Menuju Partai Modern?

Menuju Partai Modern?

Oleh: Gun Gun Heryanto

Secara berurutan dua partai besar yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat menggelar kongres. PDIP pada 6-9 April, kemudian Partai Demokrat jika tak ada perubahan pada 21-23 Mei mendatang. Momentum demokrasi internal di kedua partai tersebut menarik dibahas, terutama terkait dengan posisi penting transisi kepemimpinan di tubuh partai mereka. Sebagaimana kita ketahui, PDIP sangat identik dengan Megawati, begitu pun Demokrat sangat bergantung pada figur SBY. Mampukah kedua partai tersebut mereformulasi diri dan mengukuhkan identitas partainya menjadi partai modern?

Politik Figur

Meskipun sistem kepartain PDIP dan Partai Demokrat sama-sama berada di bawah bayang-bayang nama besar pemimpin mereka, ada situasi berbeda yang mereka rasakan menjelang kongres. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010-2015 nampaknya hanya butuh seremoni penahbisan di puncak kongres. Mayoritas suara dipastikan masih dikantongi Mega tanpa rivalitas dengan kandidat lain yang memiliki power setara.

Hanya ada dua isu yang menonjol dan mengundang polemik dari kongres PDIP. Yakni, perihal wacana PDIP ke depan tetap sebagai oposisi atau menjadi mitra koalisi serta perbincangan mengenai posisi wakil ketua umum partai. Mengenai posisi PDIP terkait dengan pemerintahan pun hampir dipastikan akan menyesuaikan dengan keinginan Mega yang tergambar dari pidato politiknya saat membuka Kongres, Selasa (6/4), yakni tetap tidak menjadi bagian dari kekuasaan. Monoloyalitas dalam pencalonan dan penyikapan kader atas  pidato Mega tersebut, sekaligus menunjukkan posisi Mega yang sangat dominan di banding bangunan sistem kepartaian itu sendiri.

Sementara jalan menuju Demokrat-1 diprediksi akan berjalan panas, mengingat rivalitas antar kandidat relatif berimbang. Ketiga kandidat yang namanya telah beredar antaralain Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Marzuki Ali, harus berjibaku meyakinkan kader dan elit partai, bahwa mereka layak menjadi bintang sekaligus nahkoda partai. Dengan posisi relasi kuasa yang bersifat horisontal tersebut, tentunya dinamisasi menjelang konggres Demokrat menjadi lebih berwarna. Namun demikian, faktor SBY juga tetap akan menentukan siapa yang nanti akan terpilih.

Tak dimungkiri posisi SBY masih sangat mungkin menjadi king maker di tubuh Demokrat, seperti halnya Amien Rais di PAN. Terlebih, dalam tradisi konggres partai-partai kita, politik figur masih sangat menentukan bandul suara dan basis dukungan. Secara retoris, SBY bisa saja menyatakan tak akan memberi restu khusus pada salah satu kandidat, namun dalam praktiknya relakah SBY membiarkan partai dipimpin oleh orang yang tak mudah dikendalikan olehnya? Begitupun bagi eksistensi partai, mungkinkah Demokrat akan tetap berjaya jika tak menyandarkan power pada SBY? Inilah situasi dinamis yang kerap menjadi dilema bagi partai-partai yang masih kuat ketergantungannya pada figur bukan pada sistem.

Jika simpul kekuatan politik figur PDIP bersandar pada trah dan ideologi Soekarno, Partai Demokrat justru lebih karena politik citra SBY. Dalam sejarah politik di berbagai negara, trah dan ideologi figur biasanya membentuk basis tradisional yang lebih lama dan loyal dibanding politik citra. Namun demikian, politik figur berdasarkan citra lebih mudah mereformulasi diri menjadi partai modern berbasis kader jika mampu mentransformasikan kekuatan figur pada bangunan sistem organisasi. Sebaliknya, partai berbasis trah dan ideologi figur, kerap terjebak dalam pemapanan politik feodal dan sistem dinasti.

