Menyejahterakan Guru

Menyejahterakan Guru

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nasib guru, pahlawan tanpa tanda jasa, cenderung kurang menggembirakan. Selain kesejahteraan minim, penggajiannya sering telat, masa depan keluarganya tidak menentu, guru juga tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hidup yang sewajarnya. Banyak guru merangkap sebagai tukang ojek, pedagang buah di pasar, pekerja “serabutan”, pemulung, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa profesi guru, terutama guru honorer, belum sejahtera, bahkan masih jauh di bawah upah minimum regional (UMR).

Meskipun telah ada kebijakan sertifikasi sebagai pendidik professional dari Pemerintah, nasib guru, khususnya guru honorer, masih jauh dari harapan. Karena itu, di Hari Guru Nasional (HGN), 25 November, tekad bulat dan kebijakan afirmatif untuk menyejahterakan guru penting menjadi political will para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan (stakeholder).

Selain masalah kesejahteraan, guru di era Society 5.0 dihadapkan berbagai persoalan dan tantangan yang kompleks. Program sertifikasi guru dinilai belum sukses meningkatkan profesionalitas dan kinerja mereka.  Tidak sedikit guru yang mengajar bukan bidang keahliannya (mismatch), karena keterbatasan jumlah guru bidang tertentu, seperti Matematika dan Bahasa Arab. Kinerja guru juga kerap dipertanyakan karena belum memenuhi standar indeks kinerja utama (IKU) yang memuaskan, belum memenuhi empat kompetensi: profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian.

Hasil riset Prof. John Hattie dari University of Auckland menunjukkan bahwa pengaruh guru terhadap prestasi peserta didik ternyata bukan paling signifikan. Karena penentu tertinggi terhadap prestasi peserta didik adalah karakter peserta didik sendiri (49%). Peran guru dalam menentukan prestasi mereka hanya 30%. Sedangkan keluarga, lembaga pendidikan, dan teman sebaya berkontribusi menyukseskan peserta didik sebesar 7%. Temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh guru terhadap peserta didik mulai tergeser oleh kecerdasan dan keterampilan peserta didik sendiri dan teknologi informasi seperti internet, media sosial, dan sebagainya.

Pertanyaannya, apakah tingkat kesejahteraan guru berbanding lurus dengan kinerja dan peran guru dalam menyukseskan masa depan peserta didiknya? Jawabannya tentu tidak tunggal, karena kesuksesan seorang dipengaruhi multifaktor. Namun dapat dipastikan bahwa guru yang sejahtera dengan kompensasi (honor, tunjangan, insentif, dan lainnya) yang memadai dipastikan lebih fokus dan “khusyuk” dalam mengembangkan profesionalitas dan karir keguruannya. Hal ini dibuktikan oleh guru-guru di luar negeri. Guru internasional di Canada digaji sebesar $ 9.789/bulan, sedangkan rerata guru biasa di sekolah Singapura memperoleh kompensasi $ 3,023/bulan atau sekitar Rp. 30 juta.

Apresiasi Tinggi

Hasil riset Hannele Niemi (2015), Teacher Professional Development in Finland: Towards a More Holistic Approach, menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Finlandia itu sangat maju dengan model sekolah inovatifnya karena sistem dan model pengembangan profesionalitas guru bersifat holistik integratif dengan apresiasi tinggi dan kompensasi yang menyejahterakan dan membahagiakan guru. Rerata guru di Finlandia (2020) diapresiasi dan diberi kompensasi sebesar 3,570 Euro (sekitar 60 juta Rupiah/bulan).

Proses dan model pembelajaran yang dikembangkan guru di Finlandia itu bersifat aktif, interaktif, dan kreatif. Lingkungan pembelajaran dirancang sangat nyaman, kondusif, dan inspiratif. Guru diharuskan tidak hanya memiliki kompetensi profesional dan pedagogik yang mumpuni dan menginspirasi, tetapi dituntut memiliki kompetensi komunikasi efektif, berkolaborasi dalam riset, pengembangan bahan ajar, dan berpikir kreatif, inovatif, dan solutif.

