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Mereka sulit membuat perencanaan hidup karena sistem kontrak yang dibangun oleh pemilik pekerjaan. Sistem itu telah membuat mereka susah mengambil kredit jangka panjang seperti rumah. Sehingga mereka hanya bisa mengkredit sepeda motor dan mencoba menikmatinya selagi masih bisa. Maka yang dilakukan kemudian adalah traveling bersama, menurunkan imajinasi dalam komunitas, serta mencoba meraba citra orang sukses dalam bentuk narasi perilaku dan gaya hidup.

Sementara itu, minimarketlah pemain utamanya. Mereka memang seperti mentransformasi budaya kemudahan dan selalu siap sedia selama 24 jam. Di balik kecemasan dan kegembiraan "semu” yang dicantolkan dalam mimpi-mimpi “kelas menengah” baru ini, mesin minimarket menyedot seluruh debu sumberdaya ini menjadi keuntungan ekonomi pemodalnya. (mf)

Tantan Hermansah SAg MSi, Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Bidang Ilmu Sosiologi Pedesaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran Suara Merdeka, 26 November 2018.