Reformulasi

Momentum konggres baik bagi PDIP maupun Partai Demokrat sesungguhnya menjadi momentum reformulasi partai menuju partai modern. Ada beberapa karakteristik partai modern yang sebaiknya diadopsi partai-partai besar seperti PDIP dan Demokrat.

Pertama, meminimalisir kekuatan referen (referent power). Tak disangkal bahwa setiap partai butuh figur atau tokoh simpul. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik. Misalnya saja di PDIP, tak ada yang salah jika menjadikan Soekarno sebagai figur sentral ideologi partai. Begitu pun tak salah menempatkan Mega sebagai sosok sentral dalam beberapa periode kepemimpinan partai ini. Yang salah adalah munculnya asumsi jika tak dipimpin Mega maka PDIP seolah akan kehilangan ruhnya.

Gejala feodalisasi lainnya di PDIP yang mesti diwaspadai adalah menguatnya kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan trah Soekarno di puncak hirarki partai. Misalnya, dalam regenerasi kepemimpinan pasca Mega, seolah-olah hanya Puan Maharani dan Prananda Prabowo lah yang layak meneruskan estapet kepemimpinan PDIP. Tidak terlalu riskan jika keduanya memang memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, namun jika tak siap dan tetap dipaksakan tentu akan membuat partai ini terpuruk di masa mendatang. Kesadaran diskursif maupun kesadaran praktis merupakan modal dasar dalam penstrukturan kelompok. Menurut Poole, Seibold dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996) penstrukturan dipahami sebagai proses di mana sistem diproduksi dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumberdaya oleh anggota kelompok.  Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan SDM selalu menempelkan kekuatannya  pada Soekarno dan keturunanya, maka tentu saja PDIP tak akan pernah menjadi partai modern. Hal serupa, bisa juga terjadi di Demokrat jika partai tak bisa melepaskan diri dari sosok dan pengaruh citra SBY.

Kedua, partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas (reflexivity). Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tidak akan berjalan. Refleksivitas adalah kemampuan untuk menentukan alasan-alasan pilihan prilakunya. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan partai yang terjebak dalam gejala groupthink. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis figur politik.

Ketiga, partai modern dibangun melalui tahapan kaderisasi. Ketiga tahapan tersebut berjalan secara integratif yakni merekrut orang untuk bergabung dengan wadah partai, lantas membina kader menjadi loyalis serta mendistribusikan kader ke dalam posisi-posisi tertentu. Perkembangan dinamis-pragmatis kerap menciderai tahapan kaderisasi ini. Partai kerap menjadi pintu masuk bagi munculnya politisi-politisi non kader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu. Sehingga, kerap merusak suasana batiniyah kader sekaligus menumbuhkan parasit yang suatu saat akan menggrogoti tubuh partai tersebut. PDIP maupun Partai Demokrat seyogianya memiliki sistem yang jelas mengenai kaderisasi ini.

Keempat, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Diantara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Bagaimana pun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik. Selain itu, juga dapat menjadi saluran yang tepat saat konflik muncul dan eskalatif sekaligus menjadi pengontrol yang efektif dalam sebuah sistem politik.

Ada hal yang patut diapresiasi dari pidato politik Mega di hari pertama kongres, yakni terkait dengan prinsip check and balance. Saat itu, Mega menegaskan bahwa rakyatlah yang menentukan apakah sebuah partai harus memegang tampuk pemerintahan atau sebaliknya menjadi kekuatan penyeimbang. Saat ini, Partai Demokratlah yang diberi kesempatan oleh bangsa Indonesia untuk menjadi partai pemenang Pemilu. Sangatlah elok jika PDIP tetap konsisten di luar kekuasaan sehingga pemerintah dan kekuatan penyeimbang bisa berdiri sama tinggi. Dengan demikian, partai akan sama-sama tumbuh menjadi partai modern.

 

Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Kamis 8 April 2010

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.