Menumbuhkan Budaya Moderasi Beragama

Menumbuhkan Budaya Moderasi Beragama

Oleh Prof Dr Amany Lubis, MA

Pada 8 Oktober 2019, Kementerian Agama meluncurkan buku berjudul Moderasi Beragama di Aula Kantor Pusat Kementerian Agama Jakarta. Peluncuran buku yang dibarengi diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, yaitu Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor Adian Husaini, dan Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei Yogyakarta Elga Sarapung.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam pengantar pidatonya pada peluncuran buku tersebut sempat melontarkan pertanyaan, bagaimana internalisasi nilai moderasi beragama dalam diri kita? Bagaimana pula realisasi moderasi beragama menjadi bisa?

Untuk menjawabnya, kita harus mendudukkan terlebih dahulu bahwa moderasi beragama bukan moderasi agama. Moderasi mengandung keadilan agar tidak terjebak ke dalam ekstremitas. Moderasi beragama berarti merayakan perbedaan dan menghormati keragaman.

Mengulas konsep buku Moderasi Beragama, menjadi penting untuk memberikan landasan bagi pengarusutamaan moderasi beragama yang ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian Agama 2020-2024. Semua unsur di Kementerian Agama dan bahkan seluruh masyarakat Indonesia harus menerapkan moderasi beragama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diskursus dalam agama Islam tentang Islam rahmatan lil alamin, kalimatus sawa', dan ummatan wasatan merupakan pembudayaan kasih-sayang, toleransi, dan gotong-royong. Dari sini bangsa Indonesia akan menjadi besar dan sejahtera.

Di era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi serta era disrupsi, nalar memainkan peranan penting dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Moderasi beragama memerlukan penalaran untuk dapat diwujudkan tanpa harus terjebak pada ekstremisme. Hal ini terbukti dari semakin banyak wawasan keilmuan yang dimiliki seseorang, semakin berakhlak dan beradab pula seseorang tersebut. Ia juga dapat meletakkan diri di tengah dan bersikap adil.

Berkembangnya kajian agama yang diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan teknologi menghasilkan kreativitas dan inovasi dalam melakukan pembangunan serta semangat menerapkan multikulturalisme di Indonesia. Populisme tidak perlu terjadi, sehingga komunitas agama dimanfaatkan oleh kalangan tertentu, sebutlah lingkaran politik. Polarisasi yang terjadi di semua bidang mestinya bisa menjadi indah karena mencerminkan kebhinekaan dan mozaik masyarakat di Nusantara.

Mengutip di bagian akhir buku tersebut dapat disimpulkan bahwa misi moderasi beragama adalah untuk menciptakan perdamaian bagi semua umat manusia. Munculnya sikap liberal dalam beragama memicu reaksi konservatisme yang ekstrem. Demikian pula, sikap ultra konservatif dapat mengakibatkan intoleransi dan kekerasan.

Dinamika di kampus tentu sangat mendukung bagi pelestarian dan perdamaian di muka bumi. Namun, hambatan yang dihadapi adalah masih lemahnya tradisi akademik dan budaya toleransi serta masih mengedepankan ego sektoral. Untuk itu, penting diperkuat intelektualisme serta merawat harkat dan martabat kemanusiaan.*

Jakarta, 8 Oktober 2019