Kepemimpinan dan manajemen institusi Pendidikan di Finlandia juga dinilai efektif, partisipatoris, tidak birokratis, dan berorientasi kepada tujuan dengan standar penjaminan mutu yang terukur dan terus-menerus diimprovisasi (continuous improvement, Kolaborasi lembaga pendidikan dengan keluarga, masyarakat, media massa, dan pemerintah dikembangkan secara mutualistik-partisipatoris. Dalam konteks ini, guru memperoleh apresiasi tinggi dalam mengembangkan karir, kompetensi, dan masa depan keluarga secara humanis.

Belajar dari sistem pendidikan di Finlandia, peningkatan kapasitas, profesionalitas, dan kompetensi guru Indonesia dengan kompensasi yang menyejahterakan merupakan kata kunci pembenahan sistem pendidikan nasional. Guru akan memiliki loyalitas dan dedikasi tinggi dalam mengembangkan karir keguruan dan kinerja berkualitas, apabila hidupnya sebagai manusia disejahterakan. Penyejahteraan tidak hanya terkait dengan kompensasi finansial bulanan semata, tetapi juga kesejahteraan batinnya dengan diberikan pembinaan mental spiritual, peningkatan keterampilan ICT, dan pengembangan multiliterasi (data, sains, digital, finansial, budaya, dsb.)

Apresiasi tinggi terhadap dedikasi tinggi dan jasa mulia guru boleh jadi merupakan jembatan emas menuju Indonesia maju. Tidak dapat dibantah bahwa setiap posisi dan prestasi yang pernah diraih seseorang pasti ada kontribusi dari para guru yang pernah mendidiknya. Presiden, Menteri, para pejabat, polisi, tentara, pengusaha, dan sebagainya pasti menjadi peserta didik dari sekian banyak guru yang mencerdaskan, menginspirasi, dan mencerahkan mereka. Sudah saatnya mereka semua mengapresiasi perjuangan mulia, kebaikan dan dedikasi guru.

Dompet Guru

Menyejahterakan guru memang bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah semata. Masyarakat, para pemangku kepentingan (stakeholder), para dermawan, dan lulusan sekolah dapat berpartisipasi menyejahterakan guru dengan memberikan donasi, sedekah, dan infaknya. Karena itu, dipandang penting adanya gerakan filantropi untuk menyejahterakan guru, terutama guru hononer dan guru yang bertugas di daerah 5T (Terdepan, Terluar, Terpencil, Termiskin, dan Tertinggal).

Gerakan filantropi dan empati terhadap kesejahteraan guru ini dapat direalisasikan dengan pembentukan institusi professional yang membuka, mengelola, dan menyalurkan donasi untuk kesejahteraan guru melalui program Dompet Guru (DG). Idealnya, DG dikelola oleh lembaga sosial independen yang bervisi tidak hanya menyejahterakan guru secara sosial ekonomi, tetapi juga bertanggung jawab dalam meningkatkan standar mutu SDM guru.

Sejarah sosial intelektual Islam menunjukkan bahwa Universitas al-Azhar di Kairo Mesir, yang usianya kini sudah lebih dari seribu tahun, berdiri dan berkembang pesat, dengan mayoritas mahasiswanya dari mancanegara berkat gerakan filontropi. Dana wakaf, zakat, infak, dan sedekah masyarakat dikelola dan dikembangkan sedemikian rupa untuk mendanai pendidikan, memberi beasiswa, dan menyejahterakan para dosennya.

Oleh karena itu, dalam memaknai peringatan HGN, 25 November 2021, dengan tema “Bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan”, gerakan filantropi pendidikan menjadi sangat relevan dan kontekstual. DG diyakini dapat meningkatkan dedikasi dan komitmen guru dalam menggerakkan perubahan dan mewujudkan merdeka belajar. Guru dapat berperan sebagai penggerak perubahan, apabila tidak lagi “disibukkan” dengan urusan dompetnya yang sudah “menipis” di tengah bulan. DG sangat diharapkan menjadi salah satu program strategis di luar anggaran pemerintah untuk humanisasi dan penyejahteraan guru. Sudah saatnya guru disejahterakan dengan gerakan filantropi sosial pendidikan, agar masa depan bangsa lebih cerah.

Sumber: Republika, Kamis, 25 November 2021. (mf)