Menyoal Merek Merdeka Belajar

Menyoal Merek Merdeka Belajar

Program Merdeka Belajar (MB) Mendikbud Nadiem Makarim menjadi polemik. MB telah terdaftar di Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kemenkumham pada 22 Mei 2020 lalu. Pendaftaran Merdeka Belajar sudah diajukan sejak 1 Maret 2018.

Dalam laman PDKI itu dijelaskan, MB terdaftar sebagai penamaan untuk bimbingan kejuruan, jasa pengajaran, hingga jasa penyelenggaraan taman belajar dan bermain. Pemilik dari nama Merdeka Belajar adalah PT Sekolah Cikal, Jalan TB Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan.

Najeela dari Cikal menyatakan kepada wartawan bahwa pihaknya tidak menerima atau meminta royalti kepada Kemendikbud. Hal ini menjawab keresahan sebagian masyarakat bahwa nama program MB Mas Menteri bisa berimplikasi pada kewajiban pemerintah membayar royalti kepada Cikal.

Solusi atas polemik ini sebagai berikut. Pertama, pernyataan Najeela itu ditindaklanjuti dengan Momerandum of Agreement (MOA) antara pihak Cikal dan Kemendikbud bahwa tidak ada kewajiban membayar royalti atas penggunaan istilah MB. Siapa pun menterinya kelak, dan selagi program MB ini diteruskan, maka tidak ada royalti.

Alasannya, 1) kesamaan penamaan MB itu terjadi secara kebetulan. Konsep MB telah ada sejak lama yaitu pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara. MB telah banyak didiskusikan dan telah menjadi memori kolektif insan pendidikan; 2) penamaan program MB Mas Menteri itu bisa jadi berasal dari Najeela karena posisinya sebagai pendiri dan pemilik lembaga yang bekerja sama dengan Kemendikbud.

Artinya, penamaan program MB Kemendikbud dilakukan pada saat proses pengajuan kekayaan intelektual di Kemenkumham. Masalahnya, apakah pemerintah atau Mas Nadiem mengetahui atau diberitahu proses pengajuan hak cipta tersebut?

Kedua, pemerintah segera mengganti nama program MB meskipun sudah memasuki episode kelima—dari sekolah hingga kampus. Hal ini masih mungkin karena belum ada satu pun payung hukum yang dibuat Mendikbud yang memuat jargon MB. Misal, untuk menghindari konflik di kemudian hari, bisa saja digunakan istilah Belajar Merdeka, Pendidikan Merdeka, Sekolah Merdeka, atau Kampus Merdeka.

Dengan demikian, pemerintah dinilai lebih kreatif; tidak memakai istilah yang sudah menjadi “milik” swasta. Meskipun seperti dijelaskan di atas, ruh istilah MB sudah muncul sejak lama, dan sering dikaitkan dengan pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Tut wuri handayani atau mendorong dari belakang bermakna memerdekakan siswa. Guru bertugas memajukan dan mengembangkan potensi masing-masing siswa, bukan memaksakannya sesuai keinginan guru atau orang tua. Guru memberi kebebasan kepada siswa untuk bisa belajar sesuai kondisi diri dan lingkungannya, serta meraih cita-cita sesuai impiannya masing-masing.

Demikianlah, persoalan ini sederhana. Tidak ada kerugian materi pemerintah di satu sisi, dan pemilik hak paten pun tidak merasa dirugikan. Keduanya adalah mitra strategis yang bekerja demi pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Alih-alih menyoal penamaan program Merdeka Belajar, khalayak sebaiknya fokus pada inti program ini. Di antara program MB adalah penghapusan ujian nasional, perguruan tinggi badan hukum, bantuan operasional sekolah, organisasi penggerak, dan guru penggerak.

Apakah program MB sudah menjawab problematika pendidikan Indonesia? Benarkah MB adalah solusi atas masalah pendidikan kita? Contoh, tidak ada kebijakan memenuhi kekurangan guru, dan menetapkan upah minimum bagi guru honorer. Jika tanpa kesejahteraan, kenyamanan, dan keamanan, maka guru yang kompeten dan kreatif hanyalah mimpi. Jauh panggang dari api.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: https://kumparan.com/jejen-musfah-ii/menyoal-merek-merdeka-belajar-1tvJw3SlO5o/full?utm_source=kumApp&utm_campaign=share&shareID=7rK0H9l0CM16&fbclid=IwAR1wURQT1dqrulzVBte1-BBJBEOlLZRamalwMCbzJPTMnBFBiEn92Z2Q0H0. Minggu, 2 Agustus 2020. (mf)