Menyelamatkan Golkar

Menyelamatkan Golkar

Adi Prayitno

Golkar berada di tubir jurang. Kasus dugaan korupsi Setya Novanto menghantam keras beringin kuning hingga titik nadir. Elektabilitas Golkar menurun tajam versi survei poltracking yang dirilis Senin (27/11/2017) lalu. Mengejutkan, Golkar terlempar dari posisi kedua disalip Gerindra yang merengsek naik.

Tentu saja hasil survei Poltracking menjadi kabar buruk sekaligus pukulan telak bagi Golkar jelang tahun politik yang berhimpitan. Yakni, Pilkada serentak 2018 dan Pemilu serentak 2019. Tak ada cara lain Golkar harus diselamatkan.

Golkar tak perlu berlama-lama terjebak dalam sebuah dilema. Munaslub merupakan solusi rasional mengantisipasi turbulensi politik yang kian membesar. Desakan yang muncul dari tokoh kunci internal Golkar seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan forum kader muda Golkar menjadi sinyal perubahan yang tak bisa dibendung demi Golkar baru.

Desakan Munaslub juga terpotret dari suasana hati rakyat yang memvonis Setya Novanto terlibat korupsi e-KTP. Sindiran, lelucon, dan meme bernada satir menajdi bukti sahih hancurnya legitimasi Setya Novanto sebagai pemimpin politik.

Golkar memang tergolong partai modern karena tak menggantungkan nasib politiknya pada satu tokoh sentral. Namun, sejumlah kasus yang silih berganti menerpa menggerus kepercayaan diri pemilih Golkar. Sistem partai yang terbangun lama perlahan rapuh akibat prilaku korup elitnya.

Mestinya Golkar belajar banyak dari kasus korupsi Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq dan Ketua Umum partai Demokrat Anas Urbaningrum. Daya rusaknya luar biasa. PKS dan Demokrat terlempar jauh dan elektabilitasnya hancur pasca ketua umum mereka dijebloskan ke penjara. Kepercayaan publik runtuh seketika.

Golkar juga perlu melakukan repositioning sebagai partai pembaharu. Akbar Tandjung pernah sukses melewati fase sulit Golkar pada periode 1999-2004. Sekalipun Golkar berada dalam turbulensi politik ekstrim, bahkan sempat didesak dibubarkan oleh pemerintah, Golkar tetap kuat. Bahkan tampil sebagai pemenang pileg 2004.

Repositioning yang dimaksud tentunya bertalian dengan komitmen budaya anti korupsi, integritas, dan memudakan Golkar. Pemosisian ulang Golkar tak akan berarti jika pengganti Setya Novanto kelak tak memiliki rekam jejak bersih.

Dua hal inilah yang perlu dilakukan Golkar dalam waktu dekat. Jika tidak, turbulensi yang bergerak liar akan membenamkan Golkar dalam liang senjakala. Semakin Setya Novanto dilindungi semakin besar pula goncangan politik yang akan terjadi. Golkar tentu tak mau seperti keledai. Jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Stigma sebagai partai korup penyangga Orde Baru, konflik internal, dan dinamika politik lainnya cukup terjadi sekali saja. Tak perlu diulang lagi.

Jika solusi ini gagal, Golkar dipastikan tersesat dalam labirin. Jalanan buntu, serba gelap yang menyeramkan. Perlahan namun pasti Golkar sebenarnya sedang menggali kuburannya sendiri.

Oleh sebab itu masih tersisa waktu bagi Golkar untuk recovery. Tentu saja dengan keharusan mengganti Setya Novanto apapun hasil sidang praperadilan. Pohon besar beringin kuning kepalang goncang akibat badai korupsi sang Ketum.

Golkar tak pelu risau. Stok kader potensial mengisi posisi pucuk pimpinan cukup banyak. Secara umum, semua kandidat yang ikut nyalon di Munaslub Bali beberapa waktu lalu cukup kompeten dan layak menggantikan Setya Novanto.

Di antara para calon tersebut muncul sosok yang dinilai berpeluang menang, yakni Airlangga Hartarto. Meski begitu dalam Golkar pemenang sangat ditentukan siapa yang memenangi pertarungan di akhir. Kapasitas dan kompetensi calon terggantung hasil akhir.

Saat ini pilihan Golkar tebatas. Tenggelam hancur bersama Setya Novanto atau muncul kembali sebagai pemenang dengan Golkar paradigma baru (new paradigm). Semuanya tergatung Golkar.(*)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia dan Dosen Politik UIN Jakarta. Tulisan dimuat laman http://www.teropongsenayan.com pada hari Rabu, 29 Nov 2017 - 18:44:51 WIB. (lrf)